Bab 9

83 16 0
                                    

Ara beranjak ke almari kecil di pojok kamar. Baju satu-satunya yang tersisa sudah terlipat rapi. Selama di tempat ini, dia selalu memakai sarung dan baju panjang. Bu Hasna tak pernah memaksa memakai setelan itu, tapi hanya pakaian model itu yang ada. Apalagi dengan penutup kepala yang harus selalu dia pakai saat keluar kamar.

Awalnya memang terasa risih, tapi Ara bertekad tidak akan rewel untuk hal-hal kecil seperti itu.

Ara mengambil satu amplop putih dari tumpukan baju yang hanya beberapa lembar. Amplop itu berisi kunci apartemen berbentuk sebesar kartu atm. Batinnya bergolak, antara pulang atau tetap tinggal.

Jika harus kembali ke Jakarta, setidaknya dia bisa menjual jam tangan, atau ... tidak, Ara mengenyahkan pikiran kalau dia harus menjual kalungnya juga. Satu set perhiasan itu hadiah dari Papi yang paling dia sayangi. Cincin dan anting sudah lenyap, dia tak ingin kehilangan kalungnya juga.

Namun apa yang akan dia dapat kalau kembali ke Jakarta. Melanjutkan kuliah, menuntaskan kontrak, mendaki impian menjadi model terkenal.

Tunggu. Model terkenal itu impian siapa?

Ara tertegun sambil mengusap kunci apartemen. Sempat bahkan tadi Mami menyalahkan karena dia harus menutup biaya dan denda pembatalan sepihak dari Ara. Bukan jumlah yang kecil, tapi Ara juga tahu jumlah itu tak berarti buat maminya.

Gadis itu mendongak saat terdengar ketukan di pintu kamar. Satu salam yang khas suara Bu Hasna membuatnya bersegera bangun dan membuka pintu. Dia sudah pindah ke kamar belakang, tempat santri biasa transit, karena tidak enak kalau harus jadi satu di rumah besar tempat Abah dan Ibu tinggal.

"Maaf, Bu, Ara belum mengembalikan hape." Ara berniat masuk mengambil ponsel setelah pintu kamar terbuka.

"Ibu ndak mau ngambil hape, Nduk. Besok anak Ibu mau pulang, kalau kamu nggak capek mau Ibu ajak ke kota buat belanja kebutuhan--"

"Ara nggak capek, Bu," potongnya sambil tersenyum. Untuk wanita dengan perhatian setulus Bu Hasna, apa pun akan dia berikan.

Bu Hasna balas tersenyum. "Biasanya Abah atau santri yang berangkat ... tapi kalo ini kan ada kamu yang bisa Ibu ajak."

Ara mengangguk. "Berangkat sekarang, Bu?"

Bu Hasna mengangguk. "Ada santri putra yang nyetir. Tinggal menunggu kita."

"Sebenernya Ara bisa nyetir, Bu, tapi SIM-nya hilang."

"Wah, syukurlah. Tapi meski bisa berdua, tetap saja butuh santri buat bawa belanjaan." Bu Hasna terkekeh.

Ara hanya perlu merapikan jilbab sedikit lalu ikut keluar bersama Bu Hasna. Di tempat itu, dia tak pernah berdandan. Selain tidak ada, kata Bu Hasna wajahnya justru akan semakin segar dengan banyak wudu.

Memang sangat terasa. Dulu saat di Jakarta, Risa akan ngomel kalau Ara melewatkan malam tanpa sempat membersihkan wajah. Mami juga akan protes kalau dia keluar rumah tanpa polesan apa pun. Minimal lisptick, maskara dan blush on sudah menyapu wajahnya yabg sudah dibubuhi bedak. Namun di sini, dia tak perlu blush on. Pipinya sudah memerah karena dingin suhu.

Pajero hitam milik Abah ini memang mengingatkan dia pada Aldy. Seandainya tak tertutupi mobil jenis ini, dia pasti sudah melihat Aldy dari kejauhan. Apa boleh buat, mobil itu yang sudah siap mengantarnya.

Ara masuk ke bangku tengah setelah Bu Hasna naik lebih dulu.

"Abah itu nggak pernah beli mobil, bahkan nggak bisa nyetir. Mobil-mobil ini datang sendiri ke pondok. Dikasih orang untuk mendukung dakwah. Tanah dan bangunan di rumah itu juga hampir delapan puluh persen dibangun oleh orang lain. Ibu dan Abah hanya mengelola, Nduk. Jadi kalau kamu pernah nanya, bagaimana bisa hidup tanpa uang ... ya begini ini. Memang untuk membangun semua itu, membeli mobil ini pakai uang ... tapi saat kita berserah pada Allah, Dia yang akan meletakkan kebutuhan-kebutuhan kita lewat tangan-tanganNya."

Tanpa diminta, Ibu bercerita sepanjang perjalanan. Bagi Ara, nasihat Ibu seperti air dingin yang merembes ke nadi-nadinya, seperti gerimis yang membasahi tanah kering tanpa hujan berbulan-bulan. Sedikit demi sedikit, tapi sejuk, meresap sempurna dan tidak menghancurkan.

"Saat kita bersyukur atas apa yang kita punya, Allah akan menambah dengan nikmat lain. Jadi apa yang kita kejar di dunia, selain menjaga iman, menjaga taqwa dan rasa syukur kita?" Bu Hasna mengakhiri kalimatnya dengan senyum.

Ara terdiam. Beda sekali dengan yang diajarkan orang tuanya. Mereka mengejar dan menumpuk harta hingga terkadang Ara bingung bagaimana menghabiskan uang bulanan yang dikirim.

"Tapi mereka mencintai Ara, Bu--"

Bu Hasna menoleh kaget. Kalimat Ara tidak berhubungan dengan apa yang dia katakan.

"Maksudnya?"

Ara kaget, tapi tak urung menjawab. "Orang tua Ara mengejar uang seakan hanya itu yang bisa bikin Ara bahagia."

"Dan Ara bahagia?" Bu Hasna bertanya balik.

"Ara bahagia, tapi rasanya kering. Sepi. Dan sekarang, rasanya seperti ... mati." Suaranya terdengar pelan.

"Maka isilah hati dengan iman. Sirami dengan kesegaran cahaya Ilahi. Maka yang tadinya terasa mati, insya Allah akan kembali bersemi."

Bu Hasna tersenyum, tangannya menepuk-nepul punggung Ara dengan penuh empati. Dia juga sadar, kasih sayang yang terasa untuk gadis di sebelahnya itu bukan seperti pada santri. Ada rasa lain yang ikut.

Mobil perlahan menepi di depan sebuah pusat perbelanjaan besar. Tentu tidak sebesar Jakarta, tapi Ara lihat tempat di depannya ini terbesar dari yang sudah mereka lewati tadi.

Mereka masuk dan langsung menuju supermarket. Setelah berbelanja sekeranjang kebutuhan ndalem* Bu Hasna membiarkan dua santri putra membawa ke mobil, sementara dia mengajak Ara ke tempat lain.

"Tadi Abah berpesan ... dan sekarang, pilih beberapa baju dalam yang nyaman untuk ganti. Setelah ini kita bisa memilih beberapa baju atasan. Tapi maaf, di pondok memang hanya boleh memakai sarung, bukan celana panjang." Bu Hasna mengajak Ara ke gerai baju.

Ara kaget. Meski dalaman yang dia pakai kemarin dari bahan murah yang bisa ditemui di pasar dekat pondok, tapi Ara sungkan kalau harus merepotkan lagi.

"Ara merasa yang kemarin sudah cukup, Bu. Tidak perlu--"

Ara menolak sambil menunduk. Dua minggu lebih di pondok, dia juga belajar bagaimana menghormati istri pemimpin tertinggi pondok itu.

"Tuh kan, Ibu tadi bilang apa ... kalau kita bersyukur dan merasa cukup, Allah akan menambah nikmat dari jalan-jalan yang Dia ridhoi."

Ara mati kutu, tak bisa menjawab.

"Ara selalu merepotkan Ibu dan Abah," sesalnya lirih.

"Kamu sampai di tempat ini dan bertemu kami itu juga jalan dari Allah, kenapa disesalkan. Kami juga nggak repot kok."

Ibu meraih tangan Ara dan sedikit memaksa mengikuti langkahnya.

Tak sampai satu jam, tiga potong tunik, sarung, dan beberapa pasang baju dalam terkemas rapi dalam tas kertas yang dijinjing Ara. Jujur, ini belanjaan terhemat yang pernah dia lakukan. Biasanya untuk barang-barang seperti itu, Ara menghabiskan jutaan rupiah. Namun entah bagaimana justru nyaman, haru dan bahagia yang dia rasa.

Inikah yang disebut syukur?

NadamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang