Bagian 1 // I'm Not Over You

542 14 0
                                    

Bisa saja tak berarti apa-apa ketika seseorang berkata pada kita bahwa ia tidak merasa bahagia saat bersama. Ia hanya mencoba jujur dengan apa yang ia rasakan, meski sebenarnya sangat sulit untuk kita terima. Akan ada banyak pertanyaan yang menguar dari benak kita, memaksa kita untuk berpikir tentang apa kurangnya kita, pantas tidakkah kita, atau hal-hal yang membuat kita berpikir 'tidakkah aku berarti baginya?'

Sangat sulit berbicara soal kehilangan, bahkan terkadang kita tak menyadari bahwa kita kehilangan, sampai kemudian kita diingatkan akan kehilangan itu sendiri.

Aku menghela napas pendek, menyadari bahwa kelas terlalu riuh. Memang saat ini waktunya class meeting, di mana kegiatan belajar mengajar diganti dengan kegiatan lomba antar kelas. Biasanya class meeting diadakan setelah ulangan tengah semester atau ulangan kenaikan kelas berlangsung.

"Run, dicariin mas Damar tuh. Kamu disuruh ke lapangan basket katanya." kata Dimas keras-keras dari pintu kelas dengan tergesa. Kemudian secepat kilat ia berlari lagi menuju lapangan basket. Aku menghentikan lamunanku, berdiri dari kursi dan berjalan dengan langkah terseret mengikuti Dimas yang sudah hilang terbawa angin.

Sekali mencari, aku langsung dapat mengenali kakak laki-lakiku yang menyebalkan hanya dari punggungnya saja.

Aku menarik seragam olahraga mas Damar dengan malas, "Kenapa mas?"

"Beliin minum dong, haus." Perintah mas Damar yang sedang sibuk menentukan kelas mana yang akan bertanding basket selanjutnya di babak semi final.

Kontan mataku memelotot ke arahnya, nggak ada sopan-sopannya emang kakak satu ini, main nyuruh tanpa ngelihat yang disuruh, "Enak aja nyuruh-nyuruh. Nggak mau ah. Suruh aja tuh cewek-cewek yang demen sama mas." tolakku, kemudian ikut duduk di kursi kosong samping mas Damar.

"Dih ogah banget, anak orang itu. Masa mas manfaatin." Mas Damar menyentil kepalaku.

"Ya terus? Aku bukan anak orang gitu? Mending manfaatin aku gitu?" Aku memutar posisi dudukku menghadap mas Damar sambil menopang dagu.

"Bawel. Buru ah beliin. Es teh nggak pake gula. Banyakin esnya."

"Mana duit?"

"Yaelah pake duitmu dululah, Run. Sana." Mas Damar mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruhku agar segera membeli minum untuknya.

Betul menyebalkan bukan, Saudara-saudara?

"Dih nggak tahu diri lu, Dam. Udah nyuruh minta dibayarin pula." komentar mas Mahen yang duduk di depan mas Damar.

Aku berdecak sebal. Kebiasaan sekali kakak laki-lakiku itu, selalu semaunya sendiri dan harus dituruti. Aku kesal dengan diriku yang mau-mau saja dijadikan pesuruh olehnya.

Dengan terpaksa kulangkahkan kaki ke kantin, suasananya berisik sekali. Aku berbelok ke kantin mas Kombor yang kupikir sepi ternyata juga ramai. Mas Kombor yang lebih dulu melihatku tersenyum lebar.

"Kenapa kok mukane ditekuk, nok?" tanya mas Kombor yang sedang melayani beberapa siswa lain.

Aku yang ditegur mas Kombor hanya nyengir, "Biasa mas, mas Damar. Es teh satu ya, mas. Buat mas Damar." lanjutku, kemudian duduk di salah satu bangku kosong.

Mas Kombor membalas dengan jempolnya. Sambil menunggu pesananku dibuat, kubuka ponsel dan mengecek notifikasi yang ada.

Samar-samar terdengar suara tawa dari luar, semakin lama semakin keras. Aku merasa familier dengan tawa itu. Tolong jangan dia, jangan, pintaku dalam hati. Tawa itu milik seseorang yang pernah sedekat nadi denganku, namun kini menjadi sejauh matahari. Sayangnya Tuhan tidak sedang berbaik hati, permintaanku tidak terkabul.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 03, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang