Sebongkah Singgah

12 2 0
                                    

Mengapa kau menahan rasa sakit? Perasaanmu sebenarnya, ceritakan beberapa kepadaku.

✨✨✨

Sebuah pagi tak sempurna. Aku melihat lukisan di dinding putih bersih. Lukisan bertumpah cat hitam legam dengan jahitan benang merah. Entah apa yang coba pelukis sampaikan, luka mungkin, yang sulit ditutup bahkan dengan jahitan sekalipun. Jemariku menyusuri bekas jahitan di kanvas. Jahitan tak rapi dan sembarangan.

Aku terdiam sejenak, berpikir akan makna dan arti pada lukisan yang bertenger di dinding. Kakiku beralih keluar, berjalan gontai dan patah-patah menuju mobil taxi yang sudah kupesan terlebih dulu.

Aku akan pulang, setelah melihat beberapa lukisan di salah satu galery seni yang sering kukunjungi. Serasa otakku dipenuhi akan ide-ide, aku akan melukis.

Ku tumpahkan cat hitam pekat pada kanvas ukuran sedang. Cat mengalir jatuh ke lantai, bercak hitam ada dimana-mana. Lalu, mulai kumainkan tanganku. Jari-jariku menari anggun menggoreskan garis demi garis mencipta imaji di atas kanvas. Aku terdiam sendu, netraku sayu melihat lukisan setengah jadi tak fokus.

Aku yang tengah termenung menatap kanvas berisi guratan-guratan hasil kuasku yang menari di atasnya samar-samar mendengar suara entah dari mana.

"Kau sudah mati, bukan?" tukas suara itu padaku. Aku yang tak tahu siapa yang berkata mencoba mencari sumber suara. Menoleh kanan kiri, heran. Aku diam sejenak, telingaku fokus mendengarkan asal suara. Kanvas telah dipenuhi oleh imaji-imaji yang memenuhi relung otakku.

Gambar nisan dengan mawar tak lengkap kelopaknya, mawar merah nyala.

"Bukan, aku tak mati," wajahku datar, menanggapi benda mati yang seolah tengah bertanya padaku.
Netraku tak berhenti menatap guratan nisan, masih dalam pandangan sayu.

Kemudian, suara itu muncul lagi. Kali ini lebih tinggi, "lalu, bagaimana dengan kami? Bagaimana dengan mereka?" serunya agak menekan. Aku  tidak menjawab sepatah kata pun, wajahku datar memandang kanvas. Namun, suara itu terdengar sekali lagi dengan nada lebih tinggi. Berulang-ulang memekakkan telinga.

PRANG!

Kudengar suara pecahan, Aku mendongak ke belakang, Cermin di kamarku sudah menjadi berkeping-keping. Memantulkan wajahku yang redup, pucat dan asing. Seperti bukan diriku, menjadi banyak dan tak teratur. Aku memungut salah satunya yang dekat dari tempatku berdiri.

Kulihat wajahku yang tinggal sebagian di dasar cermin. Kataku bergumam ini bukan diriku, bukan kau ataupun aku yang ada di sini.

Bibirku kelu, aku berhenti bergumam. Meninggalkan tempat yang telah dipenuhi cipratan cat dan kepingan cermin. Melangkah keluar menapak lantai putih rumah. Tapi pintu tak mampu kubuka, seolah dikunci dari luar. Suaraku kini tidak bisa keluar, rasanya tersendat di tengah-tengah dan napasku terengah.

Dadaku sesak, udara memenuhi paru-paruku. Aku tersentak kaget saat mendengar dering ponsel di sebelahku. Kudapati aku tengah bermimpi, mimpi yang singgah sekejap seperti tamu berpakaian rapi, berdasi dan bersepatu kulit. Lalu hilang, aku mungkin akan lupa mimpi itu.

"Halo!" suara dari seberang sana berteriak keras, nadanya terdengar khawatir. Tapi entah kenapa, suara di telepon sayup-sayup kudengar di luar rumah sewaku. Aku menutup telepon, sebelum beranjak aku bergeming, melihat lembaran kertas yang kini penuh dengan coretan warna-warni menimpa deret huruf. Ada tempelan post-it sana sini.

Bukannya aku tidak mendengar suara ketukan setelah aku mematikan telepon, hanya saja rasa malas menghinggap di kakiku. Mengurungkan niatku untuk segera beranjak. Suara ketukan semakin keras dan bertubi, lalu serak suara lelaki terdengar parau.

"Asrita! Mau sampai kapan kau membiarkanku?" ucapnya disela-sela ketukan. Aku yang merasa kasihan dengan lelaki bodoh di luar sana segera membuka pintu, kupersilahkan ia masuk. Flavian segera duduk di sofa ruang tamu, ia berkata sudah ribuan kali dia mengetuk pintu dan meneleponku tapi tak kunjung juga kuangkat. Nada suaranya berubah menjadi saru, ia takut jikalau aku bunuh diri karena tidak kunjung mendapat pekerjaan. Sialan memang anak itu!

Mulutku terkatup tidak menghiraukan ucapannya, berjalan menyusuri meja makan dan mengambil segelas air putih untuk tamu yang tidak pernah ku undang. Tidak perlu, meski sampai serak sekalipun aku tidak akan peduli katanya.

Langkah kakinya pelan, menghampiriku yang berjalan malas ke ruang tamu. Flavian tak berkutik, memandang wajahku terbelalak.

Falvian tertawa keras, tangan kirinya terangkat menutupi mulutnya yang terbahak. Bahunya berguncang-guncang. Gaya tertawanya selalu seperti itu jika sesuatu terasa sangat lucu—atau sangat dungu. Lalu aku bertanya, sedang menertawakan apa kau ini.

Bekas merah diwajahku mirip dengan garis bolpoint, ujarnya lalu terkekeh lagi. "Kau sangat lucu Asrita," Flavian melanjutkan. Netraku berbinar mendengar ucapannya, perempuan mana yang tak senang jika dibilang lucu oleh lelaki tampan seperti Falvian?

"Had a nightmare? Asrita, don't be afraid. Meski di mimpimu kau sendirian, ia hanya singgah sebentar. Asrita, laramu jangan kau pendam sendirian." Katanya membuatku bergeming.

Setelah pergi ke toko buku siang tadi, aku langsung menulis beberapa cerita. Tapi tidak pernah selesai, malah penuh dengan coretan warna-warni. Aku masih berpikir, apakah sebaiknya aku mencari keajaiban atau meminta rekomendasi psikiater untuk mengatasi depresi seorang penulis sepertiku. Mendadak otakku dipenuhi dengan angka kerugian di masa depan, dan memaki dalam hati pada penulis hilang kemampuan seperti diriku saat ini.

Aku mendengus kecil, membiarkan Flavian mengambil minumannya sendiri. Toh, isi kulkasku tidak pernah terisi penuh. Hidupku di kota tidak mengenal tanggal muda, karena semua tanggal bagiku adalah tanggal tua di mana uangku selalu pas-pasan.

Flavian berkata pelan, dia mau istirahat sebentar. Badannya capek karena sore ini ia habiskan untuk mengajar di kampus, sedang dia tidak memperdulikanku yang semakin buta dengan huruf.

Mimpi beberapa waktu lalu kembali membuatku terdiam, mungkin kesannya biasa tapi tidak bagiku. Sekecil mimpi yang singgah meski sebentar sekalipun, aku selalu memikirkannya. Berusaha sedikit ramah dengan mimpi, agar tampak lebih jelas dan nyata.

Pandanganku mengamati lelaki yang tertidur pulas di sofa ruang tamu. Wajah lelah tampak begitu jelas, guratan di sudut matanya samar-samar terlihat. Sudah tua, batinku. Memang, aku dengan Flavian hanya beda satu tahun. Ia lebih tua dariku, tapi lebih bodoh dan lebih kekanak-kanakan dibanding denganku.

Kata orang dia lelaki yang tangguh, tidak seperti kakaknya. Tapi entahlah,  aku tidak tahu masalah apa yang pernah ia alami dengan keluarganya dulu. Saat aku mencoba bertanya, Flavian selalu mengalihkan pembicaraan. Kata-katanya terasa manis meski ia berbohong, berbeda denganku yang tidak pandai meracik kebohongan. Ah, siapa tahu. Semesta menyiapkan skenarionya sendiri, bahkana ku sebagai peran utama di hidupku belum mengerti dengan diriku sendiri.

Membicarakan tentang kampung halamanku selalu mengingatkanku dengan kenangan-kenangan dulu. Bukankah masa lalu seperti mimpi? Terkadang jelas diingat, terkadang juga tidak. Tanpa kusadari bibirku mengulas senyum saat memori masa lalu terulang, suara tawa juga masih terekam dalam pikiranku. Menjadi alasan mengapa aku sempat tersenyum.

Aku terkekeh malu-malu, membayangkan betapa manisnya wajahku dihiasi senyum menawan. Oh, tidak! Jiwa jombloku meronta, sebenarnya menjadi seorang perempuan tanpa kekasih seumur hidupnya tidak masalah bagiku. Tapi jika melihat situasi yang akan ku alami kedepannya membuatku ragu pulang kampung. Mereka pasti mempertanyakan pendamping hidupku, sedang usiaku sudah menginjak 22 tahun.

Kurasa aku hanya harus berharap pada semesta, dan sekata singgah yang mungkin akan mengisi relung kosong di hatiku.

What can I Hold You With?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang