02

377 96 5
                                    

"Sakusa-san?" gumammu, sedikit terkejut karena tak menyadari keberadaan Sakusa yang sedang jalan melipir di koridor supaya terhindar dari siswa lain di sana. Rupanya dia tak sedang bicara padamu tadi. Kamu manggut-manggut, hendak berpaling, tapi tunggu. Kamu menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

Dia ... dirundung?

Kamu melihat Sakusa. Ia tampak sangat tidak nyaman. Dua tangannya setia mendekam di saku celana, memancarkan aura kekhawatiran. Ia seperti agak risi menghadapi seorang siswa di koridor, namun kamu tak tahu sebabnya.

"Apa maumu?" tanya Sakusa. Ia semakin mundur, hampir menyentuh kaca jendela kelasmu.

Siswa yang menatap ke arahnya melontarkan kata-kata menyakitkan. Ia bicara tentang tuduhan Sakusa dan bahwa si tersangka itu memang sangat menyebalkan di kehidupan sehari-hari. Suasana menjadi tegang, namun Sakusa rupanya memilih diam. Ia menunduk, tak berkata apapun. Barangkali ia merasa lebih cemas dari sebelumnya dan terganggu dengan jumlah kerumunan siswa yang datang untuk menonton.

"Seharusnya kau tak perlu lagi datang ke sekolah, dasar tak tahu malu," kata siswa itu, disambut riuh mengiyakan dari anak-anak lain. "Siswa sepertimu itu cuma bisa mencoreng nama baik sekolah dan pendidikan di Tokyo. Tindakanmu membunuh Yamagata itu sudah kelewatan, pelaku pidana sepertimu harusnya langsung dikeluarkan saja dari Itachiyama."

Kamu menggigit lidah, geram juga pada siswa itu. Kasus Sakusa masihlah abu-abu selama belum ada keputusan sidang dan bukti-bukti. Ia tetap siswa di sekolah ini. Lalu, apa maksudnya cuma bisa mencoreng nama baik sekolah? Kamu merasa jengkel. Lantas kamu, secara kasar, bangun dari tempat dudukmu. Kamu membelah sekumpulan kawan sekelasmu yang berkerumun di pintu dan mencoba membela Sakusa.

"Oi, bodoh," katamu pada siswa itu, "kau pikir siapa yang membawa nama Itachiyama di kancah voli SMA? Seenaknya saja bicara bahwa dia cuma bisa mencoreng nama sekolah. Selain itu, kau tahu, status Sakusa sekarang itu tersangka, bukan pelaku. Kalau tak tahu istilah penyidikan tak usah asal bicara."

"Bukan atau belum jadi pelaku?" balas siswa itu. "Lagi pula, kau sendiri tahu apa? Kau bahkan membela dia. Jangan-jangan kalian ini komplotan, ya?"

Kamu menatap siswa itu jengah. "Ck ck, ternyata kau ini memang sok tahu dan banyak omong, ya? Semua kawan sekelasku tahu aku absen sejak Kamis dan tahu bahwa aku hampir tak pernah bicara dengan orang ini. Aku bahkan tak punya urusan dengan Yamagata. Buat apa membunuhnya?"

"Mana aku tahu. Bukannya kamu yang seharusnya paling tahu motifmu sendiri?" balas siswa itu. "Selain itu, kita tidak tahu apakah kau dan Sakusa benar-benar tak ada hubungan apa-apa."

"Kau mungkin terdengar meyakinkan, tapi ucapanmu itu tidak berdasar." Kamu berkacak pinggang, lalu menatap Sakusa seolah memperlihatkan padanya bagaimana cara membela diri yang benar. Setelah itu, kamu kembali beradu mata dengan siswa perundung, membuat isyarat pernyataan bahwa kamu tidak takut. "Selama tak ada bukti, omonganmu cuma deduksi dan bualan. Sama seperti kasus Sakusa. Selama belum terbukti, status pembunuhnya cuma tuduhan belaka."

"Bagaimana kalau kita ubah susunan kalimatnya? Sakusa bisa jadi pembunuhnya, selama belum ada bukti yang melepaskannya dari tuduhan. Begitu juga bisa, 'kan?" siswa itu menyeringai.

"Hentikan." Sakusa tiba-tiba angkat bicara,"Aku minta kalian berhenti."

Sakusa memegangi kepalanya, isyarat tubuhnya itu menandakan bahwa ia tak kuat mendengar percakapan ini. Ia pusing. Ia ingin segera bebas dari lingkaran beban sosial. Ia butuh ketenangan. Setidaknya, sebelum ia menghadapi serangkaian prosedur hukum. "Aku---"

"Ada apa ini?" seorang guru menjawab keinginan Sakusa. Ia memecah pertikaian dan kerumunan bubar seketika. Para siswa yang tak ikut berselisih lari menuju kelas masing-masing dan kawan-kawan sekelasmu kembali ke meja mereka.

Germaphobe's Case | Sakusa x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang