Anis menutup hp nya, ia termangu. Jiwanya merasa bimbang, antara takut dan perasaan bahagia yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Belum pernah ia merasakan hal seperti ini, peraaannya tercampur aduk membuatnya tidak mengerti harus bagaimana.
Ditengah kebingungannya, Anis pun teringat Ratih, segera dihubunginya sahabatnya itu.
Anis dan Ratih telah bersahabat sejak mereka SMA hingga mereka berdua bekerja bersama-sama di rumah sakit yang sama, tentunya tidak ada lagi rahasia yang mereka sembunyikan.
“Halo Nis, gimana kabarmu?” kata Ratih dari seberang sana. Suara Ratih yang selalu ceria membuat Anis terbawa suasana gembira. Ya, sifat mereka yang bertolak belakang itulah yang membat mereka berdua dapat menjadi sahabat hingga hari ini.
“Alhamdulillah sehat, apalagi mendengar suaramu. Aku jadi ambah sehat dan bersemangat.” jawab Anis dengan ceria. Bila berhadapan dengan Ratih, Anis langsung berubah menjadi dirinya sendiri, tanpa ada yang ia tutup-tutupi termasuk perasaannya hari ini.
“Mendengar suaraku atau suaraku??” goda Ratih.
“Maksudmu?”
“Memangnya belum ada yang meneleponmu? Suara dari langit itu Nis,” terdengar uara Ratih yang tertawa dari seberang membuat Anis mengerti.
“Jadi Kamu yang memberi tahu nomerku pada Arif?” tanya Anis dengan suara yang terdengar kaget.
“Iya, aku yang memberitahu nomermu. Arif yang meminta nomermu. Dia bercerita banyak tentang dirinya dan keluarganya, kemudia dia bertanya tentang kamu.”
“Kalian bertemu di mana?”
“Kami belum bertemu, dia juga baru saja mendapat nomerku dari salah satu temanku perawat covid yang bertugas ditempat Arif dirawat,”jelas Ratih.
Walau yakin Ratih tidak dapat melihat gerakannya, mendengar penjelasan Ratih, Anis tetap mengangguk-angguk tanda menegerti,” Oo...begitu,”
“Memang apa saja yang kalian bicarakan?”tanya Anis ingin tahu. Walau ia bisa menanyakan langsung pada Arif, namun bagi Anis hal itu tabu.
“Arif dulu kuliah di sebuah universitas negeri di Yogyakarta, dia masuk fakultas pertambangan. Kamu tahukan kalau Arif pintar? Nah dia lulus cum laude dari sana. Setelah lulus ia langsung diterima di salah satu PMA Jepang, kantornya terletak di bilangan letjen MT Haryono Jakarta. Di sana dia tidak bertahan lama, maklum jiwa muda,” goda Ratih kembali sembari terdengar suara kekehannya yang terkadang membuat Anis sebal.
“Kenapa? Bukannya PMA Jepang itu gajinya lumayan tinggi untuk ukuran sarjana yang baru lulus? Apalagi bila dapat tender yang besar,” tanya Anis kebingungan.
“Iya, dia resign tak lama sesudah ia diterima kerja di PMA Amerika Serikat dan berkantor pusat di Irving, Texas, Amerika Serikat. Nah siapa yang gak ngiler kalau gajinya itungannya dollar? Jadi ya Arif milih pindah ke PMA yang letak kantor pusatnya di jakarta di bilangan semanggi, di jl. Bendungan Walahar.”
“Ups keren,” kata Anis kaget. Walau hanya sebagai ibu rumah tangga, namun pekerjaannya dahulu sebahgai seorang perawat senior membuatnya berhubungan dengan orang-orang penting yang bekerja di kota-kota besar termasuk jakarta. “Terus udah kaya raya kok istrinya malah nyeleweng?” lanjut Anis ingin tahu.
“Ingin tahu banget nih? Awas nanti CLBK,” goda Ratih lagi.
“Apaan sih kamu Tih? Sebel aku,” rajuk Anis.
Ratih tertawa terbahak-bahak mendengar suara Anis, ia sungguh senang bila menggoda sahabatnya itu.Akhirnya setelah reda tertawanya, Ratih pun menjawab,” Kerja di pertambangan kan begitu Nis, kerja tergantung tender kalau cepet bisa kerja sebulan libur sepuluh hari, kalau tendernya besar bisa tiga bulan gak pulang-pulang. Nah, ternyata istri Arif tuh gak tahan godaan. Jadilah ia pindah kepelukan laki-laki lain. Awalnya sih gak ketahuan selingkuh, tapi namanya kebusukan disimpen,” jelas Ratih.
“Kok kamu tahu semua? Emangnya kamu polisi? Sampai Arif cerita ke kamu semua?” goda Anis terkekeh.
“Idih, kok gantian godain aku?”
“Ya mungkin Arif sekarang naksir kamu,” kata Anis berdebar-debar.
“Ya gak mungkin, sejak dulu cinta sejati Arif kan hanya kamu,” tegas Ratih.
Mendengar hal itu Anis terdiam, “Eh udah dulu yah, nanti aku sambung lagi,” Anis segera mematikan sambungan teleponnya tanpa mendengar jawaban Ratih. Hatinya berdebar tak karuan, membuat nya tidak mampu berkata-kata lagi. Ia pun menenangkan hatinya...
Tak terasa waktu telah semakin siang, ditinggalkannya hp di kamar dan segera menuju dapur. Telah dua hari ini mbok Pon pulang kerumahnya. Rumah mbok Pon jauhnya sekitar 70 km dari pusat kota, tepatnya didesa Dringo, kelurahan Gunturharjo, kecamatan Paranggupito. Kecamatan Paranggupito merupakan kecamatan yang terkenal akan pantai-pantainya. Kecamatan ini memiliki lima pantai yang layak untuk dikunjungi: Pantai Nampu, Pantai Banyuwoto, Pantai Sembukan, Pantai Mangetan/Pantai Dadapan dan Pantai Puyangan.
Rumah Mbok Pon sendiri dekat dengan Pantai Nampu, meski belum ada angkutan umum yang menuju ke arah pantai, namun karena pantai ini terkenal sangat indah karena memiliki pasir yang putih dan susunan batu karangnya yang cantik membuat pantai ini lumayan banyak dikunjungi wisatawan lokal. Pantai yang tak kalah cantikknya dan berada tidak jauh dari pantai Namu adalah pantai Puyangan. Hanya dengan berjalan kaki selama lima belas menit dari pantai Namu, kita disuguhi oleh pemandangan pantai dengan garis pantai yang lumayan panjang dan diapit oleh dua tebing yang eksotis.
Mengingat akan hal itu, Anis merasa ingin piknik. Namun apa daya, dengan pandemi covid seperti ini sangat sulit untuk mewujudkan hal-hal seperti itu. Tak terasa azan zuhur berkumandang, masakan Anis pun telah matang. Beruntung bahan makanan telah disiapkan sehingga keluarga Anis tetap dapt menikmati makanan dengan layak. Segera seperti biasanya, Anis segera memberitahu ketiga anggota keluarganya yang lain, kalau makanan sudah siap di meja makan.
Di ketuknya kamar Gendis dan tanpa menunggu jawaban pemilik kamar, Anis pun masuk. Dalam kamar bernuansa ungu dan merah muda itu, terlihat seorang gadis cantik yang sedang asyik berzoom ria dengan beberapa orang temannya, Gendis segera menoleh mersa privasinya terganggu oleh kedatangan ibunya. “Ibu mau apa sih? Masuk gak bilang-bilang?” kata Gendis dengan ketusnya.
“Ibu tadi sudah mengetuk pintu, tapi belum kamu jawab, pintu sudah ibu buka,” jawab Anis dengan sabar.
“Besok lagi jangan main buka-buka pintu aja bu. Memangnya ada apa sih?”
“Ibu hanya mau memberitahu kalau makan siang sudah siap di meja makan.” Kata Anis menjelaskan pada Gendis. “Hayuk makan Mbak?” lanjut Anis penuh harap.
“Nanti Bu, Gendis belum lapar.” Jawab Gendis malas.
“Kalau dingin nanti makanannya tidak enak,” ajak Anisa setengah memaksa.
Gendis yang tidak suka dipaksa akhirnya menjawab,”Ya gampang Bu, kalau gak enak tinggal pesan grab. Sekarang saja mungkin sudah gak enak makanannya,” jawab Gendis dengan ketus.
Anis yang mendengar jawaban dari putri yang sangat ia sayangi itu merasa sangat kecewa. Hatinya terasa pedih, ia merasa tidak berguna sebagai seorang ibu. Dengan menahan air mata yang akan jatuh, Anis bergegas meninggalkan kamar Gendis. Ia kemudian berdiri diluar kamar Gendis menumpahkan air mata yang tadi ditahannya. Bahunya yang naik turun menandakan Anis masih belum berhenti menangis. Setelah beberapa menit, akhirnya tangisnya berhenti. Sebelum akhirnya masuk ke kamr Juna, ditariknya nafas panjang-panjang.
“Jun,” kata Anis sambil membuka pintu. Dilihatnya kamar anak laki-laki kesayangannys itu sangat berantakan. Tempat tidurnya terlihat seperti kapal pecah, selimut terongok ditengah dengan Juna yang tertidur lelap di dalamnya. Bila melihat Juna yang sedang tidur seperti ini, Anis merasa melihat Yudha sewaktu muda. Begitu bersih, dan tampan namun terlihat jauh sulit tersentuh. Melihat Juna yang tidur dengan lelapnya, Anis tidak berani membangunkannya.
Ia pun keluar dari kamar Juna tanpa membawa hasil apapun. Anis bergegas menuju kamar Yudha, selama terkena covid dan harus isolasi mandiri seperti ini, Anis memutuskan untuk tidur di kamar berbeda dengan Yudha. Walau sebetulnya ada alasan lain yang lebih mendasarinya, namun bila ditanya ia selalu menjawab dengan alasan itu. Yudha pun tidak mempersalahkan hal itu, ia tidak mau ambil pusing karena yang diinginkan Yudha sekarang adalah Tiara bukan lagi Anis.
Sesampainya di depan pintu kamar Yudha, ketika akan di ketuk pintunya, terdengar suara Yudha yang sedang bercakap-cakap dengan sesorang. Dari nada suara dan pembicaraan, Anis memastikan bahwa orang yang sedang berbicara dengan Yudha adalah Tiara, wanita penggoda itu. Terdengar suara Yudha berkata:
“Gimana kabarmu hari ini sayang? Aku kangen banget,”
“Bosan rasanya harus di rumah terus dan harus bersama perempuan dingin serta anak-anaknya yang tidak mau diatur,”
“Kalau bisa keluar rumah tentu hal pertama yang aku lakukan adalah mengunjungimu.”
“Iya, aku juga sangat kangen sama kamu. Besok kalau sudah berakhir isolasi keparat ini, kita berlibur ke Bali.”
“Iya, jaga diri baik-baik. Muach-muach...”
Tangan Anis yang terangkat untuk mengetuk pintu akhirnya turun kembali, tangannya menutupi muka dan mulutnya. Ia pun mulai menangis kembali, tak tahan akan rasa pedih. Anis pun berlari memasuki kamar tidur. Dikuncinya pintu kamar dan dijatuhkannya tubuh kekasur untuk meredam suara tangis yang ingin meledak.Tak terasa waktu telah sore hari ketika Anis bangun dari tidurnya, ia ternyata tertidur setelah menangis. Perutnya terasa perih ketika ia bangun, Anis pun teringat bila tadi ia belum sempat makan, segera dibersihkannya muka dan keluar kamar untuk mengecek rumah yang ia tinggal tidur. Walau hati terasa hancur, namun Anis tidak melupakan kewajibannya sebagai istri.
Ketika menuju meja makan, terlihat olehnya Juna yang sedang lahap makan. Ternyata Juna memesan makanan dari luar melalui aplikasi, dilihat dari bekas-bekas bungkusannya yang masih berserakan di meja makan. Tanpa berkata apapun, dibukanya tudung saji penutup makanan, terlihat makanan tidak berkurang sedikitpun. Anis hanya mampu menarik nasfasnya mengetahui hal itu, akhirnya ia pun bertanya kepada anak bungsunya itu.
“Dek, kenapa gak makan makanan rumah saja? kok malah jajan?” tanya Anis perlahan. Sembari duduk di sebelah Juna dan mulai makan siangnya yang tertunda.
“Aku gak suka masakan Ibu, gak doyan...” jawab Juna enteng. “Memang kenapa? Gak boleh juga pesan makanan dari luar?” lanjut Juna denga wajah kesal.
“Ya boleh sih, pesan makanan dari luar, kalau pas Ibu gak masak. Kalau ibu sudah masak ya sebaiknya makan makanan rumah saja kan lebih sehat dan bergizi. Tidak seperti junkfood yang sedang kamu makan sekarang Mas.” Jawab Anis panjang lebar.
“Iya tapi aku suka makanan ini. Mbak Gendis juga suka pesan kok, Ibu aja yang gak tahu,” kilah Juna.
“Hai apa-apaan ini namaku dibawa-bawa!” bentak Gendis pada adiknya.
“Lho Mbak Gendis kan juga sering pesan junkfood melalui aplikasi, cuman gak ketahuan sama Ibu. Masa aku aja yang dimarahi sama Ibu,” kata Juna mulai marah. Wajahnya yang putih bersih terlihat memerah mulai marah.
Anis hanya terdiam, ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Gendis seakan meminta klarifikasi apakah perkataan Juna betul.Menyadari tatapan Anis, Gendispun tak mengelak,” Iya, aku juga sering pesan makanan dari luar melalui apikasi. Habis makanan Ibu gak enak, jadi gak nafsu makan,” jawab Gendis dengan santainya.
Anis yang telah menyelesaikan makan siangnya tanpa membalas perkataan Gendis segera membawa piring kotornya ke dapur. Sambil menahan tangis, dibersihkannya meja bekas ia dan Juna makan. Tangisnya tumpah ketika ia berada di dapur sendiri, Salah apakah dia hingga harus menahan banyak sakit hati yang disebabkan oleh anggota keluarganya. Dengan terisak Anis membersihkan seluruh cucian dan dapur agar kembali bersih. Anis tidak menyadari bila sepasang mata sedang mengawasi dan memperhatikan gerak gerikknya dari jauh.
Hampir setiap hari terkecuali Anis, anggota keluarganya selalu memesan makanan dan minuman dari luar. Walau Anis tahu bila uang suaminya, Yudha banyak, namun Anis tetaplah wanita sederhana yang selalu memperhitungkan baik buruknya dalam setiap menggunakan uang yang dibrikan suaminya. Begitupun pada Gendis dan Juna sudah diajarinya untuk selalu baik dan benar ketika membelanjakan uang jajan. Namun ternyata, tidak seluruh pesan baik yang sudah ia ajarkan dilaksanakan oleh kedua anaknya.
Setelah selesai dengan tangisnya dan menata hatinya, Anis pun keluar dari dapur. Dilihatnya kedua anaknya sedang menonton tv sembari memakan jajanan kecil yng telah ia sediakan. Walau hati berat, namun ia tetap berusaha akan memperbaiki keadaan tersebut. Didekatinya kedua anaknya yang sedang asyik menonton tv itu.
“Mbak dan dik, Ibu selalu ingin yang terbaik untuk kalian, nah sekarang Ibu tanya, kalian ingin makanan seperti apa yang mau kalian makan?” tanya Anis sambil menarik nafas panjang agar amarahnya dapat ditahannya.Kedua anaknya pun terdiam tidak menjawab pertanyaan Anis, melihat gelagat itu segera Anis pun melanjutkan,”Karena kita baru seminggu di rumah terus, masih ada seminggu lagi sebelum kalian bisa keluar rumah. Itu juga kalau hasil Swab yang kedua negatif, tapi bila hasilnya masih positif akan lebih lama lagi kita diisolasi.”
“Aku ingin selalu ada ayam goreng dalam setiap menu makanku. Pokoknya kalau gak ada ayam, aku gak mau makan! Titik!” jawab Juna.
Anis tersenyum mendengar jawaban Juna. “Kalau kamu Mbak?” tanyanya pada Gendis yang sedari tadi hanya terdiam.
“Aku sama seperti Juna, tapi terus terang Ibu kalau masak kurang bumbu, jadi tidak enak. Coba Ibu belajar masak dulu dari buku masak,” jawab Gendis dengan tegas.
Anis terdiam, ditatapnya putri sulung dengan sedih. Ia merasa kehilangan putrinya yang dulu, yang selalu ceria dan suka membuatnya tertawa. Kini, Gendis terlihat menjauh darinya dan selalu berusaha menyakiti hatinya.Sambil ditatapnya wajah Gendis yang mengatakan hal tersebut tanpa rasa bersalah, ANis pun menjawab,” Baik, Ibu akan mencoba belajar memasak.”
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
PSBB: Pahami Sayangi Biar Bahagia
Não FicçãoPremis: Keluarga bagi banyak orang adalah tempat ternyaman untuk pulang. Karena konon, keluarga adalah orang yang paling mengerti, paling peduli, dan paling menyayangi kita. Namun, tidak demikian bagi Anis, seorang Ibu dengan dua anak yang tengah b...