Semburat senyum dilukiskan matahari yang mulai kembali ke peraduannya. Senja mulai menggelayuti kota yang penuh manusia, Gaza.
Samar suara manusia yang menggeluti kemelut hidup mulai terdengar, tatapan mataku mulai terisi pemandangan yang menakjubkan.
Masyarakat menjalani kehidupannya dengan normal, tanpa sirat wajah ketakutan, jika suatu waktu datang serangan kaum zionis yang amat mematikan.
Seakan semua tidaklah nyata, hanya semu kelabu. Perkiraanku tentang kota ini melenceng jauh, tepat diluar dugaanku. Gaza bukanlah kota yang hancur seperti di gambaran umum. Bukan, bukan seperti itu...
Apa yang tumbang pasti berdiri kembali, begitu juga dengan kehidupan di kota kecil ini. Rudal, bom, dan konflik sudah menjadi bumbu kehidupan masyarakat Gaza. Bangunan yang rubuh akan berdiri kembali. Nadi kehidupan tetap berjalan, apapun caranya.
Aku menatap ke sekitar jalan yang mulai dijejali manusia. Mataku meraba-raba setiap sudut jalanan ini dengan sedikit usaha keras, hanya untuk menemukan tempat yang kucari ternyata tepat di sampingku.
Mahmoud Abbas Store
Langkahku mengayun ke arah toko itu, dan masuk kedalamnya. Lumayan ramai, tampak banyak ibu-ibu yang berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ada pula yang tertawa dan saling bercanda.
“Excuse me, are you Muhammad Harun?“ ucap seorang lelaki yang membuatku tersentak.
“Ah, yes i am.“ jawab ku sembari memalingkan wajah dan menatapnya.
Tangan pria itu menyalami ku, “Perkenalkan, saya Asep. Senang bertemu dengan anda. Saya yang akan menjadi penanggung jawab selama anda menjadi relawan disini.“
“Terimakasih Asep. Jadi bisa dijelaskan bagaimana skema kerja saya?“ tanyaku sambil melirik isi etalase di depanku. “Wah, ada Indomie juga ya?“
“Jelas dong, semua yang kamu butuhkan dan berbau Indonesia ada disini. Nah, ikut aku sekarang,“ Asep mengajak diriku ke belakang toko.
Pintu belakang terbuka, tampak pekarangan yang lumayan luas dengan rumput yang menghiasi. Air mancur kecil mengisi suasana dengan gemericik merdunya. Asep segera menyiapkan kursi dan mempersilahkan diriku untuk duduk.
“Akan kubuatkan teh, silahkan duduk dulu. Nih dicemil,“ Asep menyodorkan sekotak kurma.
“Palestina nggak gersang ya ternyata. Kukira cuma ada reruntuhan dan duka yang mendalam, ternyata enggak sama sekali,“ ucapku sembari mencomot sebiji kurma.
Asep datang sambil membawa baki berisi teh dan beberapa makanan kecil, “Jangan keliru, gak semua wilayah Palestina gersang dan hancur. Nih buktinya, Gaza masih utuh. Ada juga Khan Younis, Deir al Balah dan sebagainya.“
Kepulan asap membumbung dari cangkir putih berisi teh. Asep nampak sudah mengambil cangkir teh miliknya dan meneguknya sedikit. Aku pun mengikuti apa yang dia lakukan.
Langit kota Gaza bertabur bintang, penuh dengan keberkahan. Begitu indah dan syahdu. Sulit rasanya percaya bahwa kota ini menjadi medan laga perebutan tanah suci.Rembulan mengangkasa dengan sinarnya yang menerangi remangnya malam. Sahut suara pasar disampingku mulai berkurang intensitas nya, seiring larut nya malam.
“Saya mau serius tanya sama kamu, Har. Kenapa kamu mau jadi relawan disini? Kenapa kamu mau membahayakan dirimu untuk menjadi penolong orang lain?“ Asep mulai bertanya dengan nada penasaran.
“Aku, cuma mau jadi berguna. Seumur hidup aku dianggap sampah. Aku yakin, disini diriku akan jadi berguna,“ tandasku sembari menatapnya.
Asep menyeruput teh nya sampai habis, “Kamu gak takut mati? Harun, Gaza ini medan laga yang mematikan. Tenang dalam keadaan cepat, berkecamuk dalam keadaan cepat pula. Kenapa kamu mau jadi sasaran tembak tentara idiot itu kalau di Indonesia kamu bisa hidup tenang?“
Aku hanya tersenyum kecil, “Kamu tau? Kalau maut mau datang menjemputku, aku siap. Aku nggak peduli apa yang akan terjadi. Selama aku benar, aku nggak takut.“
Asep terdiam. Hembusan angin dingin menyelimuti tubuhku. Kami saling membisu dalam waktu cukup lama,sampai...
“Kamu kuterima, besok ikut denganku ke Rumah Sakit Eshifa. Kita ambil perlengkapan kerja kamu. Sekarang kamu nginap disini, aku ada kamar tamu.“
Masyaallah.. Akhirnya terijabah doa kecil hamba Mu ini Ya Robbi..
“Terima kasih, saya naik duluan,“ pamitku pada Asep.
Dirinya tersenyum lebar, seakan memberi isyarat selamat datang di kota ini. Langkahku gontai menaiki tangga, menuju ruang tamu. Nampak ruang ini sudah disiapkan, jendela tampak terbuka, membiarkan angin masuk.
Gaza City, semoga aku dapat memaknai arti perjuangan ini.
Rembulan menjadi saksi bisu. Malam pertama di Gaza yang kuisi dengan shalat tahajud, memohon keajaiban Sang Illahi.
Dan percayalah, jikapun diriku berakhir disni, maka kisahku akan menjadi sebuah kenangan indah bagi siapapun yang mengingatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doc : Story of Medical Volunteer
General FictionKota Gaza, kini menyimpan jutaan kisah didalamnya. Legenda abadi yang tertelan bisu, lenyap bagaikan abu, tapi abadi bagai waktu. Desing peluru, darah, dan kematian menghiasi warna-warni seorang pelajar dari negara asing, yang penuh kenekatan menjej...