Pesan Misterius

3 2 1
                                    

🍅🍅🍅

Suara klakson mobil terdengar hingga ke kamar saat aku sudah siap dengan setelan rok hitam, blus batik dan kerudung biru. Kuputar bola mata jengah karena kesal dengan si empu mobil. 

Kupastikan sekali lagi penampilanku di depan cermin. Oke, sip. Saatnya meluncur ke tempat mentransfer ilmu. Tepatnya di SMA Angkasa, sebuah sekolah bonafid di pusat kota Jogja yang mengharuskan setiap wali murid baru untuk mengikhlaskan 15 juta rupiah sebagai uang pangkal. Tapi sepadan sih, sama fasilitas yang disediakan. 

Baru saja hendak menapakkan kaki di tangga depan kamar, ponselku berbunyi, tanda sebuah pesan telah masuk. 

Kulihat pesan di aplikasi berlogo telepon. 

[Assalamualaikum, Alya]

Dahiku mengkerut melihat isi pesan. 

[Siapa, ya?] balasku. 

Tentu saja aku tak tahu karena nomornya tidak tersimpan di kontakku. Karena tergesa-gesa, kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Segera ku melangkah menuruni tangga, kemudian berpamitan pada Ibu. 

Kulihat Mas Bayu, tunanganku, sudah siap di balik kemudi dengan senyum khasnya. Sedikit enggan kuposisikan diri duduk di sebelahnya. 

"Sudah kubilang kan Mas, nggak usah jemput. Aku bisa naik motor sendiri. Aku tuh bener-bener ingin mengurangi interaksi kita. Aku bener-bener mau hijrah, Mas. Nggak cuma terlihat pakai kerudung saja, tapi juga tercermin dalam perilaku.  Pokoknya, nanti pas pulang aku mau naik ojol," ujarku sedikit nge-gas. 

"Sudah ngomongnya?"

Apa? 

"Ya belumlah. Aku masih ingin nanyain lagi, kapan kamu mau halalin aku? Kalau sudah halal 'kan, kamu bisa antar jemput aku sesuka hati."

Ish! Menyebalkan. Sini ngomong panjang lebar, reaksinya hanya seperti itu.  

Kualihkan pandangan ke luar jendela menatap hilir mudik para pengendara yang memadati lalu lintas kota. 

Mas Bayu tetap terdiam setiap kali aku menanyakan hal itu. Biar saja aku dibilang ngebet minta kawin. Toh, ibuku sudah sering memperingatkanku untuk meminta Mas Bayu supaya segera menikahiku. 

Ting!

Kuambil ponsel yang kembali berbunyi. 

[Hati-hati di jalan, Alya. Jangan marah-marah terus]

Siapa sih, ini sebenarnya? Dari mana orang ini tahu aku sedang marah? Aku tanya siapa dia, tapi tak ada jawaban. Ah, lebih baik kubiarkan saja. Tidak penting juga. 

"Siapa, Al?" tanya orang di sampingku. 

"Bukan siapa-siapa," jawabku singkat. 

Kulihat pria itu mengembuskan napas dengan kasar. 

"Al, sudah ku bilang, 'kan? Tunggu sampai aku benar-benar siap menikahi kamu."

"Tapi sampai kapan, Mas? Umurku sudah hampir dua enam lo ini. Nunggu aku jadi perawan tua? Lagipula kita sudah bertunangan selama satu tahun lebih. Aku nggak mau menambah dosa terus," terangku, "atau, kalau kamu nggak mau serius denganku, silakan cari orang lain saja," tegasku. 

"Alya, please ... sebentar lagi aku tuh bakalan diangkat menjadi kepala cabang. Aku mau fokus dulu ke situ." 

Nah! Selalu itu alasannya. 

"Aku malah pengennya kamu tuh keluar dan cari kerjaan lain. Nggak berkah, Mas, kerja di bank kayak gitu. Kata mentor liqo' ku, banyak ribanya itu." Kuungkapkan keberatanku. 

Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang