Part 1

527 64 8
                                    

"NII-CHAN!"

Gebrakan keras sukses mengagetkan Ichiro yang tengah bersenandung pelan sambil mencuci piring. Ia menoleh pada salah satu adiknya yang sudah berdiri tak jauh di belakangnya.

Di sana, Jiro berdiri, masih dengan seragam lengkap beserta tas dan perlengkapan sekolah lainnya. Wajahnya berseri-seri, membuat Ichiro mengernyit bingung.

Jiro tak lagi menghiraukan keringat yang mengalir dari pelipisnya. Ia hanya fokus untuk memberitahu berita yang menurutnya harus segera disampaikan pada sang kakak. Sebenarnya tadi ia berpapasan dengan Saburo yang juga baru sampai pintu depan, namun Jiro lebih dulu menerobos masuk dan berlari menuju dapur.

Setiap hari, Ichiro memiliki kebiasaan mencuci piring pada jam pulang sekolah Jiro dan Saburo. Setelah itu ia akan melanjutkannya dengan menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga. Oleh karena itu, Jiro langsung menuju dapur karena tahu Ichiro ada disana.

"Ada apa, Jiro?" Tanya Ichiro, belum mengubah ekspresinya. Keseharian Jiro sepulang sekolah adalah membanting diri ke sofa ruang tengah dan mulai mengeluh tentang guru-guru yang terus memberinya PR tanpa jeda. Maka sikap Jiro kali ini menarik perhatian Ichiro, ia menuntut penjelasan lewat ekspresi bingungnya.

"Nii-chan tahu akan ada festival musim panas di dekat sini, kan?" Jiro berlari kecil mendekati Ichiro yang sedang mencuci tangan, hendak menyudahi kegiatan mencuci piringnya. Beruntung piring terakhir yang dipegang Ichiro tidak melesat jatuh dari genggamannya tadi.

"Iya? Ada apa dengan itu?"

Menampakkan senyum yang paling lebar, Jiro menjawab seraya menunjuk dirinya sendiri. "Aku mengajukan diri sebagai volunteer dan akan ada di rumah hantu!"

Belum sempat Ichiro berkomentar, sebuah tawa terdengar menggelegar dari arah pintu. Saburo baru saja masuk ke dapur, niatnya hanya ingin mengambil segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Tetapi begitu sampai dapur, ia justru mendengar ucapan kakak keduanya.

Sangat bodoh. Itulah hal pertama yang terbesit di pikiran Saburo mengenai Jiro.

"Kau? Jadi hantu? Yang benar saja!" kata Saburo, kemudian meneruskan tawanya. "Bahkan semua orang tahu hantu yang asli memiliki paras jauh lebih baik dari wajahmu!"

"Diam kau anak setan," Jiro mencibir. Tak bisakah Saburo membiarkannya bahagia barang sekali saja? Terkadang ia merasa perlu memasang resleting di mulut Saburo agar mulut sang adik dapat ditutup dan dikunci di saat-saat seperti ini.

"Serius, Jiro, aku sarankan kau ganti peran jadi salah satu properti di rumah hantu itu saja."

"Kapan aku diizinkan untuk mencoret namamu dari kartu keluarga?"

Ichiro memijit keningnya. Kedua adiknya tidak pernah bisa akur. Lelah juga mengatur mereka berdua agar akur dengan satu sama lain.

"Sudah, sudah," Ichiro akhirnya angkat suara tepat ketika adik-adiknya hampir baku hantam. Ia menjauhkan kedua adiknya dari satu sama lain guna menghindari perpecahan keluarga.

"Nii-chan, hukum Saburo!"

"Tidak boleh begitu, Jiro," nasehat Ichiro sambil menjitak pelan kepala Jiro.

Jiro cemberut. Merasa tidak didukung, padahal sudah jelas Saburo yang salah.

"Maaf, nii-chan."

Saburo menertawakan Jiro. Kebalikan dari Jiro, Saburo merasa menang. "Benar kan, Ichi-nii? Wajah Jiro tidak pantas jadi hantu. Lebih baik jadi pohon atau batu saja."

"Saburo, sudah berapa kali kubilang, filter kata-katamu pada Jiro. Kau seharusnya tahu bagaimana cara yang baik untuk berbicara pada kakakmu." Ichiro juga menjitak kepala Saburo. Sulit sekali mengajari Saburo untuk menghormati Jiro. Sudah berulang kali Saburo dimarahi, namun kebiasaannya belum hilang juga.

Rumah HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang