Chapter 1B

7.1K 473 2
                                    

Link Karyakarsa 👇https://karyakarsa.com/Annmisst

Nara menatap luar dari kaca bandara lantai atas, hujan membasahi bumi malam begitu apinya. Dia dan ketiga temannya duduk samapi nasib menunggu di gerbang keberangkatan. Pemikiran orang normal jika pesawat delay berjam-jam, check in lah hotel untuk istirahat, atau tiduran di mushola bandara, bukan malah leyeh-leyeh mati kebosanan di sana. Karena mereka memang kurang normal, dari pada uangnya berkurang sedikit untuk patungan booking penginapan dan istirahat justru memilih menghargai Ela.

Katanya, satu terkena musibah semua harus rasa.

Bagaimana tidak, saat Nara, Yona, dan Dea sholat tadi, Ela yang bertugas menjaga barang-barang justru ketoilet. Dan bodohnya, barang berharaga seperti tas berisi dompet, ponsel, dan lain-lain milik temannya yang dibawa, milik Ela sendiri malah ditinggal. Ya, sudah alamat riwayatnya.

Tanpa terasa cuaca dingin ini membuat perut Nara keroncongan. “Gue mau beli pop mie, ikut nggak?” Nara bertanya sambil mengusap-usap perut.

“Lo udah laper lagi?” Nara mengangguk, Dea mengerti teman-temannya memang perut karet. Baru saja makan sudah lapar lagi.

“Iya ih, ujan-ujan gini gue laper mulu. Mana nggak bisa tidur,” celetuk Yona sambil berdiri sambil memoletkan tubuhnya. Tidak tahu malu memang.

Ela menatap sendu teman-temannya, melempar wajah melas lalu berujar, “Gue juga…,”

Mendengar cicitan Ela tentu membuat mereka iba, jadi Nara mengajukan diri. “Tenang-tenang, lo mau makan apa, La? Gue beliin, asal jan mahal-mahal,” kata Nara. Pasalnya di bandara itu pop mie yang harganya lima ribu saja bisa menjadi sepuluh sampai dua puluh ribu, jika di bandara maupun di pesawat.

“Nara cantik deh, gue mau pop mie juga … sama roti O,” katanya membuat Nara dan Yona mendengus.

Bukannya tidak mau membelikan teman, tapi roti khas bandara satu itu sangat ramai. Malas mengantre.

“Yaudahlah, timbang nangis tu bocil,” sahut Yona. Pada akhirnya Nara menghela nafas dan mengangguk.

Mengantuk, capek, hanya makanan yang anget-anget sebagai obatnya. Mau tiduran pun di mana? Lantai? Kursi yang penuh itu? Oh, terima kasih banyak kalau begitu.

Nara jalan beriringan bersama Yona, ikuti ke mana langkahnya membawa. Sebab, keduanya baru tahu ketika tengah malam toko makanan di bandara juga banyak yang tutup. Sejauh ini, bagi Nara dan Yona yang biasa terbang di siang hari baru tahu hal itu sekarang.

Tapi untungnya, masih ada kantin yang buka. Namun nahas bagi keduanya harus menahan rasa malu melewati barisan laki-laki yang sepertinya sedang makan atau nongkrong di sana.

Ada sekitar lima lelaki dewasa di sana yang memakai sepatu kets tetapi ada juga yang memakai sepatu boot. Semuanya tampak membawa jaket, dua di antaranya hanya di sampirkan di atas ransel sebelah tempat duduk, dan yang tiga dipakai.

Tampak gagah, dengan tubuhnya yang terbentuk. Hal itu membuat rasa sungkan plus malu Nara dan Yona melunjak drastis. Siapa yang tidak bernapas cepat jika melihat model laki-laki seperti itu.

“Gue yang kiri,” bisik Yona.

“Mimpi,” balas Nara.

“Semua bisa, di awal mimpi. Gue sholawatin sekarang.” Lalu Yona benar-benar membaca sholawat, sedang Nara menahan tawa. Ada-ada saja.

“Tapi boleh juga tuh, yang pake boot,” kata Nara membuat Yona mencibir.

“Gue bilang juga apa. Nggak sia-sia laper jam segini.”

Yona dan Nara sama-sama tertawa. Nara kemudian membalas, “Lo duluan Yon, gue sungkan mau lewat.”

"Hem," sinis Yona. “Giliran gini gue disuruh maju duluan.”

Nara mendorong pelan pundak Yona, “Udah ah, lo kan yang nggak punya malu.”

“Kampret sekali anda yaaa.”

Nara tertawa. Ya, mau bagaimana karena memang Yona itu tidak bisa dianggap punya malu. Kalau pun malu itu terjadi setahun sekali atau tepat saat bertemu Pak Aldo saja.

Tidak terasa Nara dan Yona sudah berdiri di depan kantin, dengan ibu-ibu menghampiri lalu bertanya 'mau makan apa, Ka?' dan Yona langsung memesan sesuai apa yang mereka cari tadi. Tapi, sebelum itu Yona meminta ibu kantin membuatkan teh hangat dan gorengan di piring.

Tanpa persetujuan Nara, Yona duduk di sebelah meja sekelompok laki-laki dewasa tadi. Dalam hati Nara benar-benar memaki Yona, katanya malu tapi cari perhatian, matanya melirik-lirik. Mau tak mau Nara akhirnya ikut duduk di sana, gorengan datang begitu juga minumnya.

“Bu, mienya yang dua di seduh sekarang aja, yang dua nanti pas kami selesai,” ujar Nara begitu si ibu hendak berbalik, sudah teranjur batinnya.

“Lah, nanti Ela sama Dea gimane? Elo ah, orang enak makan sama-sama, entar kita cuma gigit jari,” sahut Yona.

“Nanggung, Yon. Kalo makan disini ya sekalian, kalo dibungkus sekalian jajannya dibungkus.” Nara mendengus, “keburu kenyang maka gorengan Yon, mubazir mienya,” lanjut Nara.

Yona mengerucut. “Iya, deh, Bu. Maaf ya, teman saya emang plin-plan,” kata Yona seenaknya.

“Enggak, Bu, dia yang labil,” balas Nara menggerutu.

Si ibu tertawa pelan. “Ndak papa ki, orang kalau sudah lapar itu ndak bisa ditahan.”

Nara mengulum senyum manis, ada yang membela. Setelah ibunya pergi Nara memelet jahil, lalu menyeruput teh hangatnya kemudian memakan bakwan jagung yang dipesan tadi.

Karena Nara tidak bisa diam, semua anggota tubuhnya ketika duduk bergerak. Entah itu jari kaki, tangan, atau bahkan mengangguk-anggukan kepala tanpa adanya musik. Nara mengedarkan pandang mencari pemandangan yang bisa dia mati. Namun, justru yang menyangkut malah kelima laki-laki yang sialnya seperti tengah bergosip, menggosipi dirinya dan Yona. Berbeda dengan empat temannya, satu laki-laki bersepatu boot tiba-tiba mengangkat pandangan dari ponsel dan tatapan keduanya bertubrukan.

Dari awal laki-laki itu cukup menarik perhatian Nara sehingga tanpa sadar Nara mengamati terus. Mungkin laki-laki bersepatu boot itu merasa kurang nyaman dan ketika mengangkat pandang seperti tadi, dia agak syok ternyata ada makhluk sejenis Nara terang-terang tengah mengamatinya. Nara sendiri tidak bisa, tidak mengakui wajahnya tampan berkharisma, siapa yang mampu mengalahkan? Tidak ada.

Termasuk dirinya.

Satu menit terewati …

Tiba-tiba Nara tersadar, dia sudah terciduk tengah mengamati laki-laki sepatu boot itu, buru-buru Nara mengalihkan pandangan dan berdeham. Dia sontak mengajak Yona bicara dengan Yona yang linglung tidak paham apa yang Nara katakan.

“Tadi headset gue di mana ya, Yon.” Salah satu caranya, mencari headset di seluruh saku pakaiannya, matanya melirik ke belakang memastikan laki-laki itu tidak melihatnya. Nahasanya, laki-laki itu justru tersenyum geli sambil mengernyit dahi.

Nara kembali berdeham. “Kok nggak ada ya, Yon?”

Dengan bodohnya Yona ikut mencari sampai ke bawah-bawah kolong meja, dan ketika merasa ada yang aneh, Yona buru-buru menegak dan menyeletuk, “Bukannya lo nggak bawa apa-apa ke sini? Boro-boro headset, hape aja nggak lo bawa, kan?”

Lah? Nara malu setengah mati.

Mahasiswa, Abdi Negara (#RR2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang