Semua baik-baik saja. Dan akan selalu baik. Meski semua hanya pura-pura.

13 1 0
                                    

Dyhlla.
Bagian : 2

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ditengah perjalanan menuju tempat pemberhentian Bus. Lagi! Rasa sakit itu kembali menyerangku. Lebih menyakitkan daripada sebelumnya.

Dan lagi! Darah merah pekat dan segar keluar melalui indra pernafasan.

"Dyhlla, kau....".
Sebelum perkataan itu selesai, penglihatanku semakin buram dan di detik kemudian, tiba-tiba saja menjadi gelap gulita.

Saat itu, aku tidak sadarkan diri.

"Dyhlla, kau kenapa?.".

S

K

I

P

Wanita dengan jas putih itu baru saja keluar dari ruang Unit Gawat Darurat. Rita dan Gita segera menghampiri wanita tersebut.

"Bagaimana keadaannya, Dokter?.".

"Dyhlla, tidak apa-apa kan?.".

Namun wanita yang dipanggil dengan sebutan Dokter itu hanya diam membisu. Ia terlihat benar-benar bingung dengan apa yang harus di sampaikan tentang keadaan Dyhlla.

"Kenapa dokter diam saja? Ayo jawab, Dok!," Rita mengguncangkan lengan Dokter tersebut.

Wanita dengan jas putih itu kemudian menghela nafas lalu menatap kedua sahabat Dyhlla tersebut yang terlihat benar-benar khawatir dengan keadaan Dyhlla saat ini.

"Dyhlla tidak apa-apa. Dia baik-baik saja, sepertinya dia hanya kurang istirahat.".

"Tapi, Dokter. Belakangan ini Dyhlla lebih sering mimisan. Apa itu yang dinamakan baik-baik saja?," Rita sedikit tidak percaya dengan perkataan dokter itu.

Dan disitulah sang dokter tidak mampu menjawab lagi. Sedikit ragu untuk memberitahukan yang sebenarnya terjadi pada Dyhlla.

"Dokter kenapa diam saja? Beritahukan keadaan Dyhlla yang sebenarnya, Dokter!," sentak Rita yang membuat dokter itu benar-benar diam membisu.

»
Sebelumnya.
Terbangun! Aku mendapati Alina tengah menyuntikkan sesuatu dilenganku. Entah itu vitamin atau hanya obat penghilang rasa sakit.

Saat selesai aku bangkit dari brankar itu tanpa sepengetahuan dari Alina. Ya, Dia adalah dokter yang merawatku beberapa bulan belakangan.

"Dyhlla, Kau sudah sadar? Seharusnya kau jangan duduk dulu. Tubuhmu masih lemah!," jelas Alina padaku yang hanya ku berikan sebuah senyuman khas dari wajahku.

Beliau sudah aku anggap seperti Ibu sendiri. Kasih sayang dan Perhatian. Seperti perhatian dan kasih sayang seorang ibu untuk anaknya. Ya! sesuatu yang tidak aku dapatkan dari orang tuaku sendiri.

Sunyi! Suasana diruangan itu benar-benar sunyi.

Aku melirik Alina disana, "Apa penyakit ini bertambah parah, Dokter?.".

Beliau menghentikan aktifitasnya dan kemudian menatapku. Huh! Melihat raut wajah Dokter yang seperti itu, aku mengerti. Mungkin, aku harus jadi seperti Nita yang tegar dan selalu bersyukur dengan apa yang terjadi.

"Siapa yang membawaku kemari, Dok?.".

"Kedua temanmu yang membawamu kesini. Sekarang mereka tengah berada diruang tunggu. Jika kau ingin bertemu akan saya panggilkan.".

Aku diam mendengarnya sementara Dokter hendak berjalan keluar untuk memanggil kedua temanku.

"Uh, Dokter!," Alina berbalik dan menatapku.

Sedikit ragu, "Apa boleh saya minta sesuatu pada Dokter?.".

Beliau mengernyitkan kening mendengar pertanyaanku.

"Saya ingin Dokter tidak menceritakan tentang penyakit ini pada mereka. Saya tidak ingin membuat mereka khawatir, Dokter," jelasku.

Tentu saja! Ruangan itu kembali sunyi. Alina hanya diam mengalihkan pandangan dariku. Sementara aku terus menatapnya berharap ia menyetujui permintaan ini.
»

"Dokter! Ayo jawab! Jangan diam saja.".
Suara itu membuat ingatan tersebut menghilang.

Wanita dengan jas putih itu masih diam mematung didepan ruang UGD. Beliau nampak ragu untuk memberitahukan yang sebenarnya.

Perlahan! Beliau menghela nafas dan menatap kedua gadis yang berdiri dihadapannya ini, "Sebenarnya Dyhll....".

"Dokter! Ada pasien kecelakaan yang membutuhkan penanganan segera," jelas seorang suster yang berlari dan tanpa sengaja memotong pembicaraan wanita baya disana.

Wanita itu menganggukan kepala pada sang suster.

"Saya permisi dulu," Beliau bergegas meninggalkan kedua gadis ini.

Sementara kedua gadis ini hanya saling pandang sepeninggalan Wanita itu.

"Kalian!.".
Suara itu membuat kedua gadis ini menoleh.

Terlihat dari ujung sana, seorang pemuda berlari dengan tergesah-gesah menghampiri mereka berdua.

Tentu saja! Rita dan Gita menatap aneh kearah pemuda itu. Mereka hanya saling pandang dan kemudian kembali menatap pemuda itu.

"Kalian teman-temannya Dyhlla, kan?.".

"Iya, kita temannya Dyhlla. Kamu siapa?," ketus Gita.

Pemuda itu tidak menjawab dan hanya menatap gadis itu. Pikiran nya hanya memikirkan keadaan Dyhlla. Kemudian ia memperhatikan ruang UGD yang ada didepanya, "Bagaimana keadaan Dyhlla?," Ia kembali menatap kedua gadis remaja dihadapannya ini.

Tentu saja kedua gadis itu enggan memberitahukan keadaan Dyhlla kepadanya.

"Kamu siapa dan untuk apa kamu mengetahui keadaan Dyhlla?," ketus Gita (lagi).

Tanpa ekspresi apapun, pemuda itu menatap kedua gadis ini "Ifan. Kakaknya Dyhlla.".

Masih merasa aneh dengan ucapan dari pemuda itu. Kedua gadis ini tidak mempercayainya, "Kakaknya Dyhlla?.".

Pemuda itu hanya menatap aneh sikap dari keduanya, "Setahu kami, Kakaknya Dyhlla itu Handi bukan Ifan.".

Mendengar itu, pemuda bernama Ifan itu hanya tersenyum tipis pada mereka berdua, "Ya! Handi itu saya. Handi Ifan Noella,"jelasnya.

Tentu saja keduanya membisu setelah mendengar penjelasan pemuda itu dan menganggukkan kepala.

"Bagaimana keadaan Dyhlla saat ini?.".

»

"Aku tidak apa-apa. Kalian tidak usah mengkhawatirkan aku!.".
Tersenyum! Aku berusaha membuat mereka agar tidak begitu mencemaskan aku.

"Benarkah? Kau tidak menyembunyikan sesuatu dari kami?," Pertanyaan dari Rita itu membuat senyumanku menghilang.

Harap-harap cemas karena kupikir Rita telah mengetahui tentang keadaanku yang sebenarnya.

Sementara Kak Ifan yang sedari tadi tidak berkutik sedikitpun merasa aneh, "Apa yang kau sembunyikan dariku?.".

"Ah, tidak ada apa-apa. Sudahlah! Kalian jangan terlalu khawatir padaku! Aku baik-baik saja," balasku kembali berusaha untuk bersikap seperti biasa. Ceria dihadapan orang lain.

Sementara yang lain hanya diam memandang kearahku.

"Uh, Apa aku boleh pulang sekarang?," Aku mengalihkan pertanyaan.

"Dokter bilang, kamu harus dirawat inap untuk dua hari," Mendengar itu aku hanya bisa menghela nafas. Bosan! Selalu saja seperti ini.

DyhllaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang