Untitled part

10 1 0
                                    

Aku yang bergeming seakan dibawa menuju dunia mimpi. Sebenarnya aku tidak duduk diam, aku tertidur. Jadi, aku masih yakin sekali bahwa itu adalah mimpi. Selama 23 tahun aku berkelana di bumi sebagai seorang tuna prestasi, yang kutahu usia kalender baru menyentuh tahun 2020. Sebab aku ingat betul. Meski hanya tamatan SMA, aku tentu sangat paham hal remeh seperti kalender dan ingatanku pun tak payah. Karena itu sinting rasanya, jika aku terbangun saat alat digital di ujung lorong menunjukkan tahun 2033. Setahuku ada satu kata keren untuk menamai orang yang melindur, halusinasi. Tapi, saat itu aku sedang tidak berhalusinasi. Aku ingat betul kalau sebelum berangkat ke terminal, aku hanya makan dua potong tahu isi dan segelas teh hangat. Aku tidak makan yang aneh-aneh. Apalagi pakai narkoba, mahal! Untuk makan saja kadang hanya dua buah bala-bala.

Aku tidak tahu terbangun dalam dunia nyata atau dunia yang maya. Semua terlihat asing. Hanya aku dan tas tuaku yang familiar. Sejauh mata memandang tak kulihat ada orang yang becakap-cakap layaknya tempat umum, hanya ada suara AC dan bunyi "bip" yang bisa kudengar. Di ruang tunggu yang luas itu, kaca dan warna metalik melingkupi seisi ruangan. Orang-orang berjalan cepat seperti di kejar setan, lalu berbaris rapi menuju mesin pemindai. Aku bingung luar biasa, sejak kapan orang Indonesia belajar berbaris rapi?

Tiba-tiba aku melihat seorang pemuda yang tengah mengantri paling belakang. Tubuhnya tinggi tegap, tapi wajahnya tak seperti orang Indonesia pada umumnya, lebih unik dan berkulit cerah. Bukan ras Mongoloid, namun seperti campuran dari banyak ras sekaligus. Saat dia berjalan ke depan, aku buru-buru berbaris di belakangnya. Sebelum tangannya dipindai, pemuda itu berbalik dan memberiku sebuah jam tangan. Jam tangan digital yang transparan.

Di depan sebuah benda besar tanpa roda aku berdiri menganga. Benda itu berwarna putih metalik dengan sentuhan abu-abu di bagian belakang. Ujung depan benda itu tak persegi, tetapi bulat seperti kereta cepat dan orang-orang mulai masuk melalui pintu oval di bagian tengah. Pemuda di sebelahku berjalan masuk ke dalam 'benda melayang' itu dan sebuah robot memindai jam tangannya.

Bip.

"Silakan masuk"

Aku terpekur dan kemudian berlari mengikuti dia. Turut memindai jamku, robot berbentuk manusia itu melihat aku dengan tatapan aneh sebelum kemudian bergeser dan mempersilakanku masuk. Sesaat aku memijakkan kaki masuk, udara dingin menghembus wajahku bagai angin surgawi. Bau harum pun menyegarkan indera penciumanku seperti berasal dari sebuah padang bunga. Bagian dalam benda itu terlihat lebih luas dan kursi-kursinya berjejer dua-dua. Di pojok kanan belakang aku melihat pemuda itu duduk memandangi cakrawala, bersender pada kursi. Menghempaskan bokong di sampingnya, pemuda itu menoleh sekilas padaku dan berbalik arah wajah. Ia mengacuhkan aku.

"Ini benar tahun 2033?" aku melayangkan pertanyaan.

Pemuda itu menoleh dan menatapku terkejut. "Sudah kuduga", katanya. Matanya tak lepas dari mataku dan meneliti dari ujung kepala hingga ujung sol sepatu yang kupakai. Memperbaiki cara duduknya, ia berkata, "Kau bukan dari tahun ini, benar kan?".

Aku berkeringat dingin, takut kalau-kalau dia membawaku pergi menemui petugas terminal. "Sepertinya ini hanya mimpi", jawabku. Walau kebenaran masih diragukan, instingku berdering keras supaya jangan sampai ada orang lain yang tahu.

"Kau benar-benar dari masa lalu," simpulnya. "terlihat dari celana cingkrang dan tasbih yang ada di saku bajumu".

Kali ini aku mulai merasa takut. Baru kusadari bahwa waktu sudah melewati ashar dan tidak ada satu pun suara adzan yang terdengar. Masih berharap ini mimpi, ragu-ragu kuberanikan diri bertanya kembali, "Ini bukan mimpi?"

Pemuda itu simpatik, "Bukan, kau ada di masa depan. Tepatnya November 2033".

Keringat di kening yang terjatuh melewati pipi bisa kurasakan dinginnya. Bau harum di dalam benda aneh yang kuanggap sebagai bis ini tak membuatku tenang, malah memperparah rasa takutku. Kemudian, aku mulai panik. "Adakah cara untuk kembali?"

Bahu yang diangkat pemuda itu menjadi satu-satunya jawaban. Aku gemetar dan mulai memikirkan jalan untuk pulang ke tahun 2020. Dalam hati aku mulai berdoa. Pemuda itu menatap bibirku yang komat-kamit melafalkan doa dan lekas membungkamnya dengan telapak tangan.

"Diam!", serunya tertahan. Aku lantas memakan keterkejutanku dua kali hari ini bulat-bulat. Doa yang kulafalkan terhenti dan lantas menatapnya dengan tersinggung.

"Kau tak bisa melafalkan itu di sini! Kau bisa terkena masalah!"

Jantungku serasa berhenti mengumandangkan detak. Aku berhenti berdosa bisik dan melanjutkan ayat selanjutnya dalam hati. Pemuda itu bernapas lega dan menatap ke segala arah, mencari kepastian bahwa tak ada seorang pun yang mengetahui doaku.

"Dengar," katanya pelan. "Agama telah kalah, oke? Agama telah musnah karena orang-orang sosial telah mengalahkannya." Tarikan napas pemuda itu cukup cepat dan suara jantungnya bertalu-talu bagai meriam di medan perang.

"Kenapa?" tercekat aku berbisik.

"Because.. Humanity is our religion."

***

Langkah kakiku terasa seakan tak berpenopang. Pemuda itu jelas-jelas tidak berbohong, tapi hatiku menolak untuk percaya. Berjalan lemas, aku menuju sofa empuk di ruang tunggu terminal Surabaya. 25 menit perjalanan dari Jakarta kuhabiskan dengan mendengarkan Syra—nama pemuda itu berbicara. Mengenai masa depan, mengenai gerakan humanisme yang membunuh doktrin-doktrin agama sampai tak bersisa, dan mengenai kedamaian. Pikiranku terdiam dan buntu. Aku tak bisa membayangkan dunia tanpa nama Allah disebut dan suara adzan yang berkumandang. Namun inilah adanya, dunia modern yang tertib dan—atheis. Helaan napas berat dariku terdengar hingga ke ujung lorong, sebab menjelang malam terminal sepi. Segelintir orang duduk memainkan benda pipih yang transparan, sebagian lagi berbicara sendiri—mungkin menelepon dengan alat transparan lainnya. Di pintu-pintu keluar robot manusia bertugas layaknya manusia—memindai tiket, berbicara, dan menunduk pada penumpang.

Dunia ini masih muda, begitu kata Syra. Dunia atheisme di Indonesia dimulai delapan tahun lalu, ketika beasiswa-beasiswa mulai diberi kepada para pemuda untuk berfokus membangun cita seni dan sosial. Ilmu Sosial, Seni dan Humaniora berkuasa dan semakin kuat mengakar, sebab dogma-dogma agama dipatahkan seperti kepak lemah yang melawan angin. Perang-perang kemanusiaan masa lalu menjadi senjata, jutaan korban yang mati dijadikan amunisi. Debat-debat pun tak terhindarkan. Begitu pula dengan jurnal-jurnal milik arkeolog yang mengklaim bahwa kitab suci hanyalah karangan manusia. Pada intinya para pemuka agama kehilangan beberapa jemaat, hingga akhirnya tak bersisa. Di sofa terminal aku menunduk menatap ujung sepatu, merenungi sisa-sisa ketidakpercayaan. Rupanya, begini rasanya tinggal di masa depan. Ketiadaan Tuhan ternyata membawa manusia hidup dalam perdamaian.

Langit-langit terminal yang tinggi kupandangi dengan tatapan sayu. Pukul delapan malam di tahun 2033, aku tertidur karena semilir udara dingin yang muncul dari balik air conditioner, pergi ke alam di mana mimpi-mipi berkumpul dalam kefanaan. Sayup-sayup aku mendengar orang banyak berbicara dengan suara melengking. Netra kubuka dengan paksa dan di ujung sana, seorang ibu memaki petugas yang berusaha memeriksa tiketnya. Di dinding, aku lihat kalender berangka besar, tahun 2020.

MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang