Prolog

111 15 9
                                    

Terima kasih sudah mampir💜

Cerita ini sebelumnya sudah di publish beberapa part.

Untuk kenyamanan bersama, ceritanya aku Revisi lalu di publish ulang.

Nama, tempat dan karakter dalam cerita adalah fiksi.

Terdapat kekerasan verbal dan fisik dalam cerita, harap bijak dalam membaca!

Pemuda itu turun dengan susah payah dari sebuah angkot, berjalan menggunakan kruk sebagai penopang tubuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pemuda itu turun dengan susah payah dari sebuah angkot, berjalan menggunakan kruk sebagai penopang tubuh. Tatapan kasihan dan meremehkan tertuju padanya, beberapa juga mencibir karena jalannya yang lamban menghalangi pergerakan orang.

"Heh, Cacat. Minggir dong, ngalangin jalan aja lo!" bentak seorang pemuda yang berhenti tepat di sisi kanannya sembari membunyikan klakson motor berkali-kali.

Dengan pelan, Rimba menggeser tubuhnya ke tepi. Membiarkan orang itu lewat dengan leluasa, lalu melanjutkan langkah memasuki sekolah.

Cacian dan makian terus terdengar sepanjang ia berjalan, tatapan sinis, juga tawa ejekan. Mata hitam kelam itu ia pejamkan, berusaha meredam rasa sesak di dadanya yang kian menyerang lebih dalam. Dia menarik napas, lalu menghembuskan keluar dari mulut.

Perlu beberapa saat untuk menguatkan hati, lalu ia melangkah kembali. Sebelum itu ia menyentuh benda kecil yang bertengger manis di telinganya, menekan satu tombol di sana guna meredam kebisingan di sekitar.

Kakinya yang kaku ia langkahkan menuju kelas XII IPA 1, kelas dengan murid-murid pandai namun tak punya solidaritas. Rata-rata hanya mementingkan nilainya sendiri, kompetisi adalah yang utama.

Hampir saja ia terjatuh ketika seorang gadis keluar dari kelas itu dengan berlari dan menyenggol bahunya, untung saja Rimba punya keseimbangan yang baik. Gadis itu hanya menoleh sekilas lalu kembali berlari, sama sekali tak meminta maaf.

Rimba kembali melangkahkan kakinya, menuju sebuah bangku di sudut ruangan. Mejanya penuh dengan coretan-coretan, ada pula yang tampak seperti bekas tempelan permen karet. Tapi Rimba sama sekali tak peduli, ia mengambil buku dan alat tulis dari dalam tas lalu menyimpannya di atas meja.

Menatap jam lusuh di lengannya, lalu menghitung detik demi detik. Hingga tepat pukul 07.00 WIB, Rimba kembali menyentuh sebuah benda kecil di telinganya. Saat itu juga bel berbunyi dengan nyaring memasuki indra pendengaran Rimba.

Beberapa menit kemudian, seorang guru memasuki kelas itu bersama dengan seorang gadis cantik di belakangnya. Suasana kelas menjadi ricuh, tatapan penasaran semua orang tertuju ke depan.

"Selamat pagi, Anak-anak," sapa guru itu, Bu Ria namanya, guru Fisika di kelas Rimba. Wanita dengan perawakan tinggi besar, memiliki senyum manis dengan kulit sawo matang. Usianya cukup muda, belum genap tiga puluh tahun.

"Pagi, Bu," balas semua siswa.

"Hari ini kalian kedatangan teman baru. Gita, perkenalkan diri kamu," ucap Bu Ria. Gadis yang dipanggil Gita itu mengangguk, lalu tersenyum manis.

"Hai, kenalin nama gue Anggita Risa Purwita. Kalian bisa panggil gue Gita, Salam kenal," ujar gadis itu ramah, disambut sorakan heboh dari beberapa siswa. Ada yang bersiul menggoda, ada yang bertepuk tangan, ada juga yang teriak-teriak seperti baru mendapat doorprize.

"Hai, Gita." Beberapa murid laki-laki dengan kompak menyapa.

"Gita, boleh min—"

"Tanya-tanya nya nanti aja pas istirahat," potong Bu Ria saat seorang siswa baru saja hendak angkat bicara.

"Yah, si ibu. Gak bisa lihat anak muridnya seneng dikit," dengus siswa yang ucapannya baru saja dipotong Bu Ria.

"Sudah, diam kamu. Gita, silahkan kamu duduk di samping Rimba karena cuma bangku di sana yang kosong," ucap Bu Ria menunjuk Rimba.

Rimba terlonjak, apalagi ketika seluruh tatapan tajam para siswa tertuju padanya. Pemuda itu melihat seisi kelas, memang hanya tersisa bangku di sampingnya lah yang kosong. Ia tak bisa melayangkan protes, dan memang selalu seperti itu. Pendapatnya tak pernah diterima, ia sadar akan hal itu.

"Baik, Bu." Irgita berjalan menuju meja Rimba, rambutnya yang terkuncir bergerak ke kiri dan ke kanan bersamaan dengan langkahnya.

"Hai, salam kenal Rimba," ucap Anggita tersenyum manis. Rimba hanya mengangguk, ia merasa canggung karena ini adalah kali pertama ada yang menyapa dan tersenyum manis padanya.

Anggita tampak sedikit kecewa melihat respon Rimba, namun gadis itu berusaha memakluminya. Mungkin Rimba itu pemalu, pikirnya.

Gadis itu kemudian menoleh ke depan, memperhatikan Bu Ria yang sudah memulai pembelajaran.

Sesekali ia melirik Rimba, tak bisa Anggita pungkiri jika Rimba sangat tampan. Ketika sedang mengamati wajah Rimba yang serius memperhatikan pelajaran, Anggita tak sengaja melihat benda kecil yang terdapat di telinga pemuda itu. Tampak seperti ear monitor, namun jelas bukan itu. Anggita tahu, itu adalah alat bantu dengar. Sama seperti yang di miliki adiknya dahulu.

"Dia? Tuli?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RimbaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang