Chapter 3

54 12 2
                                    

CHAIR'S

Sai memarkirkan motornya di garasi rumahnya. Setelah sebelumnya ia mengambil motornya di bengkel diantar oleh Naruto.

Ia masuk kedalam rumahnya yang terlihat sepi, lampunya pun belum dinyalakan, padahal hari sudah mulai gelap. Ia mencari saklar lampu dan menyalakannya. Tidak ada yang berbeda, masih seperti biasanya. Sepi, tidak ada siapapun selain dirinya disini.

Ia berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri. Didalam kamarnya, dipenuhi oleh lukisan-lukisan yang pernah dibuatnya. Ia memang suka melukis jika ada waktu senggang, ia juga menjual sebagian lukisannya.

Diantara sekian banyak lukisan disana adu dua lukisan yang paling istimewa baginya. Yaitu, lukisan ia bersama ketiga sahabatnya dan satunya lukisan wajah ibunya.

Ia memandang kedua lukisan itu sebentar lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah lengket karena keringat.

Tak lama Sai keluar dengan baju santai rumahan, ia merebahkan diri di kasur empuk miliknya, menatap langit-langit kamarnya. Ia memejamkan matanya, mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.

Baru saja ia akan terlelap, sebuah suara membuatnya tersadar lagi. Suara itu seperti benda yang jatuh dari tempatnya.

Prangg

Suara pecahan kaca terdengar kali ini. Sai bangkit dari tidurnya, bergegas keluar kamar. Dia melihat ayahnya duduk dilantai bersender pada sofa yang ada diruang tengah, dalam keadaan mabuk. Ditangannya terdapat botol alkohol yang sudah pecah, pecahan botol itu berserakan dilantai.

Sai menghampiri ayahnya yang sedang meracau tidak jelas karena mabuk berat, penampilannya acak-acakan. Sai membuang botol yang ada ditangan ayahnya.

"Berikan aku sake lagi! "

"Siapa kau?! Anak bodoh. Apa yang kau lakukan? "

"Dimana istriku?! "

"Hahahaha! Dimana dia? "

Sai menghela nafas, ia merangkul ayahnya, membawanya menuju kamar. Sampai dikamar, Sai meletakkan tubuh ayahnya di kasur. Ia lalu keluar menuju kamarnya.

Sesampainya dikamar, Sai mengunci pintu kamarnya. Berjalan mendekati tempat lukisannya dipajang.

Sai memandangi lukisan ibunya sendu. Meraba lembut lukisan itu. "Ibu... " lirih nya.

Ia sangat merindukan ibunya, sosok penting dalam hidupnya yang kini telah tiada di dunia. Ibunya meninggal dua tahun yang lalu karena penyakit yang dideritanya, semenjak itu ayahnya sering pulang dengan keadaan mabuk.

Ayahnya juga sudah berhenti bekerja, oleh sebab itu ia menjual lukisannya untuk membayar uang sekolah, serta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dan juga ayahnya yang selalu menghabiskan uang untuk membeli alkohol, membuatnya harus diam-diam menyimpan sebagian uangnya untuk ditabung. Uang itu tujuannya ia gunakan untuk biaya kuliahnya nanti saat lulus. Tapi, entahlah apakah ia harus melanjutkan pendidikan ke Universitas.

Sai berjalan menuju balkon kamarnya. Tangannya bertumpu pada pembatas balkon. Mendongakkan kepala, melihat langit yang sedang mendung, tidak ada satu pun bintang yang terlihat. Sama seperti hidup nya.

Sai menggeleng kuat.

Tidak, tidak sama. Ia masih memiliki tiga bintang di hidupnya. Ya, ketiga sahabatnya lah bintang di kehidupannya. Mereka yang selalu menerangi hidupnya, menerangi jalan menuju mimpinya, dan membuatnya menjadi bagian dari bintang mereka.

CHAIR'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang