A - 1

87 6 2
                                    

ELANG BARAT DAYA: BULU ELANG JAWA

.

.

.

Cerita ini baru saja dimulai. Tiga bidak sudah berjalan menuju peristirahatannya dan kini 2 bidak lain bersiap untuk dimakan oleh mau yang memuakkan. Namun, mari kita lihat bagaimana semuanya akan berjalan. Apakah nyawa mereka akan berakhir sama atau ada sedikit perubahan? Mari kita lihat dalam kisah menyesakkan tanpa jalan buntu ini, yang mengalir mengikuti nadi setiap pelakunya. Entah ia adalah orang baik, atau mungkin bajingan berdarah dingin.



Hari ini, sungguh mentari menyorot semesta dengan begitu silaunya, tapi diri itu malah meringkuk menahan dera. "Bunda... bunda... bunda... tolongin Arya," racau Arya tanpa dirinya sadari. Pagi ini di tengah ruangan yang gelap, dia meringkuk dan bermimpi buruk. Hingga seseorang masuk dan menyibakkan gorden hitam yang menghalangi titik-titik cahaya itu.

"Bangun, Ya. Udah pagi ini, kamu nggak mau ke sekolah apa?" ujar seorang pria paruh baya di dekat ranjangnya. "Sekolah apaan! Orang ini hari Sabtu," sanggah Arya kala pemuda itu mendengar kalimat yang dilontarkan oleh sang Ayah. "Halah mentang-mentang hari Sabtu terus kamu mau males-malesan gitu? Udah sana mandi bau kecoa kamu."

Arya melotot kala telinganya menangkap nama hewan yang paling biadab di seluruh dunia itu. "Mana ada. Arya masih wangi ya!" protes Arya tak terima. Dirinya itu tampan masa mau disamakan dengan kecoa.

"Udah sana mandi. Bunda sama Papamu nungguin tuh di bawah." Pria itu, dia pergi begitu saja. Arya yang melihat itu lantas hanya terdiam, dirinya menerawang ke beberapa jam yang lalu. Hingga sebuah ketukan kembali menyadarkannya. "Permisi, Den. Itu sudah ditunggu sama Pak Kiran di bawah."

"Iya, Bi. Ini Arya baru mau otw turun." Pemuda itu hanya bisa menjawab dengan suara yang begitu lirih, lalu berdiri dan berjalan keluar dari habitat ternyamannya. Langkahnya pelan juga runyam.

Sesaat Arya sempat berhenti kala tangga sudah berada di hadapannya, tapi ia langsung menggeleng cepat dan kini Arya menuruni anak tangga di rumah megah nan mewah itu. Bukan rumahnya memang, tapi itu adalah tempatnya untuk pulang. Pemuda itu, ia adalah Benjamin Arya Asoka, sang pemberontak sejati juga putra dari Mahendra Kiran Asoka.

Tatapannya sangat tajam sampai-sampai membuat semua pembantu yang ia lewati menunduk takut dan tak berani bergerak barang sedikitpun. Sepasang obsidian itu, mereka menatap malas 3 orang yang tengah berbincang dengan serunya di ruang tengah yang tak jauh darinya.

"Kenapa nyari Arya?" ujar pemuda itu langsung pada intinya. Ia malas. Sungguh semua ini tak berguna. Apa yang mereka inginkan sebenarnya?

"Kamu nggak mau pulang, Ya?" tanya seorang wanita paruh baya di arah barat sana. "Emang kenapa kalau Arya nggak pulang? Toh bunda sama papa juga nggak peduli kan?" Pemuda itu ia menatap remeh 2 orang di hadapan ayahnya. Ia tak peduli. Hidupnya sudah hancur, raganya sudah remuk, dan jiwanya menghilang entah ke mana.

"Arya—"

"APA? MAU BILANG ARYA KURANG AJAR IYA? BILANG AJA, PAH. TERIAKIN LAGI ARYA KAYAK DULU! PUAS-PUASIN SEKARANG JUGA! ARYA TAU ARYA EMANG NGGAK BERGUNA JADI MENDING DIBUANG AJA. BUANG ARYA DI SAMPAH TEMPAT SAMPAH KAYAK DULU, PAH. BUANG!"

Diam, ruangan itu hening sejenak. Ledakan baru saja terjadi di sana dan laharnya malah menyulut bom atom yang lebih nyaring bunyinya. "Kamu itu memang tidak berguna, kalau tidak saya bantu waktu itu pasti kamu sudah mendekam di penjara," ujar seorang pria yang tadi dia panggil 'papa'.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

T R A G E D ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang