TUJUH

2.6K 385 166
                                    

Narsih memilih keluar dari ruang makan, ia berjalan menuju taman belakang, untuk mengangkat jemuran yang kemarin ia jemur. Sesekali melirik ke dalam ruang makan, sambil tersenyum licik. "Makan tuh iler gue," ledeknya sambil menahan tawa. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya dengan menyetrika pakaian yang ada di dalam keranjang. Entah berapa abad sang suami laknat tidak menyetrika pakaiannya. Tumpukan pakaian begitu banyak di dalam empat bak besar bewarna hitam.

Huk!
Huk!

Suara batuk-batuk wanita terdengar dari ruang makan. Narsih tersenyum sambil memainkan matanya, barisan gigi kuningnya ia perlihatkan pada tumpukan pakaian yang audah mengantre minta disetrika.

"Alhamdulillah," gumamnya, lalu melanjutkan aktifitas main mobil-mobilan.

Huk!
Huk!

Kini suara batuk Devano yang terdengar nyaring, bahkan kini keduanya saling batuk bersahutan.

"Emang enak, kena corona, ha ha ha hi hi hi," Narsih tertawa geli menutup mulutnya.

"Giyem! Huk...huk..." teriak Devano memanggil Narsih. Dengan malas, Narsih menekan tombol pause pada setrikaannya, lalu berjalan masuk ke dalam ruang makan. Dua orang di sana masih saja terbatuk-batuk, bahkan wajah Jelita memerah karena mungkin tenggorokannya sangatlah gatal.

"Ada apa, Paduka?" tanya Narsih sambil membungkukkan tubuhnya. Jika Devano memanggilnya Giyem, maka panggilan Devano juga akan dia ganti.

"Ck, panggilan apa itu Paduka? Ngaco aja! Sana, buatkan kecap dan jeruk nipis untuk kami minum!" titah Devano pada Narsih.

"Kecap tidak ada Paduka, jeruk nipis sudah kisut di dalam kulkas. Paduka yang Mulia sudah satu bulan tidak belanja ke supermarket. Saya saja makan cuma pakai nasi dan telur," terang Narsih dengan mimik muka dibuat semelas mungkin. Maksud hati agar wanita yang kini tengah di rangkul pundaknya oleh Devano itu, ilfeel. Tetapi wanita itu malah kini berwajah sumringah.

"Ayo, kita belanja saja, Sayang," ucap Jelita mendayu-dayu.

"Tapi aku ada meeting jam sembilan, tidak bisa. Kamu saja yang belanja ya. Beli apa saja yang kamu inginkan," ujar Vano sambil mengeluarkan kartu sakti dari dalam dompetnya.

"Terimakasih, Sayang. Aku boleh beli tas juga ga? Ada keluaran baru dari produk ZARA," rengek Jelita pada Devano.

"Tentu boleh, Sayang. Kartu ini unlimited. Sekalian cari juga gaun untuk pernikahan kita ya," ujar Devano sambil melirik Narsih sekilas.

Pemandangan yang membuat Narsih miris. Sekuat tenaga ia menahan air mata agar tidak tumpah. Dia istri, minum saja masih dengan air mentah. Ini, wanita jadi-jadian malah disuruh belanja, membeli baju pernikahan pula. Narsih menggeram dalam hati. Ia lebih memilih kembali ke ruang belakang, sambil sesekali menghapus air matanya. Mulai saat ini, detik ini, ia tidak akan berharap apapun dari pernikahan gila ini. Anggap saja ia memang hanya sebagai pembantu di rumah keluarga Vano.

"Giyem, tolong pijatkan kaki saya! Kok pegal banget." Jelita memanggil Narsih agar mau memijatnya. Narsih menggigit gemas sempak Devano, sebelum akhirnya dia melemparkan kasar celana dalam itu ke atas meja setrika.

"Iya, Mbak. Sebentar," sahut Narsih, lalu berjalan ke arah ruang televisi. Sudah ada Jelita sang calon nyonya yang tengah berbaring di sofa sambil membaca majalah. Mata Narsih mencari di mana kiranya keberadaan Vano, namun tidak ia temukan sama sekali tanda kehidupan Vano di dalam rumah.

"Majikan kamu sudah berangkat. Ayo sini, tolong pijat kaki saya!" titah Jelita.

"Saya tenaganya kuat, Mbak. Nanti Mbak tidak kesakitan?"

"Mulai hari ini, belajar panggil saya Nyonya, ya. Karena mungkin dua pekan lagi, saya akan menjadi nyonya rumah ini," ujar Jelita penuh percaya diri. Narsih kembali merasakan perih di dalam hatiya, namun senyuman tetap ia berikan pada sang wanita yang terlalu percaya diri di depannya ini.

Istri tanpa SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang