BAB 7

14 4 1
                                    


Seusai mendapat ijin untuk pulang lebih awal, Rania tak ingin menyia-nyiakan waktu ini. Ia berkemas dan segera pulang. Saat hendak memesan ojek online, ia teringat jika harus segera mengirimkan uang untuk tantenya. Lusa, Alsyad si bungsu dari tantenya itu masuk SMP. Beberapa hari lalu tantenya menelpon Rania agar ia meminjamkan uang untuk membayar seragam.

Semenjak kedua orang tua Rania tiada, hanya Tante Anggi keluarga yang ia punya. Sesekali ia mengunjungi tantenya saat mendapat waktu libur. Selebihnya mereka hanya berkabar melalui whatsapp dan video call.
Tak jauh dari swalayan tempat Rania bekerja, ada ATM center. Rania menyusuri trotoar menuju ATM itu. Hanya ada beberapa orang yang terlihat mengantre.
Syukurlah, nggak terlalu ramai. Rania bernapas lega.

Dalam tatapan lurus, mata Rania tertuju pada seseorang yang sedang berada di dalam ATM. Sepertinya tak lama lagi gilirannya. Rania meraih dompet yang berada dalam tas, lalu mengambil kartu ATM yang terselip diantara kartu-kartu lain.
Dengan buru-buru

tanpa melihat ke arahnya, Rania membuka gagang pintu yang juga didorong oleh seseorang dari dalam. Saat pintu terbuka ia merasa takjub, kenapa semesta mempertemukannya kembali dengan seseorang yang sedang ingin Rania hindari.

“Raa nia...."

Keduanya saling tatap dan saling canggung. Tak ingin terjebak dalam situasi yang membuat dadanya berdesir hebat, buru-buru Rania menarik pintu dan masuk ke dalam ATM. Pertemuan Elang dan Rania berlangsung singkat dan cepat.
Setelah memastikan

transaksi berhasil, Rania menarik kartu ATMnya lalu memasukkan kembali dalam dompet. Dengan ragu ia berbalik dan memegang gagang pintu. Entah kenapa saat ini jantungnya berdebar sangat kencang.
Rania berharap-harap cemas, dengan langkah gontai ia keluar dari ATM. Bola matanya berputar menatap satu persatu orang di sekitarnya.

Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, Rania memastikan jika Elang, seseorang yang sedang ingin dihindari Rania sudah tak berada di sana.
Rania membuang napas lega, ia lalu merogoh sakunya dan mengambil ponsel. Ia harus segera pergi dari tempat itu sebelum bertemu dengan Elang. Rania terlihat buru-buru, sambil berjalan ia membuka membuka aplikasi ojek online untuk segera memesannya. Namun, sebelum semuanya terjadi tiba-tiba tubuhnya seperti menabrak sesuatu. Beruntung ponselnya tak jatuh begitu saja.

Kedua bola mata Rania membuat, ia tak percaya jika ia baru saja menabrak Elang. Entah dari mana datangnya lelaki itu. Kenapa tiba-tiba saja ia berada di sana. Rania terus merutuki dirinya, seharusnya Rania lebih berhati-hati dan berjalan dengan memperhatikan jalan dengan baik,
Sementara Elang, ia menatap Rania saat gadis itu berada di dekatnya.

"Lagi buru-buru? Lain kali hati-hati,ya?"

Elang membuyarkan pandangan Rania.Gadis itu mendadak beku dan mati gaya. Sadar telah membuat Rania terkejut, Elang mengambil satu langkah ke belakang, sedikit menjauh dari Rania.

Tak bisa disembunyikan, betapa bahagia Elang detik itu bisa menatap Rania sedekat itu. Andai punya mesin waktu, sudah pasti Elang akan meminta untuk kembali pada beberapa menit lalu untuk mengunci memori itu.

*****
Beberapa saat kemudian Elang dan Rania duduk bersebelahan. Rania mengiyakan tawaran Elang yang meminta waktu untuk berbicara pada Rania. Mungkin inilah waktu yang tepat bagi Rania untuk meminta Elang supaya tak menggangunya lagi.

Ada sedikit keraguan dalam diri Rania. Ia tidak mengenal Elang sebelumnya, bagaimana jika Elang tak terima dengan ucapan Rania lalu berbuat nekat. Atau bagaimana jika Elang tetap memaksanya. Pikiran-pikiran itu terus membayangi Rania.

"Kita bicara di sini saja,"
Ucap Rania tiba-tiba, lalu ia duduk di sebuah

kursi panjang yang tak jauh dari ATM. Kemudian mereka duduk bersebelahan. Elang menawarkan air mineral, Rania menolak lalu mengicapkan terima kasih.
Baik Rania maupun Elang masih setia untuk bungkam. Keduanya mendadak kaku, Elang beberapa kali terlihat menenggak air mineral, sementara Rania sedang menyusun kata.

"Jam segini sudah pulang?" Tanya Elang basa-basi.

Rania hanya menjawab dengan anggukan.

"Kamu pulang naik ojek online? Atau kalau mau, aku bisa...."

"Nggak usah, nggak perlu," sanggah Rania cepat. Senyum Elang mengembang melihat ekspresi Rania yang panik. Wajahnya juga terlihat pucat.

Di bawah terik yang mulai redup, dalam situasi ramai yang menenangkan keduanya kembali saling diam. Mereka seolah kehabisan kata, padahal sebelumnya Elang sudah menyusun rencana-rencana jika ia punya kesempatan bertemu dengan Rania. Begitu juga sebaliknya, bukankah seharusnya Rania dengan mudah mengutarakan keinginannya?

*****
Selain senyum Rania, ada satu hal yang ia sukai dari gadis itu. Mata bulat Rania. Elang meyakini jika ada kehidupan yang lebih bahagia terpancar dari sana. Sejak melihatnya pertama kali, satu hal yang terbesit dalam hati Elang, ia harus mendapatkan pemilik mata bulat itu.

"Kamu mikir apa?" Elang melambaikan tangannya di hadapan Rania sambil tersenyum simpul.

"Mikir..ah, nggak apa-apa." Wajah Rania merona malu.

"Aku balik duluan ya. Yakin nggak mau bareng?"
Rania hanya menggeleng dengan pasrah. Setelah berpamitan, Elang memutuskan untuk pergi dan membiarkan Rania. Mungkin gadis itu masih perlu waktu untuk bisa menerima kehadiran orang baru. Pikir Elang.
Rania tidak bersuara, ia hanya menatap ke arah Elang yang sudah beranjak beberapa langkah darinya. Setelah tersadar, angin apa yang tiba-tiba mendorong Rania untuk menghentikan Elang.

"Tunggu!"

Langkah Elang terhenti, ia berbalik dan berjalan mendekati Rania yang masih ada di posisinya. Elang hanya ingin memastikan jika ia memang tak salah dengar.

"Ada yang mau diomongin?"

"Emm...ada yang mau aku tanyakan."

"Silakan?".Elang kembali duduk bersebelahan dengan Rania. Ia nampak tegang mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Rania.

"Jujur, aku terganggu dengan kamu. Sebenarnya maksud kamu apa selalu ngikutin aku?"

Elang menarik napas panjang, lalu mencerna kalimat Rania.
"Sebelumnya aku minta maaf kalau selama ini aku sudah membuat tidak nyaman dan kamu merasa terganggu. Tapi, sungguh aku nggak berniat untuk mengganggu kamu. Rania, boleh aku mengatakan sesuatu?"

"Silakan...."

“Sebenarnya sudah lama aku ingin bertemu dengan kamu sejak pertama kali aku melihatmu. Aku selalu mencari cara untuk menemuimu, Rania."

"Kamu ngomongin apa sih? Aku nggak ngerti."

"Rania, apa kamu mau kasih aku kesempatan untuk bisa mengenal kamu lebih dekat?"
Elang memandangi Rania dengan mata
bulatnya.

Gadis itu seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Sekali lagi Elang meyakinkan Rania.

"Kita memang baru kenal. Tapi percayalah kalau aku serius. Aku mau mengenal kamu lebih dekat, Rania."

Cukup lama kata-katanya tertahan, akhirnya dengan mata berkaca-kaca dan terbata-bata. Rania dengan tegas memberi jawaban ke Elang. Mungkin jawaban yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Elang.

"Kalau kamu memang serius dan ingin mengenalku lebih dekat, datanglah bersama keluargamu untuk mengkhitbahku." Elang membeku, kaget mendengar ucapan Rania.

Sementara Rania menarik napas, berusaha melegakan perasaannya.
Rania menarik seulas senyum tipis lalu beranjak dari tempatnya dan meninggalkan Elang yanng masih terdiam di tempatnya, masih tidak menyangka jika Rania akan meminta Elang untuk datang melamarnya.

RANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang