Ruangan kecil itu. Sudah dipenuhi oleh para peserta rapat, yang sibuk menyiapkan dirinya. Mengisi tempat duduk, mengeluarkan alat tulis dari dalam tasnya, mengisi daftar hadir, atau sekadar mencari angle pengambilan gambar yang bagus, untuk bahan update story di Instagram dan whatsapp. Begitulah milenial. Generasi yang hidupnya tidak terlepas dari teknologi, informasi. Walaupun penempatannya pada porsi yang seperti apa, urusan nanti-nanti lah itu.
Rapat dimulai.
Agenda rapat hari ini, pengambilan keputusan, terkait program yang ditawarkan pada organisasi ini. Kau memberikan kesempatan pada peserta rapat, untuk menyampaikan pendapatnya. Walaupun, di dalam pikiranmu. Sudah ada jawaban atas keputusan hari ini. Apa pun pendapat teman-teman, keputusan ini harus di setujui.
“Tidak, Ketua. Saya tidak setuju, jika kita menjalankan program ini,” salah satu peserta rapat bersuara.
“Dengan segala pertimbangan, ini bukan urusan kita Ketua. Tidak bijak, bila kita melakukannya.” Peserta yang lain ikut menyuarakan pendapatnya.
Tentu saja, kau juga sadar dan setuju dengan mereka. Bahwa ini bukanlah hal yang bijak, bila kalian lakukan. Tetapi, kau tidak mampu berkata tidak, pada pihak yang menawarkan program ini. Pihak yang begitu berjasa pada posisimu. Pihak yang mempunyai peran, saat menghantarkan mu pada jabatan ini. Investor mu.
Rapat diwarnai dengan perdebatan. Suasana berubah menjadi ricuh. Semua peserta rapat berusaha berbicara, meminta diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Saling berteriak kepada pimpinan sidang.
”Interupsi. Pimpinan interupsi!”
Namun, pada posisi ini. Kau tetap melakukan rasionalisasi-rasionalisasi, terhadap program ini. Berusaha meyakinkan mereka. Agar menyetujui.
Jiwamu bergejolak. Hatimu menolak. Tapi, kau bukan lagi sosok pemimpin yang memiliki kemerdekaan dalam memutuskan. Independensi mu sudah tergadaikan. Kau terjajah.
Kau hanya sebuah boneka kepentingan, dari para investor mu. Untuk memuluskan rencana-rencana mereka. Kau hanya jembatan kepentingan mereka. Ini adalah bentuk balas budi terhadap sumbangsih mereka. Namun, di satu sisi ini adalah balas buruk yang kamu lakukan pada jasa dan perjuangan teman-temanmu.
Suasana forum semakin tidak terkendali. Gelombang penolakan teman-temanmu begitu besar. Siap untuk menggulung argumentasi-argumentasi yang kau sampaikan. Keputusan ini harus berakhir, dengan persetujuan. Kau ambil jalan pintas. Keputusan yang melukai hati mereka. Orang-orang yang sejauh ini setia mendukungmu. Orang-orang yang rela menukar tenaga, waktu, dan pikirannya untuk membantumu. Menjalankan amanah kepemimpinan ini. Teman-temanmu.
“Dengan tidak kondusifnya forum. Saya memutuskan menggunakan hak prerogratif Ketua : hak mutlak yang dimiliki Ketua, tanpa harus mempertimbangkan masukan anggota pimpinan,” ucapmu mengakhiri rapat.
Seketika, suasana hening. Seruan interupsi, terhenti. Semua mata memandang ke arahmu. Diam. Hanya menatap ke arahmu. Untuk seketika, mulai beranjak pergi meninggalkan forum. Tanpa izin. Tanpa pamit. Pergi bersama kekecewaan mendalam.
Terlalu besar pengorbanan yang kau suguhkan.
Kepercayaan.
Marwah pemimpin.
Kau korbankan teman-temanmu. Kau korbankan pendukungmu.
Keputusanmu. Menciptakan perpecahan.
Kepengurusan yang awalnya kompak. Solid. Rusak oleh intervensi.
Perpecahan tak terhindarkan. Mengundang gelombang perlawanan. Melawan kebijakanmu.
Namun, hal yang disayangkan, dalam perlawanan ini. Hadirnya investor baru dalam barisan mereka. Barisan yang melawanmu. Membuat keadaan ini sebagai sebuah sirkuit oval. Tetap berputar pada lintasan yang sama. Jalur yang sama.
Aku tak tahu. Apakah kau akan menyadari hal ini atau tidak, dalam kepemimpinanmu.
Mungkin, kau khilaf.
Mungkin, jabatan, fasilitas. Berhasil merubahmu.
Membuatmu kehilangan kemerdekaan berpikir dan bertindak. Membuatmu mengorbankan hal yang fundamental, dalam kepemimpinanmu.
Kepercayaan.
Mereka memilihmu, karena kepercayaan. Percaya pada kemampuanmu, dapat berdiri di atas kaki sendiri. Percaya bahwa, kau mampu berkata tidak pada kesalahan. Percaya bahwa, kau adalah pemimpin yang merdeka. Bukan pemimpin, yang berada di bawah kendali pihak tertentu. Bukan sosok pemimpin yang dapat diatur oleh intervensi kepentingan tertentu.
Namun, hari ini. Kau buktikan, bahwa intervensi mampu menggoyahkan prinsipmu. Independensi yang kau miliki terjajah. Kualitas kepemimpinanmu terdegradasi.
Kini lihatlah, apa yang kau dapatkan?
Perlawanan.
Apa yang kau hasilkan?
Perpecahan.
Sebagai pemimpin, apa yang kau tinggalkan?
Sebuah warisan. Warisan intervensi, yang entah akan putus di mana. Atau bahkan tidak akan pernah putus.
KAMU SEDANG MEMBACA
KADER BUMI
Fiksi Umumjika pemimpin adalah seseorang yang juga menyebabkan kerusakan, masihkah bumi membutuhkannya? jika jalan menjadi pemimpin begitu hina, mengapa posisinya begitu mulia?