-LARA-
Gerimis yang melanda sebuah desa, saat ini bertukar menjadi hujan yang lebat. Mendung yang teduh, berubah menjadi gelap, gemuruh cemeti malaikat mulai terdengar di mana-mana.
Gadis kecil bernama lengkap Wardah Nabila Salsa, kini tengah menembus lebatnya hujan setelah pulang dari menuntut ilmu dengan perasaan sakit yang menyayat perasaannya. Derasnya runtuhan air dari langit, berhasil menutupi air mata yang luruh dari kedua matanya.
"Abil!! Tunggu, kok hujan-hujan sih, Nak? Sini ke rumah Ibu!!" Pangil seorang wanita berusia tak jauh dari Mamanya Abil berteriak ketika merasa bahwa gadis yang ia anggap seperti anaknya sendiri itu sedang menerjang lebatnya hujan, dan dinginnya situasi.
"Ndak usah, Bu. Makasih. Udah mau nyampe." Teriak balik Abil, karena lebatnya hujan yang mengharuskan ia untuk berteriak.
"Udah, sini dulu!! Masih lebat hujannya. Pulang nanti aja kalau udah sedikit berenti."
"Tapi, Bu ..." Celah tolak dari Abil terpotong ucapan Bu Fatimah.
"Jangan ngeyel! Udah sini dulu!! Ganti baju, trus pakai payung." Bujuk Bu Fatimah meski ia tahu apa yang ditakutkan gadis itu karena mampir ke rumahnya.
Abil yang masih ragu, menepis semua pikiran buruk yang ada dipikirannya. Ia pun berjalan menghampiri rumah Bu Fatimah.
Bu Fatimah yang melihat Abil melangkah menghampirinya pun menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya. Sungguh, Ia begitu merindukan gadis bernama Abil yang sangat ia sayangi.
"Assalamualaikum, Bu." Salam Abil dengan merebut tangan kanan Bu Fatimah untuk ia salami.
"Waalaikumsalam. Udah, ayuk naik dulu." Tangan Bu Fatimah yang justru menggandeng dan menarik Abil untuk berteduh lebih dalam.
"Kok tadi hujan-hujan sih?" Tanya Bu Fatimah dengan raut penuh kegelisahan.
"Pengen hujan-hujan aja, Bu." Jawab Abil sedikit berbohong, dengan sedikit senyum getir di bibirnya.
Bu Fatimah yang mendengar dan melihat Abil hanya menggelengkan kepala tanda bahwa ia tahu ada luka yang berusaha Abil tutupi darinya. Bu Fatimah tahu menahu dan paham betul dengan sosok Abil.
Keterpurukan apapun yang mendalam di hati sosok Abil, akan berusaha ia tutupi dengan senyum khasnya yang Bu Fatimah mengerti arti setiap senyum dari diri Abil tersebut."Ibu ambilkan handuk dulu, kamu tunggu disini," Pamit Bu Fatimah langsung berlalu meninggalkan Abil di luar sendiri.
Abil mendekap tubuh mungilnya, deretan giginya sedikit bergetar efek kedinginan yang mulai menyerang Abil.
Derap langkah tergopoh dari Bu Fatimah kembali hadir, dengan kedua tangan yang membawa handuk khusus milik Abil yang sudah ia miliki sejak Abil datang di kehidupannya.
"Ini handuknya. Yuk, langsung masuk aja." Ujar Bu Fatimah sambil menyerahkan handuk yang ia bawa untuk Abil.
Abil pun meraihnya kemudian ia usapkan di wajahnya dan tanpa mengusapkan di tubuhnya yang meneteskan air-air hujan yang terserap dari bajunya. Setelah itu, ia pun langsung masuk mengikuti wanita bidadari kedua yang ia punya.
"Lain kali jangan hujan-hujan, apalagi petir menggelegar dimana-mana, kalau ada apa-apa gimana?" Protes Bu Fatimah masih dengan raut penuh kecemasan pada gadis itu.
"Ibu, nggak usah berpikir yang macem-macem, Allah kan ada. Kalau udah takdir Abil selamat, ya Abil akan selamat." Jawab Abil sederhana namun memiliki makna yang begitu dalam.
"Tapi,..." Sahut Bu Fatimah tertepis oleh perkataan Abil.
"Sssstt, Abil ke kamar dulu, mau ganti baju." Pamit Abil dengan tutur yang sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LARA
General FictionSeluk beluk kebahagian tak kunjung hadir Tak pernah musnah penantian kebahagiaan atas takdir Segala urat Lara terasa begitu getir Hingga kesengSaraan yang mulai terukir Perasaanku berapa kali harus terkilir dan sungguh diriku bingung kapan semua ini...