Marsha
"MARSHA!"
Baru saja kaki gue menapak di kantin, suara familiar langsung mampir di telinga. Gue lantas menoleh ke arah kanan, mencari-cari di mana si sumber suara berada. Buku sketsa, earphone, dan pensil gue sudah gue simpan di kolong meja di kelas. Tadinya, gue cuma mau menghabiskan waktu istirahat pertama di kelas aja, tapi Syena bawel banget. Berkali-kali meneror ponsel gue dengan belasan notifikasi, menyuruh gue untuk menyusulnya ke kantin.
Kedua mata gue akhirnya menangkap sosok perempuan berambut pendek yang seragamnya selalu ia gulung lagi dua kali. Gue berjalan menghampirinya. "Hai," gue menyapa Syena dan juga sosok laki-laki di sebelahnya yang sibuk menyuapkan mie ayam ke mulutnya. Gue duduk di kursi yang berhadapan dengan mereka.
"Kemana aja sih lo? Nih, Bian daritadi nyariin!" Syena mulai mengoceh, menyenggol laki-laki di sebelahnya. Sabian, nama laki-laki itu, adalah sahabat gue dan Syena sejak SD. Walaupun Sabian lebih tua satu tahun dari gue dan Syena, tingkah lakunya sama sekali nggak menyiratkan bahwa ia adalah yang tertua di pertemanan kecil kami ini. Justru di antara kami bertiga, Sabianlah yang paling susah mengontrol emosi.
"Gue 'kan udah bilang, gue lagi asik di perpustakaan tadi."
Bian mendongak. "Gambar?"
Gue mengangguk. Tangan gue kemudian mencomot kripik milik Syena.
Kedua tangan Bian kemudian terlipat di atas meja. "Gambar anak perempuan itu lagi?"
Gue lagi-lagi mengangguk. Anak perempuan yang dimaksud Bian adalah sosok yang paling sering gue buat sketsa wajahnya. Rambutnya pendek dan berponi, hidungnya mancung, dan terdapat dua lesung di kedua pipinya. Gue sebenarnya nggak tahu banyak tentang siapa anak perempuan itu. Gue hanya pernah bertemu dengan dia satu kali di taman dekat kedai kopi langganan gue saat SMP. Dia waktu itu tampak tersesat. Makanya, gue ajak dia ngobrol. Umurnya 6 tahun, tapi dia sudah cukup pintar untuk menjawab tiap pertanyaan yang gue lontarkan. Walaupun nggak terlalu banyak hal yang kita bicarakan, satu hal yang membuat gue selalu ingat anak itu adalah kalimatnya yang berbunyi, "Kak, aku mau nyusulin Mama ke surga kalau boleh. Katanya, surga itu indah. Kakak mau ikut aku nggak?"
Saat itu gue cuma bisa diam aja. Sebagai anak sematawayang yang memiliki orangtua lengkap dan harmonis, gue nggak nyangka bisa mendengar ucapan semenyakitkan itu dari seorang anak berumur 6 tahun. Gue menggeleng sebagai tanggapan atas ucapannya. Kemudian gue memeluknya erat. Dia heran saat itu, lalu tersenyum ke gue. Ia kemudian pamit, katanya rumahnya dekat sini, bisa dimarahi ayahnya jika pulang melebihi pukul enam sore. Gue mengangguk. Sejak itu, menggambar wajahnya sudah seperti rutinitas mingguan gue. Entah kenapa, kalau bisa, gue mau ketemu dia lagi.
"Marsha!"
Gue mengerjap. Mendongak dan menatap balik dua pasang mata yang seperti sudah siap mengutuk gue. Baru sadar bahwa gue tadi melamun.
"Apa sih?"
"Gue ngomong daritadi, loh. Malah dicuekin." Syena memajukan bibirnya.
Sementara Bian menggeleng sementara gue nyengir, ngerasa bersalah. Bian menyenggol tangan gue tiba-tiba. "Ohiya, Sha, nanti lo pulang sendiri nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, Bi. Lo mau ngapain dulu emang?"
Bian meminum es teh manisnya. "Gue mau ada latihan sama anak-anak. Mendadak, disuruh Pak Zaid, katanya bakal ada pertandingan sebulan lagi."
Syena refleks menoleh ke Bian. "Sumpah, Bi? Kok tumben Pak Zaid nyuruh latihan gitu? Jangan-jangan dia juga ikut ngelatih buat latihan nanti sore?"
"Nggak tahu, sih." Bian mengangkat bahu. "Gue juga heran kenapa guru pembina kita tersayang itu ngumumin pertandingan mendadak banget. Biasanya dua bulan sebelumnya gue udah dikasih tau."
Gue mengangguk-angguk. Dua orang sahabat gue itu masuk ke tim karate Atmajaya, sementara gue enggak. Jadi gue cuma bisa jadi pendengar kalau mereka sudah bahas tentang ekstrakulikuler mereka itu.
Nggak lama setelah itu, bel masuk terdengar. Gue dan Syena yang kebetulan satu kelas berjalan menuju XI IPA 1. Sementara Bian berjalan ke arah berlawanan, menuju lorong kelas dua belas. Namun sebelum kami berpisah, Bian menepuk pundak gue sekali. "Hati-hati lo pulangnya, kalo udah di rumah jangan lupa kabarin ke grup. Kalau ada apa-apa langsung telepon!"
Gue menjawab, "iya, bawel!" Lalu menyusul Syena menuju kelas.
Sabian memang begitu sejak dulu. Dia sosok yang paling khawatir kalau gue dan Syena belum sampai rumah pukul 7 malam. Yang paling galak kalau ada laki-laki yang berusaha mendekati kami. Yang maju duluan jika ada orang asing yang ingin meminta nomor handphone kami. Syena sering protes, karena katanya, Bian berlebihan. Syena bilang dia bisa jaga diri sendiri. Gue juga sering ngomel, karena entah kenapa, dibandingkan Syena, gue rasa Sabian terlalu memperlakukan gue sebagai anak kecil yang kemana-mana harus dilindungi olehnya. Contohnya aja tadi. Syena yang kemana-mana selalu sendiri aja nggak pernah disuruh kasih kabar kalau sudah tiba di rumah. Kenapa gue harus kasih kabar? Apa karena sehari-harinya gue selalu berangkat dan pulang bareng Bian? Tapi itu juga karena rumah gue dan Bian berdekatan, bukan berarti gue nggak bisa pulang sendiri 'kan.
Entahlah, Sabian yang memang berlebihan, atau perasaan gue aja?
KAMU SEDANG MEMBACA
the option
Fanfictionaku dihadapkan pada dua pilihan. namun inginku ialah membuat opsi baru, dengan tidak memilih keduanya.