03

351 85 3
                                    

Minggu lalu kamu sempat absen 2 hari karena demam. Kamis dan Jumat. Kamu juga absen mengikuti kegiatan klub saat hari Sabtu dan baru kembali ke sekolah di hari Senin. Bukan mustahil bagimu melewatkan kasus Yamagata dan keterlibatan ayahmu, 'kan?

Ya, ayahmu mungkin terlibat sesuatu.

Kamu diam saja saat Futaba bercerita bahwa ia melihat seorang pria mirip ayahmu datang ke sekolah pada hari Kamis lalu. Katanya, sosok itu datang bersama sekelompok polisi labfor (laboratorium forensik) dan detektif yang datang melihat TKP. Pakaiannya serba hitam, dengan rompi bertuliskan "LABFOR" di punggung.

Dasar Futaba. Temanmu itu baru  memberitahumu sekarang, padahal kejadiannya sudah berhari-hari yang lewat.

"Ayahmu, 'kan? Wajahnya mirip sekali dengan yang ada di foto keluargamu," kata Futaba seraya menyeruput jus mangganya. "Aku benar-benar tidak menyangka kalau ternyata ayahmu orang kepolisian."

"Aku ...," timpalmu ragu, "juga tidak."

Futaba terkejut dan menumpahkan jusnya di mejamu. Ia menganga, menatapmu penuh tanda tanya seraya merogoh tisu saku untuk membersihkan noda jus. "Bagaimana bisa tidak tahu?"

"Entahlah," katamu sebelum mendorong jauh bentomu. Kamu sampai tidak selera makan.

"Hmm. Kalau kuingat lagi, orangtuamu jarang terlihat di apartemen," ucap Futaba. Gadis ini memang kerap bertamu ke apartemenmu. Di setiap kunjungannya, ia pasti selalu bertanya tentang foto keluarga yang kamu pajang di meja televisi. Namun kamu tak pernah menjawabnya.

Kamu tersenyum kecut. "Anggap saja dua-duanya sibuk bekerja."

"Anggap? Y/n, sebenarnya ada apa, sih, dengan keluargamu? Kenapa tidak pernah mau cerita?" Futaba menatapmu sedih, ia merasakan ada sesuatu yang tersembunyi darimu.

Kamu terdiam. Suasana mendadak berubah canggung. Kamu merasa bahwa Futaba sudah mengancam teritorimu dan Futaba merasa bahwa kamu berada semakin jauh setiap dia mencoba mengenalmu. Niat Futaba baik, kamu sangat tahu itu. Dia sahabatmu.

Kamu mengerti betul bahwa wajar saja bagi seseorang untuk khawatir pada teman akrabnya. Kamu paham bahwa bukan sesuatu yang aneh bagi seseorang untuk peduli dengan sahabatnya. Kamu mungkin tak pandai bersosialisasi dan berkawan, tapi kamu tahu bahwa memang sepantasnya teman dekat berlaku seperti itu. Hanya saja, beberapa orang lebih suka memendam masalah dan kesedihan sendiri.

"Aku tak melihat ada gunanya bercerita," katamu apa adanya. "Lagi pula, aku tak ingin membahas hal-hal pribadi seperti itu."

Kamu tinggal sendiri di sebuah apartemen pas-pasan sejak lama. Melakukan pekerjaan rumah sendiri, memasak, memperbaiki beberapa alat rumah yang rusak. Hampir semua kamu lakukan seorang diri.

Ibumu pergi bersama seorang pria kaya raya tiga tahun lalu. Wanita itu meninggalkanmu seolah kamu bukan anak kandungnya. Ia membuangmu bersama ayahmu.  Alasannya? Tak tahan ditinggal keluar kota terus-menerus oleh Ayah. Kamu yang kala itu masih kelas 1 SMP tahu itu tidak masuk akal. Cuma alibi sampah supaya bisa bercerai.

Sedangkan ayahmu, beliau mungkin pria yang paling santai untuk ukuran seorang suami yang dikhianati. Ayahmu tetap bekerja di luar kota, tak  terdengar suaranya atau kelihatan wajahnya sejak perceraian itu. Meski, ya, sebelum bercerai pria itu meneleponmu setidaknya satu kali seminggu dan ini membuatmu merasa benar-benar kesepian sekaligus sedih.

Kini, satu-satunya yang membuatmu yakin bahwa ayahmu masih peduli padamu hanyalah uang bulanan yang rutin dikirimkannya. Pesan terakhir darinya bahkan sudah setahun yang lalu. Itu pun bertanya tentang di mana kamu mendaftar SMA supaya beliau bisa mengirimkan SPP langsung ke staf TU. Setidaknya, beliau masih bertanggungjawab atasmu walau sebatas kebutuhan materiel dan pendidikan.

Germaphobe's Case | Sakusa x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang