Kau selalu menyukai dongeng. Saat ibumu menarik selimut sampai menutup dagu dan membelai kepalamu lembut. Kau suka cara ibumu membuatmu tidur, dengan suara lembutnya yang mengalunkan dongeng-dongeng sampai kau terlelap. Kau suka semuanya, mulai dari putri tidur, ksatria baja hitam, sampai bajak laut— dan juga ... putri duyung.
"Mereka cantik— sangat cantik. Kulit mereka seputih pasir putih, rambut mereka seperti helaian emas halus, dengan suara indah seperti ombak, dan bola mata bening seperti pantulan air tapi juga dalam tak berujung seperti samudra."
"Apa mungkin ada hal secantik itu di dunia ini?"
"Tentu saja," Ibumu tersenyum, "Bahkan ada yang lebih cantik daripada putri duyung."
"Apa itu?" Kau bertanya dengan polos.
"Cinta," Ibumu membelai lembut rambutmu, "Cinta adalah hal terindah di dunia ini. Cinta yang akan membuatmu merasa bahagia— jauh lebih bahagia daripada kisah-kisah yang ada di dalam dongeng."
"Apa aku juga akan merasakan cinta? Seperti putri-putri di dongeng?" Kau bertanya lagi.
Ibumu tertawa pelan sebelum berkata, "Kau tidak harus jadi putri, [Name]. Semua orang bisa jatuh cinta."
"Benarkah?" Mendengar jawaban ibumu, bibirmu sontak melengkungkan senyuman, "Kalau begitu, aku ingin jatuh cinta pada sesuatu yang seindah putri duyung."
"Tapi putri duyung itu berbahaya," Ibumu memperingatkan, "Mereka akan memikat manusia dengan kecantikannya lalu menariknya ke dalam lautan. Kau akan terkurung di lautan, dan tidak akan bisa kembali lagi."
"Tapi aku kan kuat, Mama. Aku tidak akan kalah dari putri duyung." Kau berkata dengan percaya diri.
"Benar, anak mama kuat. Tapi pertama-tama, kau harus jadi dewasa dulu, dan itu artinya kau harus tidur sekarang— nah sekarang pejamkan matamu," Ibumu mengecup kepalamu, "Selamat tidur, [Name]."
"Selamat tidur, Mama." Kau bergumam perlahan sebelum jatuh tertidur—
Kau bermimpi tentang putri duyung malam itu.
.
.Kau berumur enam tahun ketika pertama kali mendengar orang tuamu bertengkar hebat. Sekeras apa pun kau berusaha menutup kedua telingamu, teriakan penuh amarah ayahmu tetap terdengar. Kau mengintip di balik celah pintu kamarmu, dan kau hanya bisa melihat bayangan ayahmu yang menampar ibumu.
'Itu bukan ayahku'
Kau menggeleng takut. Ayahmu tidak pernah marah— apalagi memukulmu.
Kau berharap semua ini tidaklah nyata. Semua ini hanyalah mimpi buruk, atau mungkin ini kerjaan iseng dari nenek sihir jahat dari dongeng.
Kau meringkuk di tempat tidurmu, membungkus tubuhmu dengan selimut seperti kepompong. Suara-suara keras dan menyeramkan itu sudah berakhir, hanya meninggalkan suara angin dan ranting yang mengetuk jendela kamarmu yang berpadu dengan suara detik jam dinding.
Kau memejamkan matamu, namun rasa kantuk tidak kunjung datang. Hingga akhirnya pintu kamarmu dibuka perlahan. Dari suara langkahnya yang ringan, kau langsung mengenali itu adalah suara langkah kaki ibumu.
Ibumu menyelinap ke tempat tidurmu dengan hati-hati sebelum memelukmu dengan perlahan agar kau tidak terbangun. Kau mulai merasa tenang dalam dekapan ibumu, tapi tidak lama kemudian kau dikejutkan dengan cairan hangat yang menetes mengenai pipimu.
Tidak ada suara ibumu yang melantunkan dongeng malam itu, hanya suara isakan yang tertahan.
Kau ingat ayahmu pernah berkata, "Aku mencintaimu," kepada ibumu. Kau juga ingat senyum bahagia mereka ketika ibumu tersenyum dan membalasnya dengan, "Aku juga mencintaimu."
Cinta seharusnya membuat mereka bahagia seperti di dongeng, lantas mengapa mereka berteriak? Mengapa ayahmu terlihat sangat tersiksa? Mengapa ibumu menangis? Mengapa mereka tidak hidup bahagia selama-lamanya seperti yang tertulis di akhir dongeng?
Kenapa?
Kau berumur enam tahun ketika kau berhenti percaya—
Menolak untuk percaya pada dongeng dan cinta.