I

934 155 7
                                    


Pantai Tahiti

Oktober, 1950



Jimin

Suhu air di akhir tahun rasanya hampir sama ketika Jimin tidak sengaja berenang dekat dengan Samudera Arktik. Bukan main dinginnya sampai Jimin rasanya ingin mengubur diri di dalam pasir, berenang di antara anemon laut atau sekadar mengambang supaya kena sinar matahari.

Penghujung November membuat terpaan angin dari arah pantai menghantam wajah Jimin sekuat arus air yang tiba-tiba berbelok. Duduk di atas batu karang dengan atap langit beraurora jadi kegiatan favoritnya, beberapa hari ini. Selain menanggulangi bosan dan suntuknya lalu-lalang kerumunan siren bermigrasi, memandangi hamparan laut dari sudut pandang orang di darat punya makna tersendiri.

Jimin memandangi ujung ekornya yang menyentuh air malu-malu. Warnanya hampir transparan dan bisa selebar dua rentangan tangannya sendiri kalau sedang berenang. Berumbai seperti rok pesta orang-orang yang pernah Jimin lihat di atas kapal lewat. Dari pangkal ekor naik ke pinggul, warnanya keemasan. Bersisik rapi dan memantulkan bayangan sekitaran kalau sedang terang. Berubah jadi warna-warni meski tidak begitu kelihatan. Cantik.

"Turun atau aku laporkan ke ayah." Suara seseorang dari balik karang membuat Jimin menoleh untuk memastikan. "Kamu sudah ada di atas sana dua jam. Tidak capai, apa, melihat-lihat begitu? Kulitmu tidak kering? Tidak berlendir?"

"Berisik, Kak Jin." Jimin menanggapi malas. Siluet kakaknya muncul pelan-pelan dari balik batu beserta dengan surainya yang lepek. SeokJin punya manik mata berbinar dan kelihatan lebih hidup ketimbang dengan kawanan lainnya. Membuat Jimin jadi ingat dengan seseorang.

"Seenak apa, sih, duduk di situ?" Tubuh SeokJin menukik ketika meluncur kembali ke dalam air. Tenggelam. Jimin bisa lihat samar-samar siluet ekor dan tubuhnya yang berenang untuk mendekat ke karang yang sedang Jimin duduki. Waktu kakaknya melompat dan mendarat di samping, sekat kelima jarinya yang mirip seperti kaki katak tidak sengaja menyentuh ujung ekor Jimin yang kering.

"Agak sana, dong." Jimin mendorong tubuh SeokJin sedikit serius. "Sempit di sini."

"Pas begini, lho. Astaga." Pantulan sinar rembulan jatuh ke sisik-sisik ekor SeokJin yang punya warna keperakan. Ujung nya punya lebar lebih besar karena SeokJin masih terhitung orang yang diagung-agungkan susunan pemerintahan. Tidak heran kalau ia jadi satu dari sekian banyak orang kepercayaan.

"Menganggur sekali, sepertinya?"

"Cukuplah buat menjemput kamu di sini."

"Padahal kamu sendiri yang bilang kalau tidak mau menampilkan diri di pantai."

Jimin mendapat jitakan di atas kepalanya yang punya surai emas pucat. "Ini pantai wisata, Jim. Kalau kamu sampai ketauan di sini, bisa gempar orang-orang," kata SeokJin. "Kamu bisa membahayakan satu samudera."

"Tidak usah membesar-besarkan begitu, deh. Seperti tidak pernah makan saja, kamu."

"Maaf, ya. Aku makan di tengah-tengah Bermuda. Tidak di pinggiran begini."

"Okay. Kamu menang."

"Sumpah, kamu harus kembali ke rumah."

"Sekarang?"

"Tahun depan."

"Iya, iya." Jimin mengambil ancang-ancang melompat. Tubuhnya terasa lebih segar ketika sudah menyentuh air laut. Lender-lendir yang dikeluarkan di sekujur badan ketika ada di daratan, menghilang sudah. "Kenapa jadi seperti kamu mengusir aku supaya kamu bisa sendiri di sini?"

Hymn of The SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang