Barangkali Tuhan tidak memberinya keindahan. Tubuh kecil nan hitam, ditambah wajah yang jauh dari kata tampan. Dilengkapi pula dengan keadaanya yang serba kekurangan. Ah, sungguh bukanlah lelaki idaman.
Bagaimana seorang wanita bisa menyukainya?
Cinta itu tidak memandang fisik dan materi, katanya. Namun, mengapa semua hal itu selalu menjadi acuan dalam setiap hubungan?
"Apa kau ingin menikah, Julaibib?"
Pertanyaan Rasulullah membuatnya kaget. Julaibib lalu termenung. Ia diam. Apa Rasulullah sedang bercanda? Batinnya menduga.
"Apa aku benar-benar tidak laku?" Pemuda itu balik bertanya. Lagi pula, ia merasa tidak yakin ada yang mau dengan dirinya.
Wajah tampan nan rupawan serta bergelimangnya harta terkadang menjadi sebuah tolak ukur seorang lelaki akan diinginkan wanita. Namun, semua itu tidak ada pada diri Julaibib. Rendah diri, mungkin seperti itu gambaran hati lelaki yang kini duduk berhadapan dengan Rasulullah.
"Kau tahu? Di sisi Allah, engkau orang yang laku."
Julaibib diam. Ia tertunduk. Hatinya menghangat. Buncahan bahagia serta merta menyelimuti hati kecil Julaibib. Terpancar lewat senyum yang terukir sempurna di bibir pemuda itu.
Ah, Rasulullah selalu bisa membuatnya merasa berharga.
Ia ingat, ia selalu merasa dianggap ada oleh Rasulullah di saat yang lain melupakan kehadirannya.
Cinta. Ya, mungkin inilah cinta sesungguhnya.
Perlakuan Manusia Agung itu mampu menumbuhkan rasa cinta di hati Julaibib. Cinta tanpa syarat. Cinta yang benar-benar suci karena Allah, bukan karena apa dan siapa dirinya.
Belum pernah Julaibib merasa ingin selalu dekat dengan seseorang selain Rasulullah. Di mana pun berada. Hingga membuat hari-harinya tak merasa kesepian lagi.
"Wanita mana yang mau denganku, Rasulullah? Adakah orang tua yang menginginkan menantu sepertiku?"
Rasulullah memandangnya dalam, tanpa melepas senyuman. Meyakinkan bahwa semua akan ada jalannya. Meyakinkan bahwa mereka punya Allah yang Maha Berkehendak.
Rasulullah dan Julaibib berjalan beriringan, hingga sampai di depan sebuah rumah.
Julaibib terperanjat. Ia tahu betul rumah siapa yang hendak disinggahi ini. Mendadak hatinya menciut. Siapalah dirinya hingga berani meminang anak pemuka kaum?
'Wahai diri, yakinlah engkau kepada Rasulullah'! batin Julaibib berkecamuk.
Setelah mengetuk pintu, tampaklah seorang laki-laki yang menyambut mereka dengan semringah.
"Wahai tamu agung, ada apakah gerangan menemui kediaman kami?" Sang tuan rumah bertanya dengan penuh binar. Senyumnya merekah. Kehadiaran Rasulullah membuat ia merasa rumahnya tengah dipenuhi berkah.
"Aku ingin menikahkan putrimu."
Terpancar kebahagiaan dikedua mata tuan rumah. Namun, seketika meredup kala Rasulullah melanjutkan ucapan.
"Bukan untuk aku, tapi untuk Julaibib."
Tuan rumah merasa seperti terhempas. Harapannya pun langsung sirna. Ia bimbang dan ragu. Mampukah dirinya menolak permintaan Rasulullah?
Sedang Julaibib tak mampu untuk menampakkan diri. Ia tertunduk, bersembunyi di belakang punggung lebar Rasulullah. Meski ia sempat menduga, tapi melihat langsung respon yang tak mengenakan itu, membuat hatinya semakin menciut.
"Baiklah, aku akan membicarakannya dengan istriku dulu."
Setelah sang tuan rumah masuk, tak lama terdengar suara ribut. Suara seperti dua orang yang sedang adu mulut. Beberapa kali suara seorang wanita mengatakan tidak, mungkin ia tengah menolaknya. Ah, makin kecil saja hati Julaibib.
Namun, tak lama terdengar suara seorang wanita yang lain. Bukan suara yang sebelumnya mengatakan tidak.
"Siapakah orang yang meminangnya untukku?"
"Rasulullah."
"Aku menerimanya. Antarkanlah aku kepada Rasulullah. Aku yakin, Rasulullah tidak akan menyia-nyiakan diriku."
Untuk kedua kalinya, Julaibib merasa dianggap ada.
***
Usai peperangan. Ketika pedang-pedang sudah masuk pada sarungnya, ketika kuda-kuda perang sudah terikat kuat pada pohon-pohon kelapa yang berjajar, seperti biasa Rasulullah mengumpulkan para sahabat. Memastikan keadaan mereka seusai melakukan pertempuran yang melelahkan. Juga bertanya siapa saja yang gugur dalam peperangan.
Para sahabat menyebutkan satu persatu orang yang syahid di medan perang. Namun, Rasulullah belum puas. Dia lalu kembali mengulangi pertanyaan.
"Siapakah yang gugur?"
Para sahabat tetap menyebutkan nama orang yang sama. Tidak, Rasulullah puas. Beliau belum melihat seseorang yang selama ini terus mengikutinya. Hingga diulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Dan jawaban sama pun tetap Beliau terima.
"Tidakkah kalian merasa kehilangan seseorang?" tanya Rasulullah dengan wajah memerah, menahan tangis.
Para sahabat serentak menggeleng, kemudian saling berpandangan. 'Siapakah yang dimaksud Rasulullah?' Batin mereka bertanya-tanya.
"Aku kehilangan Julaibib." Bergetar suara Rasulullah. Luruh sudah air matanya. Sahabat setianya telah gugur.
Para sahabat tertunduk, malu. mereka melupakan seseorang yang berarti bagi Rasulullah.
"Carilah dia!"
Bergegas semua orang mencari Julaibib, tak terkecuali Rasulullah sendiri. Hingga akhirnya Rasulullah menemukan jasad yang terasa familiar dalam pandangannya. Tubuh kecil yang penuhi darah di antara tujuh jasad orang kafir. Ya, Julaibib telah membunuh orang-orang kafir itu sebelum akhirnya ia terbunuh.
Rasulullah terdiam memandang jasad di hadapannya. Hatinya hancur, manakala sahabat setianya telah gugur membawa cintanya.
"Julaibib, dia adalah bagian dari diriku, dan aku bagian dari dirinya,"¹
Dengan tangan gemetar, Rasulullah mengangkat jasad Julaibib, kemudian mensalatkannya. Dan Beliau pula yang menguburkannya.
.
'Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.'²
.
¹ HR. Muslim
² QS. Al-Fajr : 27-30