Bab 5 : Nona Garam

15 6 0
                                    

Angin membelai wajah seorang gadis bermata bulat, tetapi sayu. Ia memang sedang berada di luar untuk menikmati udara pagi hari di jam istirahat. Tentunya kali ini sendirian, sebab Tara dan Narayana tak dapat menemani. Namun, ia terlihat begitu menikmati. Bahkan sudut bibirnya sedikit terangkat, membentuk lengkungan halus.

Ah, ia kembali teringat jika Narayana selama dua hari ini tidak menampakkan batang hidungnya. Ia menjadi sedikit khawatir, tetapi hanya bisa berharap agar Narayana bisa masuk esok harinya. Sebab dirinya ingin bertemu dengan Narayana dan menggodanya seperti hari-hari biasa. Ah, rindu memang berat, batinnya.

Jika biasanya seseorang rindu dengan kekasih karena tak bertemu barang sedetik, maka Gantari rindu dengan sahabat baiknya. Ya, ia mencintai Narayana sebagai sahabat. Namun, apa cinta untuk Narayana yang non platonis adalah cinta yang tulus? Hanya Gantari yang tahu, bahkan mungkin ia pun tak tahu.

Tak terasa, bel telah berbunyi. Tanda ia harus masuk dan melakukan kegiatan bertatap muka dengan guru. Tetapi, Gantari tak akan bertatap muka sebagai murid rajin dan baik. Meskipun begitu, ia terlihat setengah-setengah dalam niatnya. Hanya ia dan Tuhan yang mengerti jalan pikirannya.

Kini, ia sudah melangkahkan kaki melalui koridor tanpa memedulikan sekitar. Dagunya terangkat, tatapannya lurus, garis bibirnya tak membentuk lengkungan. Dengan begini ia justru terlihat seperti gadis berjerawat yang melangkah angkuh.

Untunglah bau badannya tak menguar saat di luar ruangan. Namun, penampilannya yang berantakan menarik perhatian para guru. Apa ia peduli? Tidak. Justru sesampai di kelas ia hanya bersikap biasa. Padahal di belakang sudah membicarakan bau tak sedap dari tubuhnya.

Apa ia malu? Tentu ia malu, tetapi rasa malu itu ia kubur. Ia merasa jika ia begini karena Renata dan tuntutannya yang membuat pusing tujuh keliling. Padahal ia bisa melakukan hal lain untuk mempermalukan, atau sekadar menarik perhatian seorang Renata.

Ia menoleh ke kiri, kemudian menatap Tara di sebelahnya yang tengah asyik menggambar. "Oi, Ra," sapanya, membuat Tara menoleh sejenak.

"Kenapa?" Ia meletakkan pensilnya, kemudian kembali menatap Gantari.

"Tadi ada bahas sesuatu, nggak? Pas aku keluar gitu?" Kening Gantari mengkerut, sebelah alisnya naik, dan bibirnya seolah membentuk cengiran yang sesungguhnya ringisan.

"Nggak, sih. Tadi sepi kelas," ujar Tara seraya memajukan sedikit tubuhnya, "eh, tapi tadi ada Pak Bagas. Katanya Sabtu besok disuruh ke sekolah buat tugas tambahan."

"Pak Bagas itu rajin banget, ya? Manusia, bukan?" Gantari mendengkus setelah meledek Bagas. Siapa juga yang tidak salty sama guru begitu? pikirnya.

Tara hanya tersenyum seraya ikut mencibir dalam hati. Ia tak seberani itu, hingga mencibir langsung meskipun dari belakang. Ya, ia tidak setega murid lain yang berani mengatakan guru a menyebalkan, guru b apalagi. Bahkan sekadar satire seperti yang dilakukan Gantari juga tak berani ia lakukan.

Suara langkah kaki membuat kelas senyap seketika. Wajah sangar, tubuh gempal dan pendek, serta tatapan tajam terpapampang di depan pintu. Siapapun pasti akan diam, tetapi menertawakan lelaki ini di belakang. Ditambah gaya busana serta sepatu yang terlihat seolah tak mau kalah dengan muda-mudi di sekeliling.

"Selamat siang." Suara berat bak Rhoma Irama itu menggema di kelas. Semula senyap, kemudian terdengar suara sahutan dari para murid.

Namun, ada yang menyahut dengan suara pelan dan berbeda. "Selamat pagi, Pak." Sahutan ini membuat Rhoma Irama palsu itu menoleh. Rupanya Gantarilah yang menyahut seperti itu, dan dihadiahi pukulan pelan di lengannya oleh gadis di sebelahnya.

"Maaf, Nona. Ini jam berapa?" tanyanya seraya menatap Gantari yang kemudian dibalas, "Jam sebelas lewat tiga puluh menit, Pak."

"Oh, berarti saya salah pengucapan?" Ia menaikan sebelah alisnya seraya menatap Gantari. Ia berharap jawabannya sesuai dengan keinginannya. "Tergantung, Pak," sahut Gantari seraya melihat ke luar.

AbaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang