Perjalanan 1 | Katanya, Aku Miliknya

1K 108 49
                                    

"Kamu gak paham juga?!" Dia membentakku untuk kesekian kalinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu gak paham juga?!" Dia membentakku untuk kesekian kalinya. Rahangnya mengetat. Aku juga bisa melihat buku-buku jemarinya memutih. 

Aku hanya diam. Mendebatnya selalu berujung pada kesia-siaan. Berbulan-bulan mengenalnya, aku sudah khatam akan tingkahnya yang ini.

Hubungan kami memang berjalan seperti ini. Percekcokan bukan hal yang luar biasa—lebih-lebih, akan terasa janggal kalau kami tak terlibat percekcokan.

"Jawab!" hardiknya. Aku merapatkan bibir. Yang benar saja? Setiap kata yang keluar dari mulutku pasti terdengar terdengar aneh. 

Aku bergetar hebat. Napasku memburu dan beradu. Yang jelas aku menciut di hadapan lelaki itu. Atau, aku menciut bila berhadapan dengan kemarahannya.

Sesungguhnya aku bingung dari mana kemarahannya berasal. Demi Tuhan yang selalu kusebut dalam doa-doaku, aku hanya menerima pemberian seorang teman. Sederhana, sebuah permen lolipop dan susu kotak berserta sticky notes yang bertuliskan kata-kata penyemangat.

Tidak, jangan berpikir kalau temanku menyimpan rasa padaku. Hei, ini bukan kisah klasik yang itu! Yang tadi kuceritakan hanyalah ritual lumrah yang tumbuh di lingkungan pertemananku. 

Letak permasalahannya adalah, perkara ini tak pernah lumrah di pandangan kekasihku.

Aku mencoba paham. Ia lelaki, egonya setinggi bintang di langit. Tapi, apa boleh aku mengutuknya akan semua khayalan bodohnya itu? Dalam hatiku, tentu saja.

"Bi, jawab aku!" Tangannya menggapai daguku, meremas di sana. Ia angkat daguku dan menancapkan tatapan tajamnya tepat di mataku. Dia pasti tahu aku sedang tak mampu beradu pandang dengannya.

"Kalo kamu masih diam, aku pergi!" Aku terkekeh dalam hati, akhirnya dia meledakkan ancaman itu jua. Sudah kubilang, ia paling tahu aku. 

"Jangan!" kataku. Coba dengar itu! Aku mencicit seperti anak ayam. 

Mengangkat salah satu sudut bibirnya, dia menyeringai. Sepertinya ia puas karena aku masih tunduk pada ancamannya.

Aku tidak ingat kapan itu benar dimulai, tentang dia yang suka mengancamku layaknya kini. Ia punya kartu AS-ku sekarang. Sedangkan aku? Boro-boro mengancamnya, membuatnya tertekan cuma akan menyakiti diriku sendiri.

 "Iya, enggak akan lagi," balasku akhirnya. Aku menyerah. Mau bagaimana lagi, ia lebih penting timbang ketakutanku sendiri. 

"Janji?" Oh, ayolah, ia tidak benar-benar meminta persetujuan. Persetujuan senantiasa dijawab dengan 'ya' dan 'tidak'. Tapi di sini, aku cuma punya 'ya'. 

Aku mengangguk cepat, tak ingin ia menganggapku bimbang mengambil keputusan.

Dari jarak sedekat ini, deru napasnya mulai terdengar beraturan.  Pun, mimik wajahnya kian melentur. Ia tak menatapku setajam itu lagi. Pada akhirnya, semua perdebatan di hubungan ini akan bermuara pada kekalahanku.

Kau Pergi, Aku MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang