satu

28 1 0
                                    

Marsha

Gue bersenandung pelan, menyuarakan dengan hati-hati lantunan lagu yang kini gue dengar melalui earphone yang tersumpal di kedua telinga. Tangan kanan gue menggerakkan pensil perlahan, menyusuri tiap inci kertas di buku sketsa gue.

Tidak seperti siswa-siswa lainnya di Atmajaya, gue lebih memilih menghabiskan mata pelajaran kosong di perpustakaan alih-alih kantin. Syena, sahabat perempuan gue, juga begitu. Satu jam yang lalu, dia protes dengan wajahnya yang galak itu, berkata bahwa gue nggak seru karena gue lebih menikmati kesendirian gue di ruangan yang penghuninya hanya tiga orang ini dibanding harus membeli makanan ringan di kantin bersamanya.

Memang selalu begitu. Gue lebih suka kesunyian daripada keramaian. Kayaknya bisa terhitung jari berapa kali gue makan di kantin dalam seminggu. Daripada makan di salah satu meja di kantin, gue biasanya lebih memilih untuk membungkus makanan gue dan memakannya di kelas. Nggak lupa juga untuk menyeret Syena agar dia ikut bareng gue.

Sebentar lagi memasuki waktu istirahat, kira-kira sepuluh menit lagi, gue tahu betul karena gue baru saja melirik jam tangan di pergelangan kiri gue. Tidak lama setelah itu, sesuatu terasa menyenggol kaki gue lumayan keras.

Refleks, gue menaruh pensil di atas buku sketsa gue dan melepas salah satu earpiece di telinga. Gue memundurkan kursi untuk melihat ke arah bawah meja. Ingin tahu apa yang barusan menyenggol kaki gue.

Setelah tahu, gue langsung melotot. Berteriak kencang, "HEH! SIAPA LO? NGAPAIN LO DI SINI?"

Seorang laki-laki berambut cukup panjang sedang nyengir dan menatap gue. Posisinya dalah berjongkok sementara kedua tangannya terangkat, seolah-olah ia menyiratkan tanda menyerah.

"LO NGINTIPIN GUE YA?!"

Iya, gue emang suudzon banget orangnya. Lagian, manusia waras mana yang sebentar lagi masuk ke waktu istirahat malah jongkok di bawah meja perpustakaan?!

"EH, ENGGAK!"

"Sssst!" Semua penghuni perpustakaan sekaligus ibu penjaga perpustakaan melotot ke arah gue dan laki-laki itu.

Laki-laki itu lantas berdiri dan menepuk-nepuk bagian belakang celananya. Ia menatap gue dengan tatapan bersalah. "Sumpah, gue nggak ada niatan sama sekali buat ngintipin lo!"

"Ya terus lo ngapain di bawah situ?! Gila lo ya?!"

"Gue lagi ngumpet!"

"Ngawur! Mana ada orang main petak umpet malah ngumpet di perpustakaan! Kebetulan banget lagi ngumpetnya di bawah gue!"

"SUMPAH! NGGAK GITU!"

"HEI, KALIAN! Bisa diam nggak?! Di luar aja kalau mau teriak-teriakan." Ibu perpustakaan kemudian menghampiri gue dan laki-laki kurang ajar itu. Lantas gue berdecak kesal, meninggalkan ruangan yang merupakan tempat ternyaman gue sembari membawa buku sketsa, pensil, earphone, dan ponsel gue. Laki-laki itu melangkah ke luar perpustakaan setelah gue.

"Eh, tunggu!" Laki-laki itu berteriak lagi. Padahal gue kira langkah gue sudah cukup besar dan cepat buat nggak diikuti olehnya. Karena gue masih kesal, gue nggak menghiraukannya. Gue tetap berjalan cepat menuju kelas gue.

Tiba-tiba, dia lompat ke hadapan gue. Kedua tangannya ia lebarkan, sepertinya agar gue nggak bisa menghindarinya.

"Apaan sih?"

"Gue mau minta maaf. Gue tadi lagi dikejar-kejar guru—"

"GUINENDRA HARRIS!" Dari jauh, gue mendengar teriakan itu. Guru Bimbingan Konseling lagi-lagi sedang patroli keliling kelas untuk merazia potongan rambut para siswa. Terlihat dari gunting yang berada di genggamannya.

Gue mengalihkan pandangan ke kiri, baru sadar bahwa laki-laki pengintip itu mendadak menghilang. Gue menoleh kanan-kiri. Ajaib. Laki-laki itu tidak meninggalkan jejak sama sekali.

Gue masih di posisi yang sama saat Pak Ilham menghampiri dan menyapa gue. "Marsha, lihat anak kelas satu sekitar lorong ini nggak ya?"

"Siapa ya, pak?"

"Namanya Harris, kelas X IPS 2. Rambutnya gondrong, ini bapak udah siap-siap buat gunting rambutnya sampai pitak. Udah 5x bapak kejar-kejaran sama dia bulan ini, anaknya bandel banget! Mana larinya cepet, bapak capek banget ini, Sha."

Gue cuma nyengir mendengar keluhan Pak Ilham. Kayaknya Harris yang dimaksud Pak Ilham adalah orang yang ngintipin gue tadi. Kalau hal itu benar adanya, berarti orang itu tidak bercanda saat dia bilang dia sedang bersembunyi dari guru yang sedang mengejarnya.

Gue sebenarnya tidak mau ikut campur atas urusan Pak Ilham dan laki-laki itu. Tapi gue rasa gue akan menjadi orang yang jahat kalau gue bilang gue baru saja berbicara dengan siswa yang dicari beliau. Maka, gue putuskan untuk menjadi kambing tuli sekali ini saja.

"Maaf, pak. Saya nggak tahu sama sekali. Mungkin bapak bisa cari di kantin?" 

Haduh, kenapa gue sok-sok nyaranin Pak Ilham buat nyari di wilayah yang jauh dari sini ya? Gue nggak niat buat ngebantu si pengintip itu, serius deh. Kebetulan aja kata-kata itu terlintas di otak gue.

"Oh gitu ya, Marsha. Makasih banyak ya, nak. Bapak mau ke kantin dulu."

Gue cuma mengangguk sembari melihat punggung Pak Ilham yang menjauhi gue dan berbelok menuju kantin.

Baru saja gue mau meneruskan langkah menuju kelas gue, sebuah helaan napas terdengar. Sebuah tangan hinggap di bahu gue tiba-tiba. Disusul dengan ucapan, "makasih banyak ya! Lo nyelametin gue banget!"

Gue lantas menepis tangan laki-laki yang mendadak muncul entah darimana itu. "Apaan sih, nggak usah megang-megang."

"Pokoknya, makasih ya! Gue janji gue bakal bales rasa terima kasih gue ini ke lo. See you!" Ucapnya, penuh percaya diri. Belum juga gue melontarkan sepatah kata, dia sudah berlari menuju lapangan sekolah di arah yang berlawanan dari kantin. Bener, sih, yang diucapkan Pak Ilham. Larinya kayak orang kesurupan, cepet banget.

Gue cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala. 

Ada aja sih orang kayak gitu. Masih kelas satu hobinya udah bikin ulah.

the optionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang