Tenda-tenda kecil mengisi lapangan luas di sudut kota kecil Khan Younis. Asep mengajakku ke kamp pengungsian sementara di kota besar ini, yang jelas sebagian besar gedung nya sudah rata dengan tanah.
Sendi ekonomi merangkak perlahan, bertahan walau digilas aneksasi paksa kaum zionis tanpa belas kasihan. Penyelundupan, bantuan internasional, dan relawan menjaga Palestina tetap berdiri. Setidaknya..
"Nah, karena kamu masih shock sama kejadian dua minggu sebelumnya, kamu kupindahkan disini dulu. Kamu bakal dibimbing sama Karina," Asep membuyarkan tatapanku.
Lihatlah anak kecil itu. Mereka bermain dengan bahagia tanpa menampakkan rasa duka, sekuat apakah mental mereka? Aku sadar, diantara tawa mereka, ada air mata yang setia mengalir di setiap sujud..
"Oh, oke. Karina? Mirip nama orang Indonesia," balasku ringan.
Asep tertawa lepas, "Emang dia orang Indonesia kok. Oh iya, tolong ambilkan air mineral di tenda paling ujung."
Tanpa banyak berbicara, aku memutar tubuhku dan berjalan, tidak sampai aku menabrak seseorang.
BRUKK!!
"Allahuakbar, apa itu? Kukira bom," seorang wanita mencoba berdiri di hadapan ku.
Kepala ku cukup keras menghantam kepalanya. Bunyi denting gelas menggema didalam kepala, tatapanku mulai terpusat dan tampak jelas siapa yang baru saja kutabrak.
Seorang wanita berjilbab merah, dengan wajah Asia khas Indonesia. Sebuah rompi merah dengan strip kuning melekat di tubuhnya, dengan tulisan "MEDIC" terpampang jelas di pergelangan tangannya.
"I am so sorry. I dont even see you when i am walking," ucapku menunduk dan meminta maaf.
"No problem, mon ami. Berbicaralah memakai Bahasa Indonesia, kita berasal dari negara yang sama," balasnya.
Aku mengangguk, "Perkenalkan, namaku Harun. Divisi 32C, aku anak baru disini."
"Ah, senang bertemu denganmu Harun. Namaku Karina, aku relawan medis yang bekerja diantara anak-anak. Yah, kau tau lah," Karina tersenyum.
Aku hanya mengangguk-angguk. Berada dekat dengan anak? Ohoho tentu saja tidak. Aku memilih menjauh. Tempramen diriku terlalu keras untuk mereka.
"Heh, dicariin malah ngegodain cewe," suara Asep membelah kebisingan dan membuatku sadar.
PLOKK!
Sebuah koran menghantam kepalaku, disertai tawa Asep. Anak-anak juga tertawa melihat tingkah konyolnya.
"Oh iya, kayanya kamu sudah kenalan sama dia. Karina, dia Harun, anak baru yang masih perlu belajar. Dia trauma, " Asep berkata dengan nada tenang.
Karina hanya tersenyum, "Menarik sekali, kalo boleh tahu, kayaknya saya familiar sama muka kamu, kamu mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia ya?"
Harun mengangguk seraya tertawa, "Yap, dan kalau gak salah kamu Karina dari jurusan Biomedis kan? Kok bisa sih anak ambis seperti dirimu terdampar di tend pengungsi seperti ini?"
Mulut Harun terkatup, rasanya pertanyaan tadi adalah hal bodoh yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
"Hahahaha, ikut aku aja!" Karina menarik lengan Harun.
Asep hanya memberi kode kode saja untuk menuruti permintaan Karina
--------------------------------------------------------
Gurun tandus terbentang luas di depan mata, dengan kilatan cahaya dari pantulan kendaraan yang melintas. Segelas teh barley dingin terhidang di meja kecil, lengkap dengan beberapa buku dan juga sebuah kamera
Tenda kecil ini memojok, Karina memilih untuk membuat tenda kerja nya cukup jauh dari tenda relawan lainnya. Sebuah hal yang cukup mengherankan
Harun membuka pembicaraan, "Uhmm... Ada apa kamu mengajakku ke tenda kerja kamu?"
Karina tersenyum simpul. Dirinya melangkah ke sebuah rak buku kecil dan mengambil sebuah buku. Harun hanya diam menatap tingkah laku Karina. Buku itu cukup tebal, dengan sampul berwarna biru.
Death in the breath of life.. judul buku yang sangat sering ku baca saat di Indonesia
"Kamu juga baca buku itu?" Harun bertanya.
"Iya, inilah inspirasi ku datang ke sini" Karina duduk tepat di samping Harun dan mulai membuka buku itu.
"Ayahku adalah seorang buruh pabrik, yang bekerja dalam paruh kerja yang menyedihkan. Ibuku mengalami cidera pada tulang belakangnya, membuat dirinya lumpuh dan tidak dapat bekerja," Karina memulai cerita.
"Pada saat itu, aku berumur tujuh belas tahun, dan aku sudah lulus dari bangku SMA dengan jalur akselerasi. Aku selalu bermimpi untuk kuliah, menjadi dokter, menyelamatkan nyawa seseorang, sampai semua mimpiku kandas. Ayahku mengalami kecelakaan kerja di pabrik nya, dan kecelakaan itu membuatnya kehilangan kedua matanya. Beliau begitu depresi, dan hal itulah yang menuntun dirinya menuju Sang Khalik."
Harun tergugu, ia masih tidak paham sepenuhnya mengapa Karina, yang tidak ia kenali sebelumnya, mau berbagi kisah masa lalu dirinya pada orang asing yang baru ia temui?
Karina menyeruput sedikit teh barley miliknya dan melanjutkan cerita, "Ibuku menyusul Ayah tak lama setelah beliau meninggal. Kondisi ekonomi ku sangatlah rumit, dengan semua tuntutan juga impian ku yang kandas, aku berfikir untuk bunuh diri. Malam setelah hari ke tiga puluh meninggalnya ibu, aku melompat ke sungai Mahakam."
"Tuhan begitu adil, nyawaku tidak Ia lepaskan begitu saja. Malam itu juga seseorang menarik diriku keluar dari aliran deras sungai Mahakam, dan memberi diriku pelukan hangat. Motivasi untuk tetap melangkah, walau kaki sudah patah dan jiwa sangat lelah," Karina menutup buku di genggaman tangannya.
"Jadi sebenarnya, apa intensi dari kamu menceritakan masa lalu ini?" Harun bertanya secara frontal.
Sunyi, langit mulai berubah warna jadi kebiruan. Lembayung senja mewarnai horizon di sekitarnya. Lampu tenda pengungsian di bawah bukit mulai menyala dan menunjukkan aktivitas penghuni nya... Adzan Maghrib perlahan menggema ke berbagai penjuru... Pemandangan yang unik
"Happiness for All Mankind. Apapun itu, kebahagiaan manusia adalah inspirasi ku untuk menjejakkan kakinya di Tanah Palestina. Aku merasa aku menemukan orang yang tepat untuk menceritakan semua masa lalu ku, meskipun aku baru pertama kali bertemu denganmu. Jadi, kita berteman kan?" Angin bertiup, menghembus jubah putih yang Karina gunakan.
Cahaya malam menerpa wajah teduh wanita itu, mengisyaratkan kedamaian akan apa yang sudah terjadi. Senyuman nya begitu dalam, seakan memiliki arti yang tak bisa diterjemahkan.
"Baiklah,kita berteman. Sebelumnya, saya pamit shalat Maghrib terlebih dahulu ya," Harun undur diri.
Karina menahan tangan Harun tepat ketika langkahnya mencapai mulut tenda.
"Terimakasih untuk semuanya..."
"Untuk apa?" Harun bingung.
Karina menjawab, "You're my Hero!"
_______________________________________
Holla, Good evening.
Maaf ya update nya lama, kemarin pemulihan dari depresi hehehehheMungkin ada ide sih, saya mau open donasi (Be a Patron) buat wujud support ke writer (Saya). Donasi ini akan saya gunakan untuk makan, mencari inspirasi, dan amal.
Donasi bersifat opsional, yang artinya anda tetap bisa membaca karya saya secara gratis tis tis tanpa keluar duid sepeserpun. Dan untuk yang menjadi Patron saya, mungkin akan saya beri sedikit kejutan.
Yah, mungkin begitu saja, terimakasih untuk reader! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Doc : Story of Medical Volunteer
Fiksi UmumKota Gaza, kini menyimpan jutaan kisah didalamnya. Legenda abadi yang tertelan bisu, lenyap bagaikan abu, tapi abadi bagai waktu. Desing peluru, darah, dan kematian menghiasi warna-warni seorang pelajar dari negara asing, yang penuh kenekatan menjej...