Piala Berwarna Merah

76 2 0
                                    

Namaku Raihan, nama yang sering disebut-sebut sebagai anak tidak berguna oleh ayah kandungku sendiri. Gemerlap malam sangat indah dengan taburan ribuan bintang yang tertempel di langit, merasakan hembusan angin sangat sejuk di atas apartemen yang sedang aku kunjungi sendirian dan melihat kendaraan lalu lalang dari atas sini.
Orang-orang sibuk dengan urusannya, suasana di bawah apartemen sangat ramai tetapi tidak dengan aku.

Biarkan aku mecoba menenangkan diriku atas kejadian tadi siang. Umurku 17 tahun, tadi siang adalah hari kelulusan sekolahku. Aku mendapat juara terbaik, tetapi pada nomor dua. Ayah tidak suka, ayah marah. Ia ingin aku seperti kakak laki-lakiku yang tak pernah absen di urutan satu. Ia berkata aku harus menjadi seperti kakakku, seseorang yang selalu unggul dalam hal apa pun.

Aku tersenyum miris, mengingat kembali perkataan ayahku tadi siang bahwa aku tidak usah hidup saja jika tidak menjadi peringkat pertama, ia tidak akan membiayai kehidupanku lagi jika aku tidak masuk perguruan tinggi unggulan sesuai dengan keinginan ayahku, tanpa bertanya apa yang aku inginkan.

"Aww." Aku refleks mengangkat tanganku dan melihat masih ada tanda biru di sana. Aku menggigit bibirku untuk menahan sakit. Membiarkan pukulan ayahku kali ini tidak aku obati, agar ayah senang aku menuruti perkataannya; mengharapkan aku mati.
Tiba-tiba ponsel yang berada di saku celanaku berdering dan membuyarkan lamunanku. Aku lihat di sana ada nama Gilang, sahabatku.

"Halo-"

"Rai, lagi di mana? Di tempat rahasia? Kok enggak bilang-bilang, sih? Lo enggak kenapa-kenapa, 'kan?" Ucapanku terpotong oleh Gilang yang terburu-buru dengan ucapannya. Menandakan ia khawatir padaku.

Aku tidak pernah menceritakan bagaimana kondisi keluargaku padanya, tetapi ia mengetahui sendiri karena sering tidak sengaja melihat aku sedang dipukuli ayah di rumah. Aku tidak perlu khawatir tentang privasi keluargaku yang diketahui olehnya karena ia seorang penjaga rahasia yang baik.

"Hehehe, iya nih, Lang. Kenapa?" Tempat rahasia adalah apartemen yang diam-diam aku beli empat bulan lalu dengan uangku sendiri untuk mencari ketenangan. Aku membeli apartemen kecil ini dari uang juara-juara olimpiade yang nominalnya tidak sedikit dan juara lomba-lomba lainnya, aku juga suka mengirim tulisan-tulisanku ke beberapa penerbit, serta menghemat uang jajan bulananku dari ayah untuk ditabung. Namun, ayah tidak tahu. Ayah jarang pulang ke rumah dengan alasan sibuk di kantor kerjanya. Aku tahu, ia masih berduka atas kepergian ibu satu tahun yang lalu.

"Raihan! Gue ngomong didengerin enggak, sih?!" lagi-lagi, aku dikagetkan dengan suara Gilang. "Ah, ya. Sorry Lang tadi gue enggak fokus. Tadi kenapa?" Aku mencoba memfokuskan kembali apa yang akan Gilang bicarakan. Terdengar Gilang menghela napas panjang, aku tidak mengerti mengapa ia masih mau berteman denganku yang tidak pandai bergaul dan tidak asik seperti ini. Aku cukup tertutup di kalangan teman-teman sekolah. Namun, aku cukup dikenali karena sering mengikuti olimpiade.

"Lo ke tempat biasa deh, gue lagi di sini habis main sama temen yang lain tapi udah pulang semua. Malam ini, lo enggak boleh sendirian. Cepat, ya. Gue tunggu."
Aku mengangguk walau tahu bahwa Gilang tidak bisa melihatku. Aku bergegas turun dan menuju tempat motorku, langsung tahu yang dimaksud Gilang adalah kafe depan sekolah yang tak pernah sepi dikunjungi oleh teman-teman sekolahku. Tempatnya sangat nyaman dan harganya sesuai kantong pelajar.

Tak terasa sudah jam sebelas malam aku mengobrol bersama Gilang. Ia memang sangat tahu bagaimana cara menghiburku dengan cara lain, ia seakan-akan tidak peduli dengan memar di dahi dan lenganku. Aku tahu, ia tidak pernah bertanya-tanya tentang ini karena ia tahu aku tidak suka. Bagaimanapun, ia tetap ayahku. Orang tua kandungku satu-satunya yang 'ku punya saat ini.

"Gimana hasil tes ujian kuliah lo, Rai?" Pertanyaan spontan dari Gilang membuatku tersenyum sumringah. Hari ini, baru Gilang yang bertanya tentang kelulusanku di perguruan tinggi.

Jendera Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang