Eu mesmo

23 4 1
                                    

"Ayo kita mulai" Ujar seorang wanita yang berdiri di depan barisan "one, two, Nunkkocci tep tep" Imbuhnya sambil memberi aba-aba untuk gerakan yang dia contohkan. "DISHAA HP KAMU DARI TADI BUNYI TERUS LOH!!! " Teriak seseorang dari belakang barisan dancer, seketika semua dancer menoleh dan latihan pun terhenti. "Ah nee eonni... " Jawab seorang gadis dari tengah-tengah barisan, ia segera keluar barisan dan mengambil HP nya lalu meminta izin ke pelatih untuk keluar ruangan.

Setibanya di depan toilet, gadis bernama Disha itu pun segera mengangkat teleponnya, dan seketika bibirnya bergetar "I-iya ayah aku pulang.." Ucapnya lirih sembari menghapus air mata nya.

Ia melangkah gontai menuju ruang latihan, "eumm eonni.. Ayahku marah" Ujarnya saat membuka pintu sambil terus menatap lantai yang ia pijak, semua orang menatapnya, "dimarah lagi?! " "Sebenarnya apa sih yang ayah dia mau?! " Pertanyaan itu yang sekarang menghantui kepala semua orang yang ada disana. "Kamu boleh pulang Sha, kita gak mau kamu dapet masalah lebih banyak lagi" Ucap pemimpin tim mereka, "Iya Disha, kamu boleh pulang, dan kalau dia macam-macam sama kamu, kamu bisa hubungin kita kok" Ujar teman lainnya menimpali, sepersekian detik air mata gadis diambang pintu itu sudah menganak sungai, entah sejak kapan ia mulai menangis, semua rekan pun datang untuk sekedar memberi ^healing hug^ untuk Disha, meski tidak banyak membantu, itu sedikit mengurangi rasa tidak aman pada hati gadis kecil itu. "Nee aku pulang dulu eonni, semoga latihan kalian lancar, dan sampai jumpa minggu depan" Ujarnya sambil menyuguhkan senyum andalannya, semua orang membalas senyumnya dengan tulus dan berharap, semoga hal buruk tidak terjadi lagi padanya

"Ayah aku pulang... " Ujarnya lirih sambil membuka pintu rumahnya, dan.. Yap, ayahnya sudah menunggunya di depan pintu kamar, entah hukuman apa lagi yang akan dia hadapi, ia hanya bisa berjalan perlahan dan tidak berani mengangkat dagunya untuk melihat kedepan. Ayahnya yang mulai geram pun akhirnya mencengkram dagu anaknya itu dan menariknya keatas agar menatapnya "Dari mana kau gadis kupu-kupu? " Ujarnya menyindir, gadis itu hanya bisa diam sambil menahan air mata nya agar tidak jatuh "KU TANYA DARIMANA KAU JALANG??!!" ulangnya lagi dengan nada sangat tinggi, pertahanan gadis itu pun goyah, ia menangis entah mana yang lebih sakit, hati atau dagunya, dengan sisa keberaniannya, ia pun menepis tangan ayahnya sambil berkata "Ayah aku lelah" Dan ia pun melenggang masuk ke kamar meninggalkan sang ayah yang sedang membara, "DASAR ANAK NGGAK BERGUNA!! GAK USAH KELUAR KAMAR BAHKAN UNTUK MAKAN!! URUS AJA DIRIMU DI DALAM KAMAR ITU!! " Teriak sang ayah sebelum akhirnya dia mengunci kamar anaknya itu dari luar. Disha yang tau pasti akhirnya akan seperti ini pun hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar, ayahnya memang belum bisa menerima dia dan semua keputusannya, ahh... Bukan cuma sang ayah, ibunya juga sangat menolak keputusannya ini, beruntungnya, ia masih bisa dapat tempat tinggal (eoh, emang tempat seperti itu pantas disebut sebagai "rumah"? Haha) Intinya, dia masih bisa berteduh meski dekat neraka, dan orangtua nya juga harus bersyukur, meski diperlakukan demikian, sang anak tidak sehelai pun membenci orangtuanya, entahlah terbuat dari apa hati gadis ini.
" Kau membuat beruang besar marah Disha" Ujarnya pada dirinya sendiri sambil tersenyum miris, ia melempar tubuhnya pada ranjang yang selalu jadi tempat ternyaman yang ia punya, ia tidak lagi menangis, tapi ia hanya lelah

"Andai Magic Shop itu nyata"

Gumamnya sembari menarik bantal lalu memeluknya, Tiba-tiba saja banyak notifikasi masuk di HP nya "Ah sial,besok ada jadwal latihan vokal, kenapa aku bisa lupa? " Dia menepuk dahinya karena dengan semudah itu melupakan jadwal pentingnya, dan sialnya lagi ia tidak bisa keluar karena ayahnya menutup semua aksesnya untuk keluar, sepertinya hidup gadis ini penuh dengan hal buruk, keluarganya membenci segala sesuatu yang membuatnya bahagia, menentang hobi dan bakatnya, mematahkan kepercayaan dirinya, menghancurkan mentalnya, bahkan berkali-kali hampir membunuhnya. Dia bingung, apakah Tuhan sedang berbaik hati padanya agar terus hidup, atau sebaliknya?

'kreuk..' "ah aku lapar" Ujarnya sebelum bangkit dari kasur, ia sempat membeli roti favoritnya tadi sebelum berangkat ke studio, ya meski kecil, setidaknya bisa mengganjal perutnya sejenak. Ia membuka laptopnya yang setiap hari bertengger diatas meja belajarnya dan segera membuka browser untuk sekedar melihat apa yang terjadi di dunia, dan dia terpaku pada satu artikel "Eoh, mereka menang lagi, entah berapa penghargaan yang sudah mereka dapatkan... Ah.. Aku iri..." Ucapnya sambil menghabiskan gigitan terakhir makanannya "Aku pasti dan harus bisa seperti mereka, intinya aku nggak boleh lemah" Lagi-lagi ia berbicara sendiri. Setelah membersihkan sisa makanan yang ia makan, ia pun segera memasang airpod di telinganya dan berlatih dance yang tadi sempat ia lewatkan. Tanpa ia sadari air matanya jatuh lagi, ternyata keluarganya memang segitu menentang apa yang dia mau, semua harus diatur dan dibicarakan dengan seluruh anggota keluarga besar, dan dia kalah telak untuk memperjuangkan semua mimpinya, untuk marahpun tidak ada yang peduli, mereka selalu mengagungkan kata "Ini semua demi kebahagiaanmu" Padahal semua itu yang membuatnya harus bolak-balik psikiater untuk obat dan terapi. Mungkin depresi , OCD dan Socialphobia bukan hal serius dimata mereka, dimana dia harus tetap meminum obat penenang dan juga harus melakukan rehabilitasi atas kecanduannya kepada obat-obatan lainnya. Entah apa lagi yang ingin orangtuanya rampas dari dirinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Me PerdiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang