Broken Heart (Hongjoong × Seonghwa)

1.3K 123 38
                                    

- mpreg

Seonghwa tahu, walau darah daging Hongjoong berada di dalam tubuhnya, Hongjoong tidak akan menoleh padanya lagi.

“Aku hamil.” walau langit telah memancarkan semburat merah, asalnya mereka hangat, akan tetapi menjadi dingin bukan hanya sesaat. Itu bagi Seonghwa. Setelah mengatakannya pun, rasanya masih sama. Apa yang diharapkan dari sebuah pengakuan? Tindakan murni ; ketulusan kembali? Rasanya tidak dan tentu saja itu sudah hilang. Terhapus membentuk luka yang teramat perih. Walau tak lantas menangis, hatinya teriris bagai digores sembilu.

Lelaki yang sudah tujuh tahun berada di sisinya hanya diam. Mereka sudah mengikat janji di hadapan Tuhan selama tiga tahun yang lalu, empat tahun yang manis mereka habiskan dengan menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai. Tampaknya di tahun keelima hingga saat ini, awan tebal berkumpul menjadi satu menutup eksistensi mereka. Hingga rasanya, tidak seperti dulu yang cerah-cerah saja.

Seonghwa—lelaki yang terduduk di tepian ranjang tersebut mengusap perutnya pelan. Ada darah daging seseorang yang dicintainya di dalam sana. Ini sudah lama dinanti tentunya. Lalu, mengapa lelaki ini bahkan tidak tersenyum sama sekali semenjak Seonghwa mengatakan dan memberikan bukti berupa surat yang diberikan dokternya?

“Apakah kau tidak suka?” walau napasnya terasa tercekat saat mengatakannya, tak mengapa. Seonghwa akan tetap duduk di sini. Menunggu reaksi suaminya untuk segera memeluk atau menciumnya. Ah rasanya ia terlalu berekspektasi tinggi. Nyatanya saat Hongjoong tersenyum saja sudah membuatnya bahagia.

Tetapi malah sebaliknya, Hongjoong hanya menoleh sekilas, arah pandangannya terlihat tidak yakin terhadap Seonghwa. Hongjoong tahu mereka memang sudah menikah. Tapi memiliki anak? Hongjoong tidak menginginkannya sama sekali.

Lantas ia berlalu dari hadapan Seonghwa dengan perasaan yang tidak terduga. Seonghwa mematung di tempatnya. Tangannya semakin mendingin. Kemudian ia meremat sprei sembari menahan napas. Terburu-buru, Seonghwa membuka-tutup mulutnya dengan tak sabar. Oksigen rasanya semakin sulit diraih.

Kemudian, pada akhirnya hanya ada tangisan pilu yang ia keluarkan.

---

Rasanya, Seonghwa tidak ingin berdiam diri lebih lama di sini. Kemudian di saat mereka seharusnya sudah terlelap bersama, Seonghwa masih mendapati suaminya hanya berdiam diri di ranjangnya. Entah berpikir apa, Seonghwa tidak paham.

“Yeobo...” kata-kata itu sudah lama tidak diucapkan Seonghwa pada suaminya yang hanya berdiam diri memasang tembok di antara mereka. Seonghwa sadar, terasa pahit dan kelu ketika ia mencoba menggerakkan otot lidahnya untuk mengucap kata itu lagi.

Lalu Hongjoong menoleh padanya dengan ekspresi yang tidak dapat terbaca. Seonghwa yang dalam posisi berbaring sembari mengusap perutnya yang mulai membuncit hanya tersenyum kecut sembari menahan air mata. Walau rasanya pandangannya perlahan mengabur karena ia mulai menangis saat Hongjoong ingin membuka mulutnya. Ia menantikan Hongjoong yang berbicara padanya lagi. Lagi, Seonghwa hanya ingin Hongjoong menoleh padanya lagi.

“Kau sudah tahu.” tidak. Jangan katakan sepatah kata menyakitkan untuk Seonghwa lagi. Seonghwa tidak ingin mendengar perkataan itu sekalipun Hongjoong mendekat ke arahnya. Mengusap punggungnya pelan sembari menggumamkan maaf berkali-kali.

“Maaf, aku...”

Seonghwa meraih tangan Hongjoong dalam tangisannya. Membawa tangan itu untuk mencoba mengusap perutnya walau hanya sebentar. Tidakkah Hongjoong ingin menyapa darah dagingnya?

“Hiks, j-jangan ...”

Yang frustasi bukan hanya Seonghwa. Hongjoong merasakan hal yang sama. Ia mengusap wajahnya kasar kala isakan Seonghwa makin mengeras. Ia tahu, Seonghwa masih mengharapkannya tetap tinggal di sini. Namun Hongjoong merasa ini tidak mungkin. Hatinya telah jatuh pada Yeosang bahkan sedari Yeosang juga melahirkan anaknya setahun yang lalu.

le bien-aimé | park seonghwa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang