#1 Chapter One: Velita (1)

18 2 2
                                    

Velita PoV

Seseorang akan dengan mudah jatuh cinta pada orang yang menolongnya. Setidaknya itu yang dipercaya oleh banyak orang. Sehingga dalam film atau drama sering terdapat adegan di mana sang pemeran wanita jatuh cinta pada pria yang menolongnya.

Namun, dalam kehidupan nyata, yang terjadi justru sebaliknya. Seseorang cenderung jatuh cinta pada orang yang dia tolong. Itulah yang terjadi padaku, jatuh cinta pada seorang gadis cantik di kampusku. Iya, aku yang seorang wanita, jatuh cinta pada wanita lain. Aku pun tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi, aku tak pernah membayangkan akan jatuh cinta pada seorang wanita. Sebelumnya, aku pernah beberapa kali pacaran dengan laki-laki, namun aku tak pernah benar-benar jatuh cinta. Namun aku juga tidak pernah jatuh cinta pada wanita. Aku hanya jatuh cinta padanya, pada gadis bernama Jinan itu.

Aku masih ingat saat pertama aku bertemu dengannya, dengan Jinan. Saat itu aku mendengar suara tangisan dari toilet wanita di kampus. Aku mengetuk pintunya dan bertanya apakah dia baik-baik saja. Tangisannya berhenti seketika, sempat aku takut karena mengira mungkin itu hantu. Lalu perlahan dia membuka pintu toilet. Dia terduduk di kloset yang tertutup, dalam keadaan berantakan dan meminta maaf jika dia membuatku menunggu terlalu lama untuk menggunakan toilet. Tidak, aku tidak hendak menggunakan toilet. Lagipula di sana ada 2 toilet dan yang satunya juga memang kosong.

Jinan masih terisak, dan kulihat dia telah menggunakan semua tisunya. Aku hendak memberikan dia tisu milikku. Namun, alih-alih memberikan padanya, hatiku tergerak untuk menghapus air matanya dengan tanganku sendiri. Aku tidak tahu apa yang membuatku melakukan itu. Kasihan? Iba? Aku tidak tahu. Aku hanya menghapus air matanya tanpa mengatakan apapun. Hal itu bukannya membuat air matanya berhenti, malah membuatnya jatuh lebih deras.

Suara langkah kaki terdengar mendekat dan sepertinya akan memasuki toilet. Aku masuk ke toilet tempat Jinan duduk, dan menutup pintu. Toilet yang sempit itu membuatku sulit bergerak. Aku hanya diam berdiri di depan Jinan yang masih saja menangis sesenggukan. Kemudian Jinan memeluk pinggangku, lalu mengeluarkan tangisan terperih yang pernah kudengar. Saat itu aku hanya berpikir mungkin dia hanya butuh pelukan, jadi aku pun memberikannya. Aku balas memeluknya.

Setelah dia agak tenang, aku ajak dia keluar, menghirup udara segar. Tak jauh dari kampusku ada sebuah taman yang mengarah ke danau. Suasana di sana sangat tenang. Aku mengajaknya ke sana. Di sana dia bercerita, tentang cintanya yang dikhianati, tentang kesulitan yang dia hadapi gara-gara itu, tentang waktu terburuk yang dia jalani untuk lepas dari orang yang salah. Tentang bagaimana kepercayaan dan pengorbanannya dimanfaatkan. Aku hanya mendengarkan. Sesekali aku memeluknya saat dia terlihat sangat terluka.

Dan begitu sadar, aku begitu ingin terus berada di sampingnya, mengelus rambutnya, memeluknya. Siapapun yang telah menyakitinya, aku benar-benar mengutuknya. Aku tidak ingin dia terluka. Aku ingin memeluknya, menenangkannya.

Sejak itu, Jinan sering menghubungiku saat dia ingin curhat. Dia bilang aku pendengar yang baik. Sebenarnya aku hanya ingin mendengar suaranya, dan memeluknya saat dia terluka. Jinan juga selalu tersenyum padaku saat kamu berpapasan di kampus. Dan setiap kali itu terjadi, jantungku berdebar-debar sangat kencang. Senyumannya itu, aku ingin melihatnya setiap hari. Namun, aku bahkan tidak berada di lingkaran pertemanannya. Kita tidak satu jurusan, dan tak ada teman yang sama. Tak apa, aku tetap bisa berduaan dengannya saat dia curhat. Dia bilang hanya aku yang bisa mendengar semua curhatannya dan merahasiakannya, hanya aku yang bisa mengerti dirinya. Hanya aku, katanya.

Saat Jinan bilang ingin curhat, maka kita akan pergi ke taman, duduk di sebuah bangku yang tepat mengarah ke danau. Di sana kita bisa mengobrol berdua selama berjam-jam. Di sana kita bisa saling berbicara dari hati ke hati. Di sana, aku semakin jatuh cinta padanya. Di sana, aku semakin ingin memeluknya. Hatiku seolah terikat dengan tempat itu, sehingga terkadang aku pergi ke sana dan duduk sendirian ketika merindukannya.

You Never KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang