06. Porridge

28 2 31
                                    

Seminggu Liana lewatkan untuk menghabiskan malamnya tidur di kamar tidur milik orang tuanya dan kejadian yang sama terus saja terjadi pada dirinya. Terbangun dari mimpi buruk setiap dini hari dengan keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Gadis itu sementara berusaha mengatur napasnya yang ia rasa sangat terbatas untuk ia hirup.

Liana menghirup oksigen lebih dalam sambil mengusap wajahnya yang tertutupi beberapa helai rambut dan mulai menghela napasnya perlahan. Mimpi buruk terus menghantui tidurnya semenjak dirinya memilih untuk tidur di kamar tidur orang tuanya.

Beberapa mimpi buruknya selalu membuat dirinya menangis layaknya sekarang—hanya saja tidak separah beberapa hari yang lalu. Namun, lucunya tidak satupun mimpinya yang berhasil ia ingat secara sempurna, hanya sepotong bagian akhir mimpinya.

Liana mengambil handphonenya yang ia letakkan di samping bantalnya, kembali mengirimkan pesan kepada Mamanya perihal mimpi buruknya sekali lagi, tetapi belum ada respon sama sekali yang diberikan oleh wanita yang melahirkannya itu.

Gadis itu kembali meneteskan air matanya. Bertanya pada dirinya, "kenapa sih gue merasa sendiri." Liana memeluk lututnya dan menjadikan kedua lututnya itu sebagai tumpuan kepalanya untuk menundukkan kepalanya.

Membiarkan dirinya menghabiskan malam itu dengan tangisannya dan menenangkan dirinya disaat yang bersamaan.














Cahaya matahari kembali berhasil membuat dirinya terbangun dengan wajah yang bengkak karena menangis semalaman. Lelah adalah perasaan paling pertama ia rasakan setiap terbangun dari tidunya setelah menangis. Lelah secara fisik maupun mental.

Menghela napasnya pelan dan turun dari tempat tidur berukuran king size itu dan beralih ke kamar mandi yang juga terletak di kamar tidur orang tuanya untuk membasuh wajahnya dengan air dingin di pagi hari.

Ia kemudian menghampiri kamar yang berhadapan dengan kamar tidurnya, kamar tidur yang tampak seperti studio dengan lukisan berada di sekelilingnya—lebih tepatnya kamar yang tertunda saat itu untuk ia kunjungi. Ah, perasaan Liana pertama kali memasuki kamar tidur itu sedih hingga ia kembali meneteskan air matanya. Rindu juga ikut bergabung dengan perasaan sedihnya itu, tidak lupa dengan rasa bingung yang mendominasi.

Kali ini, senyuman lah yang ia tunjukkan pertama. Kumpulan lukisan sunrise itu berhasil membuatnya bahagia sekaligus rindu. Entah perasaan rindu ini ia tujukan kepada siapa, Liana juga tidak tahu.

Liana ingin menebak ruangan ini adalah miliknya, tetapi ia mengakui dirinya tidak memiliki jiwa seni apalagi dalam hal melukis sama sekali. Satu tebakan lainnya adalah ini kamar saudaranya—jika ia benar-benar mempunyai seorang saudara.

Seraya mengelilingi kamar ini, menatap satu per satu lukisan dihadapannya, Liana menangkap seekor kupu-kupu yang lewat di luar jendela kamar ini. Liana mengikuti arah kupu-kupu itu pergi dengan meperkirakan akan bertemu di sisi jendela yang satunya.

Walaupun berhasil ia dapatkan saat melewati jendela satunya, kupu-kupu itu semakin menjauh hingga tidak dapat Liana ikuti lagi. Dirinya hendak keluar dari ruangan itu, tetapi sebuah subjek di depan pagar rumahnya berhasil mengambil atensinya.

"Chenle?" Liana menatap laki-laki itu dibawah sana yang sedang melambaikan tangan padanya. "Dia bisa lihat gue dari sana?" tanya Liana pada diri sendirinya kemudian menunjuk dirinya—memastikan Chenle benar-benar sedang mencoba mengambil perhatiannya.

Chenle menganggukkan kepalanya dan memberikan kode agar Liana turun untuk menghampirinya. Ya, Liana akui, dengan dirinya yang sedikit tergesa-gesa turun untuk menghampiri Chenle merupakan sedikit rasa rindu yang ia tunjukkan.

Chenle baru lagi memunculkan dirinya di hadapan Liana setelah seminggu mengunjungi taman bermain bersama. Tidak ada kabar setelah itu yang diberikan oleh Chenle kepada Liana.

[2] Butterfly Effect | Zhong ChenleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang