First Experience

4 0 0
                                    

Satu..
Dua..
Empat..
Delapan...
Jangan bingung, aku bukan mengurutkan angka. Aku menghitung jumlah brankar darurat di rumah sakit ini.

Sayup-sayup suara riuh rendah mulai terdengar. Pandangan kosongku mulai terisi, menampakkan hal yang menyesakkan. Lorong Rumah Sakit Eshifa terasa begitu sempit dengan puluhan orang berjubel didalamnya.

"Nah, kamu malah melamun. Nih, catat dulu," Asep membuyarkan lamunanku.

"Apaan nih? Tebel amat!" balasku terkejut.

Sebuah buku kecil, lengkap dengan lambang Palang Merah Internasional dan namaku tertulis dibawahnya. Kecil, tapi cukup tebal. Rasanya, kalau digunakan untuk menampar unta gurun akan jadi senjata ampuh.

"Tulis nama, kewarganegaraan, dan umur. Buku ini bakal jadi pegangan kamu selama jadi medis disini. Jangan sampai hilang, kupukul kamu nanti," gurau Asep sambil mengibaskan tangan.

Aku terdiam, "Sep, aku mau tanya sesuatu."

Asep mengibas-ngibaskan tanganya, "Arrghh, panasnyaa.. Duh gusti..Hah? Apa-apa?"

"Pernah lihat relawan yang tewas?" tanyaku cepat, tak memperhatikan ekspresinya. "Maksudku, seberapa besar resikonya.."

"Jadi gini, semua itu ada resikonya. It's like you are playing roullete. Wrong move, you lose limb or your hand. Wrong decision, you are dead meat," Asep menjawab singkat. "Kamu takut sama kematian ya?"

"Hmm.. Engga sih. Aku cuma takut, takut kalau janjiku gak bisa kutepati," ingatanku menjalar ke suatu tempat.

Irana, gadis yang mendampingi suka duka hidupku tanpa pamrih apapun. Ingatan yang mengenaskan. Malam dimana aku meninggalkannya berisak air mata, tanda pilu dan lara.

Janji.. Ya, semua orang pasti pernah mengucapkannya. Di hari itu, penghuni langit menyaksikan pengorbanan dua insan yang memiliki rasa cinta. Angkasa, menjadi saksi sebuah janji yang kurasa bisa kutepati, anda aku tidak mati di negeri ini.

Andaikan aku berakhir disini, biarkan aku mengucapkan ijab qabul disampingnya. Izrail, berikan aku waktu untuk mengucapkan janji sakral itu, jika memang hayatku terpatri di negeri ini.

"Ini, pakai rompi ini. Jangan lupa pakai helm pelindung. Kita berangkat sekarang," Asep menyodorkan sebuah rompi dan helm yang masih terbungkus rapi. "Bismillah, kamu sekarang dapat misi pertama."

DHUARRR!!!

Bumi berguncang, menghempaskan apapun yang berpijak diatasnya. Aku terpelanting, menghantam tembok. Perlahan, semua nampak jelas. Apa yang ditakutkan oleh Irana kini terlukiskan dengan nyata.

Rentetan tembakan.
Ledakan.
Jeritan kesakitan.
Sirine darurat perang...
Semua membuatku linglung.

Nafasku tersengal, tercekat diujung tenggorokan. Asma Illahi tak mampu keluar dari mulutku, hanya rintihan..

"Kamu gapapa!?! Ayo berdiri! Kita dapat panggilan tugas," Asep dengan gagah muncul dan membantuku berdiri. "Pakai rompi dan helm mu, kita harus melihat keadaan jalanan. Rudal tadi pasti tidak jauh."

Aku terjatuh, terlalu lemah, terlalu takut. Apakah sebentar lagi nyawaku melayang? Kenapa aku jadi bodoh dengan nekat kesini?? Apa yang terjadi??

PLAAKK!!

Tangan besar Asep menamparku, "SADAR! KAMU DISINI BUKAN UNTUK DIAM!"

"TAPI AKU TAKUT! AKU.. AK.. AKU GAMAU MATI!" balasku histeris, terguncang.

"Aku bakal jamin kamu selamat. Dengerin aku, kamu harus tenang. Tarik nafas dan buang," ucapnya menenangkan. "Ingat, kamu adalah pahlawan bagi mereka yang kesakitan diluar sana."

Tarik...
Lepaskan..
Cakrawala mulai jelas, denyut nadi kembali tenang. Ingatan akan janji itu memberiku sentakan.

Asep menarikku berdiri, "Ayo, kita keluar dan lihat apa yang terjadi."

-----------------------------------------

Runtuh.
Hanya reruntuhan, debu kemerahan, dan ketakutan. Tubuh manusia tergeletak di setiap penjuru, mencoba menyelamatkan diri, namun takdir berkata lain.

Tenang.. Tenangkan dirimu..
Ini adalah skenario yang sudah kamu alami sebelumnya.

Asep melambaikan tangannya dari kejauhan, "Hey! Disini ada yang masih bernafas!"

"Gimana kondisinya?" teriakku sambil menghampirinya. "A..Astaga"

Pemandangan yang menyedihkan. Setiap insan yang melihat hal ini akan menumpahkan air matanya. Bukti cinta dan bakti seorang anak pada orang tua, hingga izrail menghampirinya.

Seorang anak kecil terduduk kaku, tidak bergerak, tidak bernafas. Tubuhnya remuk, dihantam timbunan bangunan. Senyum kecil terukir di wajah anak itu. Tentu, sebuah senyum bahagia.

Tepat dibelakangnya, wanita tua terkulai lemah dan menangis. Tatapan nya sayu, menyiratkan sesuatu.

" Hal 'ant bikhayr ya sayidati?*" tanganku menyentuh lehernya, denyut nadi nya sangat lemah. " Laa tataharak, 'ant majruh**"

Anggukan lemah menjawab ucapanku. Nadi karotis nya lemah, tekanan darah tampak menurun, kesadarannya mulai mengabur.

"Pendarahannya cukup parah, aku gak bisa nahan luka ini. Kamu tahan dalam tiga. TIGA!"

Asep bertukar posisi denganku dengan cepat, "Kita harus apain? Pendarahannya terlalu dalam, ada serpihan di dalam lukanya,“ tanyaku.

Laa tahtam.. Laqad shammt rahiyat al jana.. Daeni 'atruk hadha al jasad..“ lirih wanita itu.

NO! I WILL MAKE YOU STAY ALIVE!“ tanganku menekan kuat apa lukanya. “Asep.. Kenapa.. Kenapa ada orang yang rela mati.. KENAPA!?!“

Asep hanya terdiam. Langit mulai menampakkan dirinya, setelah sebelumnya diselimuti kalut, ketakutan, dan rasa sakit. Jalanan yang dipenuhi reruntuhan mulai dilewati beberapa manusia, mencoba mengais apapun yang tersisa.

“Sudahlah Har, itu permintaan dia.“ Asep menarik lenganku. “Don't let her suffer longer.“

Bisu.
Kabut debu tipis menyelimuti setiap penjuru. Perlahan, gerak wanita itu melemah. Tiada tanda perlawanan ketika jari Izrail menembus tenggorokan, menarik nyawa makhluk ciptaan-Nya. Hanya darah, memenuhi hasta, menciptakan sebuah memori penuh duka.

Sepi, semua menjadi sunyi.
Senyap tanpa adanya pemecah keheningan, ketika Sang Khalik memerintahkan hamba nya kembali.

Biru nya langit menjadi hampa, karena melayangnya satu nyawa. Ya.. Itu bukan salahku, bukan juga salah Asep.

Wanita itulah yang menentukan takdirnya. Dia memilih memijak jalur keabadian, menghilangkan rasa kesakitan, menuju sebuah titik kebahagiaan.

Ya.. Sungguh aneh.

*= “Apakah anda baik-baik saja nyonya?“

**= “Jangan bergerak, anda terluka.“

Doc : Story of Medical VolunteerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang