Tangis Kerinduan

2 0 0
                                    

Pada setiap kekurangan ada kelebihan. Pada setiap kejelekan ada keindahan. Benarkah demikian? Ya, memang benar, sangat benar.

Adalah dia, sorang pria hamba sahaya--budak yang diperjual belikan--berkulit hitam legam, bernama Bilal. Kehidupannya bagai tak ada arti. Ada tapi tak dianggap. Berwujud tapi tak terlihat.

Suatu hari sang Tuan, Umayah mengetahui perihal keislaman Bilal. Sudah pasti orang kafir akan murka jika mendapati salah seorang kaumnya yang memasuki agama baru (kata mereka), termasuk Umayah.

Sang Tuan itu menyeret Bilal ke tengah padang pasir yang sangat panas akibat terik sinar matahari di tengah hari. Tubuh Bilal direntangkan di atas pasir, kemudian Umayah menindihnya dengan batu besar.

"Bilal, ingkari Muhammad dan kembalilah menyembah Latta dan Uzza1"¹

Tubuh Bilal merasa sakit dan panas, ia begitu tersiksa. Umayah yakin bahwa budaknya itu akan kembali menyembah agama Nenek Moyangnya dan mengingkari Muhammad.

Namun, tanpa diduga, di antara rasa sakit yang mendera, Bilal mengucap kata yang paling dibencinya.

"Ahad! Ahad! Ahad!"

Satu, satu, satu. Bermakna Allah yang satu. Umayah bertambah murka. Ia terus menambah siksaan dan penderitaan Bilal. Tidak hanya itu, Umayah juga pernah mengikat leher Bilal dengan tali, kemudian tali itu diberikan pada anak-anak supaya mereka mengarak Bilal keliling kampung.

Tak ingin ketinggalan, Abu Jahal juga kerap kali menyiksa Bilal.

Siksaan demi siksaan pedih terus dilayangkan Umayah pada Bilal. Hal itu membuat hati Abu Bakar merasa pedih dan prihatin.

Begitu berat ujian Bilal untuk mempertahankan keimanannya.

Abu Bakar tidak tahan, lantas segera menemui Umayah yang saat itu tengah menyiksa Bilal.

"Hei, Umayah, kasihan dia. Apa kau akan menyiksanya sampai mati?"

"Bukan urusanmu. Lagipula kau yang menyebabkan dia seperti ini. Coba saja selamatkan budak ini kalau kau bisa." Umayah melayangkan tatapan sengit pada Abu Bakar.

Abu Bakar menghela napas. Ya, memang dia yang mengajak Bilal untuk masuk agama islam. Tapi sejurus kemudian Abu Bakar merasa senang karena mendapat peluang.

"Aku punya budak hitam yang lebih kuat dari pada Bilal, dan keyakinannya sama denganmu. Kalau kau mau, kau bisa menukarnya dengan Bilal."

Tanpa menunggu lama, Umayah langsung menerima tawaran Abu Bakar.

Maka, saat itu juga Abu Bakar membawa Bilal yang sudah kepayahan dan kesakitan sebab luka di sekujur tubuhnya.

Sahabat yang lembut hati itu merawat Bilal sampai sembuh, mengobati luka-lukanya, memperlakukan ia layaknya saudara, bukan seperti budak. Dan kenyataan yang tak disangka Bilal, bahwa Abu Bakar membebaskannya dari perbudakan.

Tangis haru membasahi wajah hitam itu. Kini Bilal bukanlah seorang budak lagi, ia sudah merdeka.

Karunia atas kesabaran dan ketabahan mempertahankan keimanan.

Sungguh! Bilal tak pernah menyesal telah memilih jalan yang ditempuh Rasulullah.

Setelah merdeka, Bilal selalu mengikuti Rasulullah dan Abu Bakar. Berbagai peristiwa telah mereka lalui bersama. Peperangan, hijrah, pun dalam majlis ilmu. Bahkan Rasulullah mengangkatnya sebagai muadzin karena suaranya yang lantang dan indah. Semua orang mengakui itu.

Setiap hari Bilal semakin cinta pada agama yang dianutnya, juga pada Rasul yang membawanya.

Muhammad, namanya abadi terpatri dalam hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHIRAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang