Semerindu kamu. Sebahaya itu aku.
Membuat bom waktu,
yang tidak tahu kapan meledaknya itu.🔥🔥🔥
Raina tidak pernah menyukai keramaian dan suara musik keras yang menghantam gendang telinganya. Namun dalam kamuflasenya, dia tidak akan menunjukkan itu semua. Maka yang dia lakukan hanya tetap duduk diam di sudut ruangan sembari menatap tidak menarik pada kumpulan manusia di depannya.
Hingga matanya berhenti pada satu objek yang membuatnya segera bangkit, bahkan hampir melompat dari sofa yang dia tempati. Raina berjalan menjauh dari lantai dansa. Langkahnya semakin cepat kala melihat sosok yang paling ia hindari masih terus mengikutinya. Heels 7 cm miliknya bahkan sudah dia lempar ke sembarang arah. Perduli apa dengan kakinya yang tidak memakai alas, dia hanya ingin terus berlari hingga wujud seseorang di belakangnya berhenti mengikuti.
Belokan demi belokan yang dia lalui tidak membuat sosok yang mengejarnya kehilangan jejak. Setiap kepalanya menoleh, Raina masih saja bisa melihat jika sosok itu masih ada di belakang. Deru napasnya sudah menipis, merasa sia-sia kakinya berlari. Tapi sedetik kemudian binar matanya terpancar saat sosok laki-laki yang amat sangat ia kenali, berdiri tak jauh darinya.
"Kak Alan!" teriak Raina.
Gadis itu mempercepat laju kakinya menuju sosok yang berhenti melangkah dan berbalik menghadapnya.
"T-tolong..." dengan napas terengah miliknya, Raina meminta.
Tanpa berniat repot membantu gadis di depannya, laki-laki bernama Kalan itu justru berbalik ingin melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Raina tahu laki-laki itu pasti sangat menolaknya, maka dengan tarikan kecil pada ujung jas pria itu dia lakukan.
"Tolong ... sekali ini aja," lirihnya.
Kalan, laki-laki yang malam ini tampak sangat menawan di mata Raina dengan setelan jas hitamnya, menatap tajam ke arah sosok gadis yang paling dibencinya sewaktu di sekolah dahulu juga di kampus saat ini.
"Kak, kali ini aja please..."
"Raina!"
Yang diteriaki pun tanpa sadar meremat kuat ujung jas Kalan. Mereka masih sama-sama diam. Kalan dengan raut datar tapi terlihat lebih menyeramkan, sedangkan Raina yang sudah sangat cemas hingga rambut berantakan juga wajah yang dipenuhi peluh tidak lagi menjadi prioritasnya.
"Gue punya syarat."
Mata Raina berbinar kembali. "Apapun asal Kakak mau nolong aku."
Sedikit mendekatkan tubuhnya, Kalan berbisik pelan tepat di depan telinga Raina, "Tidur sama gue. Itu syaratnya."
Raina berkedip pelan. Tubuhnya sontak melangkah mundur perlahan.
"Raina, kamu mau kemana? Kita harus pulang sekarang."
Raina menggeleng saat sosok kakak sepupunya yang sedari tadi mengejar, datang dan menarik tangannya begitu saja. "Lepasin!" sentak Raina.
Hidupnya hanya ada dua pilihan sekarang. Dimana masing-masing pilihan membawanya menuju satu tempat bernama lubang bunuh diri. Dia hanya tinggal memilih, melompat dari atas tebing dengan keindahan yang masih bisa dia lihat atau melompat dari atas gedung tanpa keindahan yang bisa dinikmati. Dan dalam hitungan detik, pilihan telah ditetapkan.
"Aku mau."
Maka smirk Kalan muncul, bersamaan dengan tangannya yang menarik keras tangan Raina hingga tubuh gadis itu menabrak dada bidangnya.
"Maaf, tapi kita butuh privasi."
Sedang Raina menahan keras detak jantungnya yang malah semakin berdebar tidak karuan di dalam sana. Apa lagi ketika tangan besar milik Kalan berpindah menuju pinggangnya dan sedikit meremas di sana.
'Here comes hell'
🔥🔥🔥
Dan nyawa Raina kini hanya sebatas mainan.
"Aku mau tidur sama Kakak!" teriak Raina sebelum laki-laki itu pergi dari kamar ini.
Ya katakanlah dia sudah gila karena menerima tawaran tidur dengan laki-laki begitu saja. Sangat mudah. Seolah dirinya murahan. Terus apa yang dia dapat?
Sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas. Hanya dengan matanya, Raina bergidik ngeri, merasa sedang dilucuti langsung oleh tatapan tajam yang terarah kepadanya.
"Sebucin itu lo sama gue?" tanya Kalan sambil memandang remeh ke arah gadis dengan dress berwarna maroon sepaha. Sangat pas di tubuh gadis itu, seakan sengaja membiarkan para laki-laki menatap lapar ke arahnya.
"Kakak ngasih pilihan..." menjeda pelan, Raina meneguk ludah kasar. "Dan pilihan aku adalah tidur sama Kakak," lanjutnya. Terserah laki-laki itu mau bilang apa, bagi Raina yang penting dia juga mendapatkan apa yang dia mau.
Laki-laki bertubuh jakung dengan badan proposional itu berjalan ke arah Raina yang sekarang terduduk cemas di tepi ranjang. Tubuh Kalan membungkuk, memajukan wajahnya hingga membuat tubuh Raina sontak mundur ke belakang.
Namun tangan laki-laki itu justru menahan punggung Raina. Mata gadis itu membulat saat merasa tangan Kalan bergerak mengelus pelan punggungnya dengan wajah yang semakin maju. Raina bahkan sudah menahan napasnya karena tidak siap dengan sikap laki-laki itu. Jantungnya berdebar kencang, merasa ledakan besar di dalam sana. Sebuah bom bunuh diri.
"Lo tahu tidur yang gue maksud, ngga akan seindah tidur yang lo impikan."
Dan Raina juga tahu, sedari awal dia tidak pernah menyesal dengan pilihannya. Karena dalam kehidupan ini, kehilangan Kalan jauh lebih buruk dari pada penyesalan yang menanti di ujung sana.
"Tapi aku juga punya syarat."
Gerakan tangan Kalan berhenti. Setelah ucapan Raina yang secara tiba-tiba membuatnya merasa termakan oleh jebakannya sendiri.
Tatapannya perlahan naik. Dari leher gadis itu, melalui bibir, hidung, hingga jatuh pada sepasang mata yang membuatnya sedikit tersentak. Menatap lama pada mata itu.
"Aku mau Kakak ngabulin tiga permintaanku."
Masih dengan menatap mata itu, sebelah tangannya pun tak tinggal diam. Mengelus pelan sepanjang lengan Raina, hingga sampai pada bibir tipis berwarna merah menyala. Mengelus pelan di sana.
Raina merasa debar jantungnya semakin kencang. Apalagi saat sepasang mata milik Kalan menatap lekat matanya. Dan lagi tangan laki-laki itu pun tak tinggal diam. Bergerak mengelus pelan sepanjang lengan miliknya, hingga sampai pada bibir tipis yang malam ini dia poles dengan lipstick berwarna merah menyala.
"Sudah berapa cowok yang ngerasain bibir ini?"
Bukannya merasa terhina atau takut, Raina justru tersenyum menggoda. Tangannya bahkan berani naik dan bergerak membuat pola melingkar di dada Kalan.
"Banyak, cuma Kakak yang belum," jawabnya. Dia merasa benar-benar menjadi jalang saat ini.
Wajah Kalan kembali bergerak maju namun sebelum sampai di bibir yang sedari tadi menjadi incarannya itu, sebuah tangan sudah lebih dulu membekap mulutnya.
"Jawab soal permintaan aku tadi dulu," ujar Raina.
Mata gelap milik Kalan menatap sayu ke arah Raina. Tangannya mengambil tangan kecil yang membekap mulutnya serta tangan lain Raina untuk kemudian dia tahan di atas kepala perempuan itu.
Sementara matanya masih betah menatap Raina. "Apapun itu, asal lo ngga berisik."
Kepalanya bergerak mendekat. Napas beratnya menerpa sisi leher Raina. Hidungnya bahkan telah bersentuhan dengan kulit leher itu. Mengendus pelan di sana. Mencoba mengenali aroma tubuh gadis di bawah kukungannya ini.
"Gue bahkan belum ngelakuin pembukaan. Dan lo sudah setegang ini," remeh Kalan.
"Kalau gitu biarin aku yang mulai duluan."
Siapa orang bodoh yang membuka pintu kematiannya sendiri? Raina. Tanpa berpikir dua kali atau sebenarnya tidak perlu menggunakan otaknya untuk berpikir jika menyangkut soal laki-laki yang begitu dicintainya.
Tinggal mengucapkan selamat datang pada kematian yang menuju padanya.
🔥🔥🔥
Up lagi? Votmen dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuddling Myself
Romance"Aku mau tidur sama Kakak!" teriak gue sebelum laki-laki itu pergi dari kamar ini. Ya katakanlah gue udah gila karena nerima tawaran buat tidur sama dia gitu aja. Terus apa yang gue dapet? Sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas. Hanya dengan ma...