Ara mengangkat tangan saat dia lihat yang lain juga melakukannya. Lantunan doa yang tak dia ketahui artinya mengalun lembut dari seseorang di depan sana.
Seingat Ara, orang yang memimpin salat itu disebut imam. Mungkin orang ini yang tadi menjadi imam salat lalu dia juga yang melantunkan doa. Tak ada celah yang bisa gunakan untuk mengintip depan atau sebelah kanan. Benar-benar tertutup rapat.
Dua hari ini, Ara hanya diam mendengarkan, tapi terasa ada sesuatu yang menyiram hati yang selama ini kering. Matanya terpejam, menikmati kata demi kata yang berwujud doa itu. Pelan, Ara merasa ada yang meleleh di pipi. Entah kenapa.
Selesai salat, Bu Hasna menggamit tangannya untuk berdiri. Dengan santai dia berjalan di samping Bu Hasna agak ke belakang. Keningnya mengerenyit saat melewati dua puluhan santri wanita yang ikut Zuhur bersama. Baru kali ini dia benar-benar memperhatikan, mereka akan bersimpuh menunduk hingga dia dan Bu Hasna beberapa langkah melewati. Pun saat dia melihat para santri bicara dengan Bu Hasna, mereka akan menunduk dalam-dalam, tanpa menatap wajah apalagi mata bu nyainya.
"Mereka--" Pertanyaan Ara menggantung saat Bu Hasna menoleh.
"Santri."
"Mmh, saya tahu. Tapi kenapa harus ... mmh, itu--"
Bu Hasna lagi-lagi tersenyum.
"Adab, Nak." Bu Hasna memberinya kode untuk kembali berjalan. "Nanti kamu akan tahu kalau lama di sini."
Ara mengikuti Bu Hasna masuk ke rumah utama.
"Kamu masih ingin istirahat?" tanya Bu Hasna di depan kamar yang Ara tempati.
"Tidak, Bu. Saya sudah terlalu banyak tidur sepertinya."
"Mau ikut saya menyimak hafalan adik-adikmu?"
Ara mengangguk ragu.
Bu Hasna tersenyum. " Simpan mukenamu. Nanti Ibu ke sini lagi."
Ara segera masuk ke kamar, melepas mukena yang masih menutup kepala. Kemarin dia melihat dan belajar bahwa santri putri mengenakan mukena dari kamar. Mereka memasuki masjid sudah dalam keadaan siap, dan baru melepasnya lagi nanti di kamar.
Ara menyisir rambut asal rapi, lalu keluar kamar. Bu Hasna sudah menunggu dengan sesuatu di tangan. Wanita itu mengulurkannya pada Ara yang menatap heran.
"Buka, Nak," perintahnya halus.
Ara melepas bungkusnya lalu membentangkan dua helai kain dan satu sudah dalam bentuk hijab siap pakai.
"Ini--" Ara tergagap.
"Jilbab pertamamu." Bu Hasna tersenyum. "Anggap saja begitu. Kalau kamu berkenan, kamu boleh menyimpan dan memakai seterusnya, tapi kalau tidak ... setidaknya saat di sini, kamu bisa memakainya. Karena--"
"Ara tahu, Bu. Ara tahu ...." Entah rasa seperti apa yang dirasakannya saat ini, tapi Ara sangat bahagia. Disambarnya tangan kanan Bu Hasna, lalu dicium berkali-kali. Tanpa sadar dia memakai nama untuk mengganti kata saya, seperti saat dia berbincang dengan Mami atau Papi.
Bu Hasna menepuk bahu Ara. Ada kaca-kaca di matanya yang nyaris tumpah. Seandainya Aisha masih ada, mungkin dia sudah sebesar gadis di depannya itu. Dia mengambil yang jilbab instan lalu membantu Ara memakai.
Ara yang jauh lebih tinggi dari Bu Hasna menunduk.
"Masya Allah. Kamu lebih cantik memakai ini, Nak." Dua tangannya menangkup pipi Ara.
Ara mengerjab. Dua lelehan bening meluncur turun tanpa bisa dia cegah.
Bu Hasna mengusapnya lembut. "Ayok, kita sudah ditunggu."
Bu Hasna tidak mau terlarut dengan angan-angan kosong. Tiga anak lelakinya sudah cukup membuatnya ridho atas keputusan Allah. Lantas jika Allah kemudian mengambil lagi anak keempat -satu-satunya perempuan- tentu tidak akan menjadikannya kufur nikmat.
Ara mengikuti langkah Bu Hasna masuk ke salah satu aula. Di sana sudah ada sepuluh remaja dengan sarung dan baju panjang. Masing-masing dari mereka memegang satu quran kecil, mata memejam tapi mulut komat kamit mengikat hafalan.
Saat Bu Hasna masuk, sontak suara mereka yang mirip dengungan lebah berhenti. Sambil memeluk kitab di dada, mereka menunduk bahkan hingga Bu Hasna duduk di alas karpet.
Ara sempat ragu. Namun Bu Hasna memberi isyarat agar Ara mendekat dan duduk di sebelahnya.
Bu Hasna mengajak membaca Al Fatihah, sebelum membuka dengan beberapa doa lain. Ara menunduk dalam-dalam. Dia baru mengangkat wajah saat Bu Hasna mempersilakan yang pertama untuk maju.
Ara terpana. Jarak sekian meter, gadis yang umurnya jauh lebih muda darinya itu berjalan setengah jongkok. Ara sempat membayangkan hal seperti itu terjadi hanya di keraton-keraton. Nyatanya hal seperti itu masih ada. Beberapa langkah di depan Bu Hasna, santri itu menggunakan lutut sebagai pijakan langkah, dengan masih menunduk.
Santri itu menjabat tangan dan mencium punggung tangan gurunya dengan takzim. Ara jengah sekaligus kaget, saat santri itu juga melakukan hal itu padanya. Seumur hidup, dia baru merasakan rasa penghormatan yang luar biasa seperti itu. Ara merasa ditampar sesuatu yang tak tampak, malu.
Setelah membaca pembukaan, gadis itu mengangsurkan kitabnya di meja kecil depan Bu Hasna. Dia dengan lancar membaca ayat demi ayat dengan disimak Bu Hasna.
Ara memaku di tempatnya. Ara pernah mendengar kalimat-kalimat itu, tapi di mana!
Ingatannya mengembara pada Bik Mimin. Meski tak seindah bacaan santri di depannya ini, Ara yakin kalimat-kalimat yang dibaca ini sama.
Ara terhanyut pada lantunan bacaan santri, sampai mereka berganti, berganti dan berganti lagi.
Lalu Ara mendongak ketika salah satu santri membaca satu ayat seperti diulang-ulang. Kalimat itu seakan merobek satu dinding di hatinya. Air matanya benar-benar meleleh, meski tak paham artinya.
Bu Hasna sampai menepuk lutut Ara yang dilipat bersimpuh untuk menenangkan. Namun air mata itu tak juga mau berhenti sampai para santri mundur karena sudah selesai. Ara sempat menangkap bagaimana mereka mundur dari depan Bu Hasna. Benar-benar mundur, hingga mencapai pintu, baru mereka berbalik.
"Kenapa, Nak?" tegur Bu Hasna lembut.
"Ayat yang diulang-ulang tadi--"
"Ar Rahmaan. Menceritakan betapa Maha Penyayangnya Allah. Ayat yang diulang tadi artinya ... maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan." Bu Hasna menarik napas lalu tersenyum. "Apa pun keadaan kita, kondisi yang kita lalui, napas, umur, rejeki, itu semua merupakan nikmat. Bahkan terdamparnya kamu di sini juga merupakan nikmat yang mungkin belum kamu sadari."
Ara tertegun. Otaknya tak bisa berpikir sampai sejauh itu. Dia bahkan lupa, kapan pernah bersyukur atas rejeki yang selama ini dia dapatkan. Dia kira itu adalah hukum sebab akibat seperti yang selama ini Papi katakan, 'kalau kita kerja keras kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan'. Ara tak pernah ragu menghamburkan jerih payahnya. Toh bahkan sebelum uang satu kontrak pemotretan habis, sudah ada transferan berikutnya. Ada Papi dan Mami yang juga rutin mengisi atmnya.
Namun satu yang Papi dan Mami lupa, Ara sudah berusaha keras mendapat perhatian mereka, tapi tetap saja belum dia dapat. Atau dia kurang keras berusaha?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadam
RomanceKadang hidup itu memang membingungkan. Terlalu banyak maksiat ... salah. Terlalu lurus juga ... bikin resah. Jadi gimana? Milih baik seumur hidup atau belok kanan belok kiri, naik turun, nyungsep bangun, jatuh lagi bagun lagi? Nadam. Yang akan memb...