#1 Luis?

106 18 26
                                    

Keheningan hutan malam itu terpecah oleh suara langkah kaki cepat milik seseorang, berlarian di antara jajaran pohon tidak beraturan dan akar-akar tanaman yang terjuntai turun.

Cahaya malam menggantung di balik tumpukan ranting pohon kering tanpa daun, bulat sempurna layaknya lensa putih bercahaya dari langit malam tanpa bintang. Tanah kering yang tak pernah tersiram hujan itu bergetar, seolah terinjak dengan kekuatan penuh milik seseorang. Empat ratus meter di belakang, suara-suara asing terdengar beriringan dengan dahan ranting patah tersentuh oleh sesuatu yang tidak tampak. Remaja laki-laki itu mendesah cepat di sela pelariannya, menarik napas sekuat tenaga selagi kedua kaki berpacu dengan kecepatan, menghindari emosi gelap di belakang.

"Luis!!!" Pekikan nyaring dengan suara menusuk telinga itu sekali lagi memanggil remaja laki-laki di depan, membuat merinding siapapun yang mendengar di sekitarnya.

Beberapa kali remaja itu menjerit ketakutan, namun tak ada siapapun yang datang untuk menawarkan bantuan. Ketika jajaran pohon di depan sudah tidak bisa menutupi dirinya lagi, cahaya bulan mulai menunjukkan wujud asli dari remaja usia lima belas tersebut.

Rambut hitam legam, kulit sangat putih hingga terlihat pucat, dipadu iris mata merah cerah dengan sorotan tajam. Wajahnya seperti boneka porselen dari lemari kaca, dan postur tubuh layaknya bocah laki-laki yang baru saja menginjak masa pubertas. Kaki yang ramping mampu bergerak dengan luar biasa cepat di atas tanah, meninggalkan batas hutan bersama suara tanpa wujud jauh di belakang.

Luis tidak tahu caranya berkelahi, yang ia lakukan sejak awal hanya berlari dan menghindar. Kecepatan remaja itu tiga kali di atas manusia normal. Bahkan dalam kondisi gelap, lensa mata merah yang ia miliki berfungsi seperti kamera inframerah yang memastikan bahwa laju larinya tidak akan menurun sama sekali. Atau, begitulah yang terjadi sejauh ini.

"Mereka masih mengejar," ujar Luis ketika menolehkan kepala untuk memastikan keadaan. Tanpa ia sadari, itulah satu-satunya hal yang berhasil membuat langkahnya terhenti.

Sebuah akar tanaman yang patah menyandung kakinya, membuat tubuh remaja itu terlempar beberapa kali di atas tanah hingga akhirnya berguling dan dihentikan oleh batu seukuran truk di tengah padang rumput kering. Suara itu semakin mendekat, seketika Luis bangkit dan mengangkat batu tersebut, hingga benda itu mencapai posisi di atas kepala. Napasnya memburu, keringat dingin menetes dari dagu ke tanah kering di bawahnya. Setelah mengambil satu tarikan napas, ia pun melempar batu tersebut jauh menuju arah sumber suara.

Suara debuman muncul, tanah bergetar karena batu seberat empat ton atau lebih baru saja terjatuh. Debu kecoklatan bertebaran di sekitar batu dua ratus meter dari tempat pelemparnya berdiri, secara perlahan menipis tertiup angin malam dan akhirnya menghilang.

Luis berdiri sempoyongan, menatap kondisi batu besar di hadapan. Beberapa detik berlalu sejak batu itu mendarat, namun tidak ada tanda-tanda di mana serangan balasan akan muncul untuknya. Ketika kaki ramping itu mulai gemetar karena kelelahan, telapak tangan hitam tiba-tiba muncul di depan wajah. Ia mencoba melangkahkan kaki ke belakang, namun tenaga yang tersisa hanya mampu membuat satu langkah kecil sebelum akhirnya menjatuhkan lutut Luis ke tanah.

Jeritan melengking sekali lagi terdengar dari arah telapak tangan hitam itu, secara perlahan, membentuk siluet tubuh wanita berambut panjang kecoklatan di hadapan Luis. Ketika melihat sosok tersebut, Luis terperangah. Ia tahu pasti bahwa dirinya mengenal sosok tersebut.

Sosok wanita berambut panjang kecoklatan dengan bibir tipis tanpa riasan, tersenyum simpul selagi tangannya mengulur mendekati Luis. Sedetik kemudian, ia berhasil meraih leher remaja laki-laki di depannya dengan dorongan kuat hingga membanting tubuh.

Luis, remaja itu, akhirnya tercekik dengan posisi terlentang di tanah.

"Mati! Mati!" Berulang kali wanita itu mengeluarkan kata yang sama, bersamaan ketika kata itu berhasil menusuk batin Luis berkali lipat. Di penghujung suara yang terdengar semakin melirih, Luis tersadar bahwa sosok yang mencekiknya tadi telah menghilang. Kembali tak terlihat, dan semakin membuat jantung berdegup tak karuan.

Luis takut, gelisah, panik, namun tak tahu harus melakukan apa. Ia hanya menahan getaran yang menjalar di tubuh karena kelelahan dan merasakan paru-parunya seolah akan meledak. Lensa mata beredar mengamati lingkungan, namun seperti sebelumnya, wanita itu tak berwujud sama sekali. Hanya terdengar suara sayup dari segala arah, sehingga sulit menentukan di mana tepatnya sosok itu berada.

Remaja berkulit pucat masih berbaring di tempat, menatap angkasa. Langit malam tanpa bintang membuat bulan tampak lebih besar dari biasanya. Dalam posisi itu, tanpa sengaja terlintas ingatan tentang buku yang terakhir dibaca. Buku berjudul "Tales Of Taboo", karya seorang penulis tidak terkenal namanya, mengisahkan tentang seorang bangsawan muda yang diasingkan karena rumor tak berdasar. Tuduhan yang disebar melalui mulut ke mulut memang tak ada habisnya, bahkan terkadang akibatnya menjadi sama sekali tidak manusiawi. Dan memang, hal tersebut merupakan salah satu fakta di lingkungan sekitar kita yang bukan tak mungkin dapat terjadi.

Seperti halnya Luis. Sang remaja berlensa merah sangat mengagumi sosok bangsawan terbuang di dalam buku tersebut, karena dirasa memiliki pola hidup yang sama dengan dirinya. Membayangkan jika saja suatu hari nanti keberuntungan bermaksud baik untuk mempertemukan sang tokoh kesukaan dengannya, membuat Luis tidak memperhatikan jika ada sosok wanita berambut coklat telah berjongkok sambil memandangi diri remaja itu tepat di sebelah. Wanita itu lagi.

Luis terperanjat. Tangan wanita itu kembali menjulur, menarik bagian atas kaus hitam Luis, lalu beranjak berdiri. Tubuh ramping remaja pucat itu terangkat, cukup tinggi hingga kedua kaki beralas sepatu kets berwarna kehijauan yang ia kenakan terapung dan terayun-ayun. Kini mata mereka saling bertemu, sorot kemarahan dari lensa coklat menusuk lensa mata merah tak berdaya.

Suara gertakan terdengar dari gigi-gigi Luis, tangan putihnya menahan cengkraman wanita itu. Lensa mata merah bergerak turun kala bibir tipis sang wanita bergerak. Dari gerakan itu, Luis melihat sebuah kalimat berisi kebencian mendalam atas dirinya.

"Matilah, Pembunuh."

Luis pun tersentak dari posisi tidurnya. Sore hari, di sebuah rumah tua yang baru saja ia singgahi. Dan di sanalah, ia menyadari bahwa dirinya baru saja bermimpi.

Itu adalah sebuah alur mimpi yang benar-benar buruk, namun terasa begitu nyata di dalam ingatan. Senyata rasa sakit luar biasa yang ia alami saat ini.

To be continue ....

Tales of TabooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang