24. Alasan

472 112 91
                                    

"Sojung biar pergi bersamaku saja," kata Seokjin saat sang ibu baru saja akan menelepon supir pribadi keluarga Kim agar datang lebih cepat untuk mengantar Sojung.

Jinsil melongo sesaat, lalu bertanya, "Kau yakin? Katanya kemarin kantor Sojung jauh."

"Tidak apa," balas Seokjin sembari mengambil tisu setelah menyantap habis menu sarapannya, "aku akan mengantarnya."

"Tahu begitu kenapa kemarin kau bilang pada Sojung tidak bisa mengantarnya," cibir Jinsil, "dasar labil!"

"Yang penting, kan sekarang aku mau," sungut Seokjin. "Sojung mana?"

"Sedang menemani papa di luar. Dia sudah siap berangkat, kok. Kaubawa saja, tuh tasnya." Jinsil menunjuk tas Sojung di kursi dengan dagu dan sang putra langsung mengambilnya.

"Aku pergi," kata Seokjin sembari menenteng tas Sojung menuju halaman depan, tempat Sojung menemani Hyunsik yang melakukan rutinitasnya berjalan di atas kerikil sebagai bagian dari terapi stroke pria paruh baya itu.

"Sojung."

Sojung dan Hyunsik menoleh bersamaan. Saat Seokjin menyodorkan tas Sojung dari teras, Sojung yang berdiri di rumput taman segera berlari ke arah pria itu untuk mengambil tasnya.

"Kenapa kau selalu berlari?" omel Seokjin, "hentikan kebiasaan itu."

"Terjadi begitu saja karena kebiasaan," sungut Sojung, "kenapa juga kau membawa tasku ke sini?"

"Ayo berangkat sekarang."

"Apa?" Sojung mengerjap, menatap Seokjin bingung. "Supirnya belum—"

"Aku yang mengantar."

"Aku tidak mau merepotkanmu," sahut Sojung cepat.

"Tidak. Kau tidak merepotkan aku asal kau tidak terus mengoceh dan memakai sepatumu sekarang juga."

Sojung gelagapan, lalu segera berbalik pada Hyunsik yang mengamati interaksi putranya dengan Sojung.

"Pa, aku berangkat sekarang bersama Seokjin. Papa tidak apa-apa, kan sendirian?" tanya Sojung khawatir.

Hyunsik tersenyum samar dan mengangguk. "Tidak apa," katanya perlahan, "biasanya juga papa melakukannya sendiri, jadi jangan merasa bersalah."

Giliran Sojung yang tersenyum, lalu mengecup pipi pria itu sebelum akhirnya bergegas mengambil sepatu di rak dekat pintu utama guna menggantikan sandal jepit yang ia kenakan.

Setelah Seokjin berpamitan pada sang ayah, keduanya masuk ke mobil dan meninggalkan pekarangan rumah keluarga Kim segera.

"Supirnya tidak bisa datang, ya?" tanya Sojung penasaran, "kalau memang begitu, sebenarnya aku tidak masalah naik taksi atau bus."

"Kau lupa apa yang kukatakan kemarin?" sahut Seokjin jengkel.

"Tidak, tapi ini, kan keadaan darurat."

"Tidak masalah. Supirnya bukan tidak bisa datang, tapi memang belum dihubungi. Mulai hari ini aku akan mengantar-jemputmu. Ah, kecuali jika aku lembur, kau pulang dijemput supir."

Kening Sojung mengernyit lantaran keputusan Seokjin yang mendadak berubah. "Kenapa?"

"Apa yang kenapa?"

"Kenapa kau mau mengantarku?" Sojung menelengkan kepala menatap Seokjin.

"Kalau kau tidak mau—"

"Bukan begitu," sanggah Sojung dengan bibir mengerucut, "Aku senang kau mau mengantarku, tapi aku juga penasaran mengingat perkataanmu kemarin dengan hari ini sangat bertolak belakang. Apa ... mama yang memaksa?"

Untruth (SOWJIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang