Berulang kali aku menghela napas panjang. Capek. Bosan. Kesal. Semua emosi campur aduk. Aku tidak pernah menyukai pesta keluarga. Apalagi keluarga Egi yang hobinya pamer harta.
Selama memperhatikan duit-duit itu berjalan, aku mojok sambil menyesap koktail. Egi sibuk meladeni obrolan rekan-rekan bisnis keluarganya. Aku dibiarkan melongo seperti orang bodoh. Ah, biasanya juga aku yang membiarkan ia melongo saat kupaksa nonton film dokumenter BTS.
"Nggak menikmati pesta, ya?" Suara seseorang mengagetkanku. Nayanika. Sepupu Egi yang cantik jelita tetapi berwajah resting bitch itu tersenyum seolah memahami penderitaanku sepanjang pesta.
"Kamu tahu sendiri, aku nggak suka datang ke pesta keluargamu. No offense."
Nayanika tersenyum miring sambil menyesap koktail.
"Bagaimana kerjaanmu?" tanyanya.
"Biasalah. Ngurusi mahasiswa bandel, mantau proyek mahasiswa, dengerin keluhan mereka karena nggak puas sama nilai yang aku berikan... hm... membosankan. Aku pengen me time." Kupandang Nayanika dan tersenyum semringah. "Tell me about your activity. Dan soal mantanmu itu. Kamu udah janji mau cerita."
Ia mendesah. "Nggak ada yang harus diceritakan. Aku mau pindah penerbit, nggak nyaman sama dia."
"Lho, kenapa?"
Nayanika terkekeh. "He has new girlfriend and I wanna move on."
Aku membuka mulut dan mengangguk. Kuputuskan untuk tidak melanjutkan obrolan karena tak enak dengan situasi saat ini. Nayanika berpamitan. Ia sudah bosan dan ingin pulang.
Setelah dinner, kupikir Egi akan mengantarku pulang. Namun, aku malah terjebak di sini. Egi memperkenalkan aku sebagai calon istri di depan keluarga besar dan rekan-rekan bisnis keluarganya. Aku perlu menampilkan senyum palsu. Ini sebenarnya bukan duniaku. Aku tak menyukainya. Aku sudah berulang kali bilang ke tunanganku untuk tak memaksaku mengikuti hal-hal seperti ini. Awalnya ia setuju. Tapi kok lama-lama melanggar aturan.
Hampir pukul sepuluh. Aku sudah memantau ponsel sekadar melihat grup mana yang akan mengeluarkan teaser comeback dan memulai menuliskan teori.
Ah, sial, tak ada apa-apa. Apakah ini pertanda aku harus tetap terjebak di sini? Aku harus mengambil tindakan. Maka, aku menghampiri Egi dan berbisik ke telinganya.
"Aku mau pulang."
Egi langsung mengalihkan perhatian. Ia memandangku dan berbisik, "Belum selesai."
"Tapi aku mau pulang. Kalau kamu nggak mau anter, aku bisa sendiri."
"Sita—"
Tak memedulikan dirinya, aku melenggang gusar meninggalkan keramaian pesta. Kudengar Egi mengumpat di belakang dan mengejarku sampai ke depan.
"Kamu jangan kayak anak kecil," katanya.
"Anak kecil?" Aku berbalik badan. "Aku cuma pengen pulang. Kok jadi kayak anak kecil?"
"Kamu pengen pulang karena mau fangirling? Iya?"
"Kok jadi bahas fangirling, sih?" Dahiku mengernyit kesal.
"Karena kamu emang suka begiu! Kamu sering seenaknya. Mulai sekarang, kamu harus berhenti K-Pop-an!"
"Jangan ngatur-ngatur! Gue K-Pop-an pakai duit sendiri ya!"
"Iya, tahu. Tapi kamu kayak orang nggak waras, tahu?"
Mulutku menganga. Ia baru saja menghinaku? Aku melipat tangan depan dada. "Gue nggak pernah ya ngatain lo selama jadi bucin sepak bola. Gue selalu nemenin lo nonton ke mana pun, meski gue nggak demen. Kok enteng banget mulut lo ngomong kayak gitu, hah? Pernah gue bilang lo nggak waras pas teriak GOOOOL depan muka gue??" Sudut bibirku tertarik kesal. "Udahlah. Kita putus aja."