Bab 6 : Tuan Rapuh

14 5 0
                                    

Di sini adalah Tuan Rapuh
Dengan baju lusuh
Serta tubuh luruh
Juga hati yang rapuh

Kala malam ia bergemuruh
Namun, kala pagi ia rubuh
Hingga air mata ingin berlabuh
Namun, amarah bergemuruh

Inilah Tuan Rapuh
Dengan tubuh rapuh
Hati yang teramat lusuh
Juga air mata yang meluruh

•••

Narayana yang hidup bahagia, tidak sepenuhnya bahagia. Ada hal yang dapat diterima dan tak dapat diterima. Narayana Sang Pangeran idaman wanita, bukanlah sosok yang manis seperti rupanya. Ia ibarat sebuah bayangan yang tak nampak di kala malam. Inilah, kilas kisah Narayana.

Narayana yang selama sebulan ini sudah mulai bolong absennyaーdi sekolah. Tekanan karena kejutan lingkungan sekolah baru, serta keinginan yang tertahan membuatnya jatuh. Sejujurnya ia memang gampang sakit sejak dulu, tetapi tidak terlalu sering mengosongkan daftar hadir.

Ia bahkan sudah diterror oleh pesan-pesan dari Gantari yang menanyakannya sejak pagi tadi. Ia tahu, Gantari mengkhawatirkannya. Gantari juga menyayanginya seperti keluarga, tak peduli berapa kali orang menyuruh mereka untuk menjadi kekasih. Narayana jauh dari Gantari, karena dunia mereka berbeda.

Wajah pucat itu meringis, matanya yang cantik itu tertutup hingga bulu matanya berdesakan. Napasnya memburu, serta keringat mengucur di sana. Perutnya terasa perih, tetapi ia bingung mengatakannya. Seluruh tubuhnya seolah akan remuk dan begitu lemas karenanya.

Namun, ringisannya terhenti saat mendengar pintu di depan terbuka, serta langkah kaki menuju kamarnya. Narayana langsung tenang, dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia mengatur napas seraya berdoa, sebab ia tahu jika ini sudah ke sekian kali tidak ke sekolah, bahkan tanpa surat keterangan.

Saat pintu terbuka, terdengar helaan napas berat dari orang itu, membuat Narayana merasa bersalah. "Bapak tahu, kamu nggak tidur." Suara berat di depan pintu membuatnya membuka mata.

"Kamu nggak masuk sekolah lagi?" Lelaki paruh baya itu mendekati ranjang milik Narayana, ia menyentuh kening Narayana, kemudian menghela napas.

"Kamu sakit lagi?" tanyanya seraya menatap Narayana. "Iya, kayaknya," sahut Narayana dengan suara parau, sedangkan lelaki di sebelahnya hanya menatap datar setelah mendengar sahutannya. Sejujurnya ia tidak begitu memercayai Narayana, sebab bisa saja hanya alibi, tetapi tidak mungkin ia tunjukan sekarang.

Lelaki paruh baya itu meninggalkan Narayana yang kembali meringis setelah ditinggalkan. Sedari tadi ia menahan perih pada perutnya. Bukannya ingin menyembunyikan, ia hanya bingung bereaksi apa.

Ia kembali memejamkan mata, seraya meringkuk. "Sakit juga ternyata," ujarnya seraya memejamkan mata. Kalimat tidak berguna itu berbanding terbalik dengan tujuannya yang ingin menenangkan diri. Meskipun demikian, itu sungguh bekerja. Karena saat ini ia mulai memasuki alam mimpinya.

***

[Kasih tahu rumahmu sekarang!]

Pekikkan dari Gantari membuatnya meringis. Gantari memang meneleponnya dan terus memarahinya sedari tadi. Gantari seolah memahami pola hidup Narayana. Entah karena mereka bersahabat sejak dulu, atau memang karena Gantari terlalu mengenal Narayana.

[Kamu tuh, susah dikasih tahunya! Dari dulu dibilangin, jaga kesehatan, makan teratur, kalau ngerasa nggak kuat jangan dipaksa. Tapi, kamu tuh keras kepala, kadang aku kesel tahu, nggak!?]

Lihatlah, bahkan Narayana belum sempat menjawab, ia sudah kembali memberi rentetan wejangan. Terkadang Narayana bingung, Gantari ini sahabatnya atau ibunya? Cerewet sekali, sampai rasanya ingin menjambak rambutnya, tetapi gadis itu berhijab.

AbaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang