II

528 130 10
                                    


Charleston Harbour

November, 1925



Jeongguk

Ribut di samping kedai minuman terasa asing untuk Jeongguk yang tidak pernah keluar rumah sama sekali. Tuntutan sebagai penari ballerina membuatnya harus ada di dalam rumah merawat diri. Stamina tubuh adalah segala-galanya guna menunjang peforma di perlombaan. Makan makanan sembarangan barang sehari saja, rasa bersalah yang menghantui bisa sampai satu bulan. Akibat jadwal makan dan olahraga ketat, Jeongguk punya postur tubuh sempurna sebagai seseorang yang bisa meliuk-liuk di atas panggung. Membuat banyak orang iri dengan pinggang ramping, kaki jenjang, atau rambut cokelat tembaga yang sudah bawaan dari lahir.

Faktanya ia yang sebagai manusia biasa sudah lelah. Bergerak ke sana-kemari demi memuaskan kemauan orang tua. Harus tampil paling luar biasa cuma supaya ayah dan ibu nya tidak malu dan jadi bahan perbincangan orang.

Bukan hanya soal nama baik keluarga. Menjadi anak paling dibanggakan membuatnya jadi dibenci sanak saudara lain. Jeongguk merasa selalu terasingkan karena tidak bisa berbaur dengan anak seusianya. Dibilang terlalu pintar lah, terlalu mencolok, atau bahkan ada yang dengan terang-terangan bilang kalau kawannya tidak sederajat dengannya. Aneh.

Satu kotak susu menjadi pengantar Jeongguk keluar dari kedai makanan. Kekenyangan bakal membuatnya susah bergerak dan ia tidak mau. Berbekal tuxedo biru lengkap beserta dengan topi dan celana kain licin membuatnya otomatis kelihatan seperti orang penting.

"Jeongguk, tolong bawakan kardusnya ke kapal." Pamannya muncul dari balik pintu. Satu-satunya orang yang menganggap Jeongguk sebagai manusia cuma orang ini. Berusaha berkomunikasi dengannya tanpa merendahkan atau takut kalau salah kata.

Jeongguk mengangguk antusias. Selepas membuang kotak susu yang sudah habis ke tempat sampah, kedua tangannya menjinjing satu kotak kardus kecil dan tas ransel. Beruntunglah ia di tengah ketatnya aturan yang ada untuk menjaga tubuh, Jeongguk masih bisa menambah masa otot dengan kegiatan simpel begini. "Jadi berlayar ke Havana?"

"Jadi. Besok," jawab pamannya. "Mau ikut?"

"Boleh?"

"Isinya cuma tentara. Bakal membosankan, memang. Tapi tidak ada salahnya kalau melihat-lihat laut, kan? Ayahmu bakal setuju kalau kamu keluar dengan aku. Dijamin aman."

Jeongguk ragu. "Aku bakal minta ijin dulu dan bawa baju ganti."

"Kalau tidak boleh, bilang saja pergi dengan aku."

"Will do, sir." Meski tidak yakin kalau bisa mendapat ijin sepenuhnya, Jeongguk tidak bisa berhenti berharap.

...


Selangkah menjejakkan kaki di rumah, sautan dari dapur sudah bisa Jeongguk dengar. Suara-suara tidak enak yang bisa ia pastikan kalau ayah dan ibunya sedang bertengkar. Mungkin sebentar lagi bakal dilimpahkan padanya supaya mereka lebih tenang.

"Dari mana kamu?" Ayahnya datang dari balik tembok sekat yang menghubungkan dapur dan ruang tengah.

Kan.

"Dari pelabuhan," jawab Jeongguk malas. Kedua tangannya sibuk melepas sepatu dan meletakkan mantel tebal di ujung ruangan. Sayup-sayup masih bisa ia dengar teriakan ibunya yang memanggil-manggil. Tidak tahu masalah apa sekarang yang dijadikan besar. Jeongguk sudah terlampau tidak peduli dengan keadaan rumahnya yang tidak ada hangat-hangatnya.

Hymn of The SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang