Aku mengendap-endap di antara ruangan rumah milik teman Sarah. Kutatap sekitar lebih lekat, memastikan tidak ada yang mengawasi pergerakanku.
Lampu-lampu sudah di matikan, semuanya sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Tadi, Sarah masih bangun, namun untungnya dia sedang keluar. Aku harus melewati kamarnya untuk bisa tiba di pintu depan rumah.
Sementara Beatrice, dia tidur dengan tenang di kamar. Aku berbagi kasur dengannya dan harus sangat berhati-hati saat bergerak atau dia akan terbangun oleh gerakanku. Beatrice itu sangat sensitif terhadap pergerakan.
Kulirik jam dinding yang ada di ruang tamu. Pukul dua belas kurang. Setelah memastikan aman, aku langsung menyeberangi ruang tamu dan menuju pintu utama. Kunci terpasang rapi di sana. Aku memutarnya perlahan berusaha agar tidak terdengar suara sedikitpun.
Namun, seberapa keras usahaku untuk memutar kunci dengan sangat pelan, suaranya tetap terdengar menggema di ruangan ini. Dalam sekejap, lampu ruang utama menyala terang.
"Sedang apa kamu?!" ujar suara yang amat kukenal dengan intonasi galak. Aku mengaduh dalam hatiku. Ember penuh air itu sebentar lagi akan disiramkan padaku.
"Kamu tahu ini pukul berapa? Nyaris pukul dua belas malam! Lihat jam dinding itu! Dua belas menit lagi tengah malam! Tidak bisakah kamu menunggu jarum jamnya berputar hingga menunjuk angka lima untuk ke luar?!" omel suara itu masih dengan intonasi galak.
Aku menghela napas pasrah, berputar menghadap sosok berambut pirang lurus yang tengah berdiri di ujung lorong menuju kamar dengan dua tangan terlipat di depan dada.
Aku memberikan wajah penuh permohonan, "Sebentar saja. Setengah jam, ya?" pintaku dengan nada sememelas mungkin.
Sarah menggeleng tegas, berjalan ke arahku. Aku bergegas berbalik dan memutar kunci, kemudian membuka pintu itu dan pergi ke luar dengan cepat.
"Laila!" teriak Sarah saat aku sudah berlari menjauh dari rumah temannya.
Dalam hati aku tertawa karena bisa melarikan diri dari gadis cerewet itu, namun di sisi lain, aku jaga mengasihani seisi rumah yang harus terbangun karena teriakan Sarah.
Ralat, karena ulah kami berdua.
Lalu, bisa dipastikan Beatrice juga akan terbangun dengan wajah dan tatapan datarnya pada Sarah. Aku sepertinya harus menerima hukuman tatapan kesal mereka saat kembali nanti.
Biarkan saja itu menjadi pikiran dan bebanku nanti. Sekarang, aku harus menikmati pelarianku terlebih dulu.
Aku tertawa kecil dan meneruskan langkah lebih cepat. Tangan kananku meraih notes yang kubawa di dalam saku jaket sementara tangan kiriku menutupi mulutku yang menguap panjang.
Seperti biasa, mengantuk namun tidak bisa tidur.
Aku membuka notesku dan membaca dari halaman pertama. Aku sudah lama tidak membuka halaman di awal-awalnya. Kuperhatikan setiap halaman dimana tulisanku semakin berubah seiring waktu.
Tidak ada perubahan yang signifikan pada tulisan tanganku selain kemiringan dan gaya menulisku. Selain itu, membuka kembali notes ini membuatku menyadari sesuatu.
Aku memiliki pola goresan yang cukup unik di beberapa huruf.
Aku tidak tahu apa pentingnya ini sebenarnya, tapi aku merasa semakin lama mataku semakin tajam saat jika itu menyangkut dengan garis yang memutar dan membentuk pola. Apakah itu pola abstrak atau terstruktur.
Aku terus membaca dengan cepat isi dari notesku, beberapa kali tertawa sendiri karena gaya menulisku yang terkesan aneh, termasuk terdiam saat menyadari jika aku dulu bisa menulis kalimat seperti yang ada dalam notesku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Story : Trail of Night
Mystery / Thriller[fantasy-mystery] Malam hari, identik dengan hal-hal yang menyeramkan dan magis. Itu kata orang-orang selama ini. Aku menganggap malam sebagai salah satu temanku. Aku suka malam karena bisa mengingatkanku pada bintang-bintang di langit. Bintang-bint...