Bab 1 - Qadhi Salim

69 5 5
                                    

Maka demi Rabb-mu, mereka tidaklah beriman sampai menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan. – TQS. An-Nisaa: 65

Gedung utama Mahkamah Peradilan menjulang tinggi diapit dua blok komplek perkantoran administratif. Kiri kanan jalanan utama area gedung layanan umat itu ditumbuhi pepohonan. Taman kecil berisi aneka bunga yang didatangkan dari negeri tropis dengan sungai buatan menjalar di bawah pohon. Jalanan lebar nan lengang membuat nuansa gedung-gedung layanan publik terlihat gagah. Ditambah lagi dengan kibaran ar-rayah, bendera hitam yang di atasnya tertulis Laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasulullah, pada tiang-tiang  pinggir trotoar. Di depan pintu utama gedung Mahkamah Peradilan, rayah raksasa melambai-lambai tertiup angin menyambut umat yang mendatanginya.

Di komplek gedung Mahkamah Peradilan inilah para qadhi mazhalim menjalankan perannya memutuskan perkara sengketa antara umat dan pihak pemegang kekuasaan negara. Selain qadhi mazhalim, di gedung ini juga ada bagian khusus yang menjadi mahkamah peradilan untuk mengurusi sengketa di antara sesama umat yang dijalankan oleh qadhi khusumat. Maka hilir mudik orang-orang di gedung ini menjadi pemandangan yang lumrah.

Dari jendela lantai dua ruangan khusus qadhi, Al-Alamah Syekh Salim menatap jalanan utama. Iring-iringan kendaraan memasuki area gedung Mahkamah, riuh memecah lengang jalanan. Pada kap mobil-mobil itu terpasang rayah kecil. Mu’awin Tafwidh berada di salah satu rombongan mobil itu. Khalifah Bashar bin Rauf sedang mengadakan kunjungan penting ke salah satu negeri di ujung Barat. Beliau mengangkat Umar bin Baz sebagai Muawin Tafwidh yang bertugas menjadi wakil Khalifah mengurusi urusan umat untuk sementara waktu. Maka kedatangan Umar bin Baz ke gedung Mahkamah Peradilan tak ayal membuat Al-Alamah bertnaya-tanya. Ada apa gerangan?

***

“Aku bersumpah telah membayar utang, Tuan!” teriak seorang pria. Kedua tangannya terikat borgol, digelandang seorang surthah, polisi pada Departemen Kemanan Dalam Negeri. “Celakah Fulan! Dia penipu, Tuan!”

“Diam! Lakukan sumpahmu di mahkamah, bukan di jalanan, Bhai,” sahut sang Surthah wibawa.

Iring-iringan kendaraan Mu’awin Tafwidh berhenti di lobi gedung. Pria asal Asia Selatan yang tengah diborogol menoleh, menatap rombongan dengan mata berbinar.

“Bu-bukankah itu Muawin Tafwdih yang baru diangkat? Alhamdulillah. Akan kuadukan fitnah ini padanya.”

“Hai Bhaiya, lihatlah dirimu. Bahkan tugas Mu’awin Tafwidh pun kau tidak tahu!” gertak sang Surthah.

Orang-orang berdiri menyambut kedatangan Mu’awin Tafwidh. Namun rupanya rombongan petinggi daulahitu tidka melewati lobi utama, mereka belok menuju jalur VIP ke ruang Al-Qadhi Al-Qudlat di lantai dua.

‘Baru kali ini kulihat wajah-wajah bersinar seperti mereka, Tuan,” bisik seorang wanita di sebelah meja regristrasi tamu.

“Taubatlah. Jaga ucapanmu. Mereka manusia tak ussah berlebihan memuji,” sahut wanita setengah baya. Ia menatap wanita muda dari kepala hingga kaki, lalu berujar, “kau belum menikah? Jagalah matamu dari tipuan setan, anak muda.” Sang wanita muda berbalik, bergegas meninggalkan wanita setengah baya itu. saat berbalik, di depannya ada dua pria, yang satu terborgol dan seorang surthah, tengah berdiri tegak menatap rombongan Muawin Tafwidh, keduanya menghalangi jalan.

“Maaf, Tuan.” Kedua pria itu menyingkir.

***

Al-Alamah Al-Qadhi Al-Qudlat Salim mengucapkan salam seraya meletakkan tangan kanan di dada dengan kepala ditekuk sedikit, menyambut kehadiran Umar bin Baz di ruang kerjanya. Kedunya berpelukan, lalu dari arah punggung Umar bin Baz muncul berturut-turut tigaa petinggi daulah lainnya, Amirul Jihad Panglima Khabib bin Khalid, pemimpin Baitul Mal Ahmad bin Miqdas, dan Rasyid bin Auf dari Departemen Keamanan Dalam Negeri. Ini adalah pertemuan Qadhi Salim yang pertama setelah diangkat menjadi Qadhi Qudlat sepekan lalu.

SofiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang