Setelah mendapat kabar bahwa Arin meninggal, semua kelas di biarkan free class seharian. Semua guru dan teman sekelasku ikut menghadiri acara pemakaman jenazah Arin.
Dan sekarang kami sudah berada di area pemakaman. Ikut ber-belasungkawa atas kematian Arin kepada keluarga yang sudah di tinggalkan.
Aku sangat merasa sedih ketika orang tua Arin menangis tidak terima. Aku dapat merasakan kesedihan mereka karena aku tahu bahwa Arin adalah anak tunggal. Tentu saja dengan meninggalnya Arin, orang tuanya sudah tidak memiliki anak lagi.
"Pelakunya belum ketangkap, om?" Lesa, dia bertanya kepada ayah almarhum Arin yang ku ketahui bernama om Anto.
Om Anto menggeleng sendu. Ia masih menatap makam putrinya dengan tatapan tidak percaya bahwa Arin telah meninggal secepat itu.
"Polisi belum bisa menemukan siapa pelakunya. Tadi pas jenazah Arin di otopsi tidak ada tanda-tanda sidik jari dari siapapun." Balas om Anto nampak lesu.
Aku jelas menggeleng tidak percaya. Bagaimana mungkin polisi tidak menemukan sidik jari di tubuh Arin? Padahal jelas-jelas semalam pembunuh itu memegang tubuh Arin waktu sedang melancarkan aksinya.
****
Pagi ini, di SMA Banjartana sudah kembali di hebohkan lagi dengan berita terbaru. Kali ini bukan di karenakan kematian Arin seperti kemarin, melainkan adanya 3 siswa baru pindahan dari SMA sebelah yang membuat seluruh siswi rela berkumpul di lapangan. Pasalnya, ketiga siswa itu di rumorkan memiliki wajah yang sangat tampan dan mempesona.
Aku hanya berdecak malas saat melihat semua siswi sudah berlarian kesana. Aku tidak minat sama sekali untuk sekedar melihat siapa ketiga siswa baru itu. Aku masih belum bisa melupakan kejadian malam itu yang membuat Arin meregang nyawa. Entah mengapa otakku selalu di hantui rasa bersalah dari kemarin. Aku merasa bahwa arwah Arin tidak terima dirinya di bunuh seperti itu.
Sekali lagi maafkan aku Arin, karena aku tak bisa menyelamatkanmu. Tenanglah dan bahagialah kamu di sana. Polisi akan dengan segera menangkap manusia keji itu secepatnya. Aku yakin tanpa aku membuka mulut-pun, polisi sudah bisa menemukan pelakumu sendiri.
"Fel, lo gak mau lihat cogan?"
Seketika aku langsung tersentak dari lamunanku. Aku menatap kembali ke lapangan menyaksikan beberapa siswi yang berkumpul di sana. "Enggak. Aku gak minat. Lagi pula, dengan aku melihat mereka, mereka tentu gak bakal suka sama cewek miskin kayak aku." Sahutku pada Nalla.
"Lo itu sebenernya cantik kok fel. Apa lo gak sadar kenapa selama ini lo banyak di bully?"
Aku menoleh kepada Nalla. "Karena aku miskin, makanya mereka benci sama aku." Jawabku. Memang benar kok bahwa mereka membenciku karena aku miskin.
Nalla menggeleng. "Selain itu, juga karena lo cantik. Lo selalu jadi perhatian cowok di sini. Lo gak nyadar kalo selama ini banyak anak cowok yang deketin lo dengan modus minta bantuan soal tugas?"
Aku terdiam sebentar. Mengingat bahwa selama ini memang banyak anak cowok yang menemuiku hanya meminta di ajarkan cara mengajarkan soal.
"Itu karena mereka gak bisa ngerjain soal yang sulit." Ujarku yakin karena aku tahu bahwa mereka yang berasal dari kalangan atas hanya memanfaatkan kecerdasanku saja seperti teman-teman Arin dan almarhum Arin sewaktu ia masih hidup.
"Lo bodoh. Harusnya lo peka sama mereka felsa."
"Tapi aku gak merasa kalau mereka mendekatiku, Nalla."
KAMU SEDANG MEMBACA
FELSAGA (On Going)
Teen Fictionini benar-benar cerita sialan yang pernah ku alami sejak malam itu, aku selalu terlibat urusan 'dengannya' semuanya bermula ketika aku tak sengaja melihatnya mencoba untuk membunuh seseorang yang sangat aku kenali Arin teman sekelasku, akhirnya mati...