Bab 6

98 19 2
                                    

Apa itu iman? Ara bertanya-tanya dalam hati setelah Bu Hasna meninggalkan kamar. Seingatnya Papi dan Mami tidak pernah mengajarkannya mengaji, mengenal tentang agamanya sendiri. Iman, islam, salat, membaca Quran dan entah apa lagi. Papi dan Mami terlalu tenggelam dalam kesenangan dunia seolah hidup mereka akan abadi.

Ara memang sering mendengar Bik Mimin membaca Al-Quran ketika dini hari dia baru tiba di rumah usai pulang dari klub malam. Asisten rumah tangga yang sudah belasan tahun mengabdi di rumahnya itu bahkan pernah memberinya benda seperti buku tersebut ketika dia berulang tahun yang ketujuh belas. Tapi Ara tidak mengerti bagaimana membaca dan memahaminya. Tulisan di dalamnya terlalu rumit, Ara hanya sempat membaca terjemahannya karena berbahasa Indonesia, itupun hanya sekilas.

"Kalo Neng Ara mau, Bibik bersedia mengajari Neng membaca Quran," saat itu Bik Mimin menawarkan diri begitu Ara membuka kado yang dibungkus rapi dengan memakai kertas koran bekas. Ara hanya terdiam entah harus berkata apa. Dia tahu, terlalu banyak kewajiban yang sudah dia tinggalkan. Jangankan untuk belajar membaca Quran, gerakan salat saja dia tidak tahu seperti apa. Ara tidak pernah melihat Mami dan Papi melakukannya.

“Kenapa Bibik memberikan hadiah ini?” Ara bertanya penuh rasa penasaran dan ingin tahu.

Saat merayakan ulang tahun, Ara memang selalu dibanjiri dengan hadiah mewah mulai dari tas, jam tangan, sepatu, telepon genggam keluaran terbaru, bahkan mobil dan apartemen yang dia miliki sekarang adalah hadiah ulang tahun dari Mami dan Papi. Tapi Bik Mimin justru memberikan hadiah yang membuat Ara serasa tertampar.

Bik Mimin menunduk, air mukanya berubah sedih, “Maaf ya, Neng, kalo hadiah dari Bibik harganya tidak seberapa.”

“Bukan begitu, Bik, maksud saya…”

Ara menjadi tidak enak hati.

“Justru saya seneng, hadiah dari Bibik seolah mengingatkan saya bahwa saya belum melakukan apa-apa sebagai seseorang yang mengaku muslim," sambung Ara dengan cepat.

Bibik mengelus punggung tangan Ara, kulit kasar Bik Mimin seolah kontras dengan kulit Ara yang sehalus pualam. Sebagai model profesional, Ara memang dituntut untuk tampil sempurna. Berbekal badan tinggi semampai dan kecantikan wajah blasteran, tidak butuh waktu lama untuk mengorbitkan Ara menjadi model ibukota. Ditambah lagi Papi punya pengaruh cukup besar karena kenal dekat dengan banyak kalangan termasuk di dunia hiburan.

"Belum terlambat untuk memulai sesuatu yang baik," perkataan Bik Mimin menentramkan sekaligus menyisakan banyak kegundahan di hati Ara.

Hanya itu percakapan singkat dengan Bik Mimin karena Ara jarang pulang ke rumah Mami dan lebih sering tinggal di apartemen. Lagipula Ara sibuk dengan pekerjaannya di dunia modelling. Peragaan busana dan melakukan pemotretan untuk mengisi beberapa sampul majalah ternama cukup membuatnya tak bisa leluasa pulang ke rumah Mami dan melanjutkan obrolan dengan Bik Mimin.

Padahal di hati kecil Ara tersembunyi keinginan untuk mengenal lebih jauh tentang agamanya agar status kemuslimannya tidak sekedar hiasan di KTP.

Ara menghela napas panjang ketika mengingat wajah milik Bik Mimin, menerbitkan kerinduan yang dalam di hatinya kepada perempuan separuh baya yang begitu dekat dengannya.

Ara lalu memperhatikan sekeliling ruangan tempat dia berada sekarang. Kamar berdinding kayu dengan tone warna gelap ini membantu mengembalikan kegelisahan hatinya beberapa hari belakangan. Sebuah jam dinding kuno berbentuk lonjong dan beberapa pajangan berbahan kayu memuat tulisan huruf arab yang mempermanis ruangan.

Kamar ini terlihat sangat kuno dan sederhana jika dibandingkan dengan kamar miliknya di Jakarta. Kusen jati membingkai pintu dan jendela yang dihiasi tirai bermotif batik. Semilir angin terasa menyejukkan membuatnya ingin beranjak untuk melihat dunia luar. Lewat jendela yang setengah terbuka, Ara bisa melihat cuaca cukup cerah menjelang siang seperti sekarang.

Udara sejuk menyergap dan aroma tanah basah menguar seketika saat Ara menggeser perlahan tirai berbahan katun yang menutupi separuh jendela. Beberapa orang berpeci terlihat lalu lalang di kejauhan.

Tempat apa ini? bisiknya dalam hati tak mengerti. Bu Hasna terlalu baik untuk dicurigai memiliki niat jahat kepadanya. Tapi Ara harus berhati-hati karena ia sedikit trauma ketika barang-barang miliknya raib diambil pencuri.

Ara lalu mengalihkan pandangan pada beberapa bangunan tua yang berderet rapi, cat berwarna hijau memberi kesan sejuk dan teduh saat menatapnya, termasuk sebuah bangunan yang atapnya bersusun menyerupai limas. Ada suara orang mengaji di kejauhan, menenangkan batinnya yang sedang tak menentu.

Ara masih memperhatikan pemandangan di luar ketika sebuah ketukan pintu mengagetkannya.

"Boleh Ibu masuk?" Itu suara Bu Hasna. Ara masih ingat.

Gadis itu berbalik dan berjalan menuju pintu, "Silahkan, Bu."

"Ini ada beberapa baju ganti. Ibu pikir kamu butuh mandi supaya badanmu lebih segar," Ibu menyerahkan beberapa potong pakaian yang sudah terlipat rapi.

Ara mengangguk lalu meletakkan baju tadi di atas kasur. Kini ia balik menatap wajah teduh milik Bu Hasna yang terlihat anggun mengenakan pakaian solat.

"Ibu habis salat?" Ara bertanya ragu-ragu.

"Sebentar lagi zuhur, kami akan salat berjamaah di masjid yang letaknya tak jauh dari sini. Apa kamu muslim, Nak?"

Pertanyaan Ibu membuatnya tertegun. Ya, apakah dia muslim sementara Ara hampir tidak pernah melakukan salat?

Ara mengangguk pelan meski merasa tidak yakin dengan jawabannya.

"Kamu berkenan salat bareng dengan kami?" suara Ibu terdengar hati-hati.

Ara terdiam sejenak. Dia tak tahu harus menjawab apa.

"Saya... saya tidak hapal gerakannya, Bu." Akhirnya suara itu keluar juga dari bibirnya dengan terbata-bata. Perasaan malu bercampur ragu membuat pertanyaan Bu Hasna seolah tengah menelanjanginya seketika.

"Kamu ikutin saja imam yang memimpin salat, mudah sekali bukan?" Bu Hasna seolah memahami kegalauan hati Ara.

"Tapi saya juga tidak tahu apa yang harus dibaca," muka Ara seketika berubah menjadi merah. Untuk pertama kalinya dia menyesal tidak menuruti saran Bik Mimin untuk belajar mengaji. Bik Mimin juga pasti tidak akan keberatan mengajarinya salat bukan?

"Jangan khawatir, nanti Ibu ajarkan pelan-pelan. Sekarang kamu ikut Ibu untuk wudu terlebih dahulu sebelum kita mulai salat."

Sebuah senyuman yang terukir di bibir Bu Hasna membuat Ara merasa lega tak terkira. Seketika gadis itu mengangguk mengiyakan yang langsung disambut dengan pelukan hangat Bu Hasna.

Dengan sabar, Bu Hasna memberikan contoh melakukan gerakan wudu ketika mereka sudah tiba di mesjid. Ruang untuk wudu antara laki-laki dan perempuan terpisah. Begitupun saat Ara melihat ke dalam masjid, sebuah kain besar menjadi sekat untuk membedakan tempat salat antara laki-laki dan perempuan.

Setelah selesai berwudu, Ara memakai kain putih yang tadi sudah dipersiapkan Bu Hasna.

"Kamu cantik sekali, Nak," ucap Bu Hasna saat membantu Ara mengenakannya. Ara hanya tersenyum simpul mendengar perkataan Bu Hasna yang entah kenapa membuat hatinya terasa tenang dan bahagia.

Ara lalu berdiri di samping Ibu ketika sebuah suara menyerukan untuk bersiap-siap karena salat akan segera dimulai.

NadamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang