04

453 101 27
                                    

Dua kesalahan Itachiyama atas kasus Yamagata.

Pertama, tidak menskors Sakusa. Sekecil apapun kemungkinannya, dia tetap satu-satunya tersangka. Kasus pembunuhan ini diusut bukan lagi untuk mencari siapa pelakunya, tapi untuk mencari apa buktinya bahwa Sakusa melakukan tindak pidana. Jika terbukti, ia dipenjara. Tidak terbukti, vonis bebas.

Itu artinya, sang tersangka bisa melakukan apa saja untuk memalsukan atau menyembunyikan informasi dan bukti karena dia masih leluasa berkeliaran di Itachiyama. Arti lainnya, Sakusa akan memancing keributan di kalangan murid-murid. Pertengkaran, perdebatan, perpecahan. Ada yang memihak Sakusa, ada yang tidak. Itulah kesalahan pertama Itachiyama.

Kesalahan kedua, tetap menjalankan KBM. Demi menjaga nama, demi menjaga reputasi, Itachiyama tetap memaksa siswanya melaksanakan kegiatan seperti biasa. Ini dimulai sejak kematian Yamagata sampai dengan hari ini. Bersikap biasa dan lakukan saja apa yang biasa dilakukan, itu perintahnya.

Jangan biarkan media tahu, jangan biarkan orang luar tahu. Jangan biarkan meski para polisi mengundang perhatian. Cari alasan, tutupi. Jawab pertanyaan para wali murid dengan kebohongan meyakinkan. Bila melanggar, menyebarkan berita, bersiaplah dihakimi pihak sekolah. Bungkamlah juga wali Yamagata dengan janji keadilan. Dengan begitu, kasus ini tak perlu meluas ke masyarakat.

---

Kamu duduk di kursimu dengan kasar dan mengacuhkan orang-orang. Kamu menutup wajah, merasa muak dengan rentetan kejadian belakangan.

"Apa yang Sakusa perbuat?"

Seutas pertanyaan itu masih saja bergelayut di kepalamu meski jam istirahat sudah berakhir sekitar 30 menit yang lalu. Pikiranmu terganggu. Kamu memukul-mukul kepalamu dan mengacak-acak rambut.

Kamu membenci Sakusa, namun kamu juga menyukainya. Sakusa si tukang desinfektan itu mungkin menyebalkan dan merepotkan, tapi kamu punya sedikit rasa padanya. Yah, dia tampan dan keren. Dia sosok pemuda yang diidamkan para gadis seusiamu.

Kamu mungkin menyukainya sejak pertama bertemu dengannya. Terkesima dengan wajah dan rambutnya, kamu hampir-hampir melupakan fakta bahwa Sakusa sebenarnya sedikit congkak. Lelaki itu pernah menyenggolmu sewaktu pulang sekolah dan yang marah justru bukan kamu melainkan dirinya.

Jika kamu termasuk penggemar beratnya yang cinta buta, barangkali kamu sudah pindah sekolah karena patah hati. Kamu selalu terkekeh mengingat kejadian itu. Beruntung, kamu bukan tipe remaja yang terlalu peduli dengan urusan hati. Kalau suka, ya, biarlah saja. Tak perlu dibawa terlalu dalam. Kamu tidak peduli dengan perasaanmu sendiri, karena itulah hidupmu datar, seolah kamu tak punya ketertarikan pada apapun.

Malangnya, kali ini kamu dipaksa untuk lebih perhatian pada hatimu sendiri. Lelaki yang kamu acuhkan itu mengubah prinsipmu 180 derajat. Dari "biarlah" jadi "ini tak bisa kubiarkan". Kamu tak ingin terlibat dalam kasusnya, tapi kamu juga tak ingin Sakusa berubah status menjadi terpidana.

Kamu berteriak kecil. "Argh!"

Kamu mengagetkan seisi kelas dan guru matematikamu berdehem keras.

"Y/n! Kalau kamu tidak punya niat belajar, tidak perlu datang ke sekolah!" bentak gurumu. Wajahnya garang, masam. Tangannya merentang, mengarah ke pintu kelas dengan penggaris kayu andalannya. "Berdiri di koridor!"

Kamu tersentak dan pasrah. Kamu menurut saja, menyeret tungkai-tungkaimu ke luar kelas. Kamu kemudian berdiri di koridor yang lengang, lantas melihat ke arah jendela yang menampakkan pemandangan luar gedung.

Betapa enak rasanya jadi langit, pikirmu melihat awan mendung. Dia tenang dan damai. Bila marah, cukup sambarkan kilat. Bila sedih, cukup turunkan hujan. Bila ceria, cukup beri ruang pada matahari untuk menghangatkan bumi. Langit itu simpel dan jujur. Andai kamu, pikirmu, bisa seperti langit yang apa adanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Germaphobe's Case | Sakusa x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang