CHAPTER 1

22 6 1
                                    

Aku sekarang sedang berada di dalam kamar. Sudah mandi sejak beberapa menit yang lalu dan sudah mengganti seragam Pramukaku dengan baju santai seperti biasa.

Aku memang tidak jadi mati, pembunuh Arin membiarkanku lolos begitu saja setelah mengejarku tadi. Ku kira orang itu tidak akan membiarkanku lepas begitu saja setelah aku mengetahui bahwa dia telah membunuh seseorang. Namun nyatanya dia membiarkanku selamat walaupun dengan mengancam agar aku tutup mulut tentang masalah pembunuhan ini.

Aku sangat merasa bersalah karena tidak dapat mengungkap bahwa dia adalah pembunuh Arin, namun aku yakin bahwa polisi cukuplah pandai dalam mengatasi kasus pembunuhan seperti itu. Dan aku berharap bahwa orang itu akan segera tertangkap. Aku tidak mau jika ada seorang pembunuh yang masih berkeliaran bebas begitu saja, apalagi masih di lingkunganku sendiri secara aku tahu bahwa kejadian itu tidak jauh dari tempat tinggalku berada.

Memejamkan mata untuk segera tidur, aku ingin melupakan kejadian sadis tadi secepatnya.

"Arin,, maafkan aku.." lirihku sebelum akhirnya benar-benar terlelap tidur.

****

Benar seperti dugaanku. Pagi ini di SMA Banjartana sudah di hebohkan atas kematian Arin yang tiba-tiba. Apalagi kematiannya sangat tidak wajar dan begitu mengenaskan. Beritanya kini sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Bahkan di papan pengumuman sudah terdapat berita tidak enak di dengar itu.

Aku dapat melihat seluruh siswa langsung bergidik ngeri setelah melihat foto mayat Arin yang tergeletak mengenaskan di samping pabrik tempat kejadian pembunuhan itu di masing-masing ponsel mereka.

Teman-teman sekelasku juga turut memperlihatkan kesedihannya karena mendengar teman satu kelas kami meninggal dengan keadaan mengenaskan seperti itu. Terutama sahabat-sahabat Arin yang sudah menangis pecah sejak tadi pagi. Mungkin mereka masih tidak terima dengan kondisi sahabatnya.

"Siapa sih yang udah tega bunuh Arin?!!"

Aku mendengar Lesa berteriak emosi. Dia adalah salah satu sahabat Arin, aku tahu betapa sedih dan tidak terimanya mereka atas kepergian sahabatnya.

"Kita harus selidiki siapa pembunuhnya!" Sila, dia juga merupakan salah satu sahabat Arin. Aku dapat melihat kilatan amarah di mata sila saat ia meremas ponselnya dengan kuat setelah membaca berita tersebut.

Aku sangat merasa bersalah atas semua ini. Andai saja jika tadi malam aku berhasil mencegah pembunuh keji itu untuk membunuh Arin, pasti setidaknya Arin masih bisa di selamatkan dan masih hidup saat ini.

Bahuku langsung merosot ke bawah ketika kembali mengingat kejadian semalam. Aku sangat merasa bersalah sekali kepada Arin walaupun aku tahu bahwa setiap hari gadis itu dan teman-temannya selalu membullyku.

"Lo gak usah sok-sok an ikut sedih! Lo pasti seneng kan lihat sahabat kita udah mati karena setelah ini gak ada lagi yang bully lo!"

Aku terperanjat dari tempat dudukku. Lesa dan sila menarik rambutku dengan kasar membuatku meringis menahan perih di kepala.

"Gak usah main tangan juga dong kalian!" Nalla membantuku melepas cengkeraman dari tangan lesa dan sila yang masih menjambak rambutku dengan kasar.

"Apa jangan-jangan lo yang udah bunuh Arin gara-gara lo gak terima kalo di bully setiap hari! Ngaku gak lo?!!"

Aku langsung menangis. Aku merasa bahwa aku juga turut membunuh Arin karena tidak dapat menyelamatkan nyawanya.

"Iya kan? Ngaku lo!?!" Lesa masih menuduhku. Tangannya tak kunjung lepas dari kepalaku membuat kepalaku semakin perih.

Aku menggeleng sebagai jawaban bahwa aku bukanlah pembunuhnya. Tapi aku hanya diam saja saat rambutku di tarik. Ini bukan apa-apa di banding apa yang di rasakan oleh Arin semalam. Pasti keadaan Arin jauh lebih sakit berkali-kali lipat di bandingkan dengan jambakan tidak ada apa-apanya ini.

"Bisa-bisanya lo malah nuduh felsa! Jangan ngaco deh lo berdua! Lepasin atau gue panggil guru BK sekarang?!" Ancam Nalla yang masih berusaha membantuku melepaskan tangan mereka.

"Laporin aja kita gak takut!!! Gue benci banget sama dia! Dia pembawa sial di kelas kita! Lo gak nyadar kalo akhir-akhir ini banyak yang aneh di sini?"

Ucapan sila membuatku terdiam sebentar. Aku mencoba mencernanya baik-baik.

"Lo gak inget irana? Kelas 12 IPS 1 yang sekarang udah gak mau lagi gangguin felsa setelah dia kecelakaan waktu lalu?!"

"Dan lo gak inget sama Lenni yang juga udah gak mau bully Felsa lagi setelah dia mendapatkan teror dari orang gak di kenal?" Ujar lesa lagi yang membuatku semakin terdiam.

Tapi memang betul, aku juga merasakan ada sesuatu yang aneh. Aku memang belum memiliki banyak teman, tapi aku sadar jika orang-orang yang dulu gencar membullyku sekarang sudah jarang lagi membully seperti biasa. Bahkan aku sekarang sudah jarang melihat mereka walaupun hanya sekedar menampakkan diri padaku lagi.

"Dan Arin dan kita adalah orang yang masih ngebully Felsa, dan sekarang lo lihat kan sahabat gue malah mati kayak gitu?!!!" Sila semakin mengencangkan jambakannya. Aku yakin jika rambutku setelah ini akan banyak yang rontok.

"Dan itu tandanya Felsa yang udah bunuh Arin!!" Sila masih menuduhku dan aku terus menangis tidak terima.

"Apa jangan-jangan setelah ini lo mau bunuh kita juga??!!"

Aku menggeleng kembali. Air mataku mengucur semakin deras. Sungguh, aku tidak tahu soal penyebab mereka yang tiba-tiba sudah tidak lagi membullyku. Tapi soal penyebab kematian Arin dengan orang berpakaian hitam tadi malam, aku tidak tahu apa urusan mereka. Yang jelas, aku tidak ada niat sedikitpun untuk membunuh Arin. Bahkan aku malah ingin menyelamatkannya walaupun aku tahu bahwa itu juga dapat mengancam keselamatanku sendiri. Dan untuk membunuh mereka? Jelas aku sama sekali tidak berniat untuk melukai siapapun apalagi teman-temanku sendiri. Memang benar bahwa aku sempat tidak suka pada Arin, lesa, dan sila karena mereka masih membullyku. Tapi percayalah bahwa aku bukanlah seorang pembunuh seperti apa yang mereka tuduh padaku.

"Aku gak ngebunuh Arin, sila. Sungguh. Dan aku gak ada niatan buat bunuh kalian." Ujarku lirih.

"Oke, polisi bakalan secepatnya cari tau sendiri kalo lo emang pelakunya!" Sila dan lesa akhirnya melepaskan jambakannya di kepalaku dengan kasar. Benar seperti dugaanku bahwa rambutku banyak yang rontok setelah itu.

Aku hanya menatap kepergian lesa dan sila sendu. Aku sungguh tidak membunuh Arin dan aku bukan seorang pembunuh.

"Yang sabar ya Fel, gue tahu kalo lo orangnya bukan kayak gitu." Ujar Nalla menenangkanku.

Aku tersenyum tipis menanggapinya, sedikit tenang karena Nalla sudah mempercayaiku. Sebenarnya aku ingin menceritakan kejadian semalam kepada Nalla, tapi aku sudah berjanji kepada pembunuh berpakaian hitam itu bahwa aku tidak akan menceritakan masalah itu kepada siapa-siapa. Karena aku tahu jika ada orang yang tahu soal masalah ini, pasti aku tidak akan selamat.

"Iya, Nalla, terimakasih sudah mempercayaiku." Balasku sambil kembali tersenyum tipis. Aku sangat berharap bahwa pelakunya segera di tangkap oleh polisi secepatnya.

FELSAGA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang