Mereka sama…
Saling bergantung
Menghadap esok hari
Saling mengisi
Saling melengkapi
Bagai ikat tali sepatu
Tak akan goyah
Cause they are always…
.ONE.
Perempuan itu terpaku menatap selembar kertas yang ia pegang. Saat ini ia duduk dihadapanku dan aku hanya bisa menghela nafas berat untuk kesekian kalinya. Beberapa detik tak ada perubahan ataupun ekspresi perempuan itu.
“Maaf, hasil lab itu memang benar adanya, kondisi anda semakin memburuk dan…saya hanya bisa mengusahakan yang terbaik untuk anda. Bagaimana jika melakukan pencangkokan?”
Perempuan itu kini menunduk. Mungkin ia berpikir sejenak, ku harap kali ini ia tidak menolak.
“Aku…tetap tidak bisa” ujarnya lirih kemudian ia mendongak. Matanya terlihat sendu meski ada keinginan besar untuk sembuh.
“Ya, mungkin saya begitu kejam karena memperkirakan kesembuhan seorang pasien tapi… bukankah seorang dokter harus menjawab dengan jelas? Apa kau hanya akan percaya pada takdir Tuhan?”
Perempuan itu kembali menatap kertas itu tanpa membaca. Matanya hanya terpusat pada satu titik, mungkin ia mau berpikir kembali atas tawaranku. Namun prediksiku salah, ia tetap menggelengkan kepalanya. Bersikukuh dengan pendirian awal.
“Ya, mungkin ini terdengar klise, tapi aku percaya pada Tuhan. Aku akan tetap meneruskan pengobatan tanpa seorang donor. Biar saja, jika memang umurku tidak panjang aku ikhlas” terangnya sembari tersenyum tipis.
Aku menghembuskan nafas. “Baiklah, ini adalah obat peredam nyeri. Jangan pernah lupa untuk minum. Semoga cepat sembuh”
Perempuan itu menundukkan wajahnya dengan maksud pamit namun sebelum ia sempat keluar, pintu ruangan terbuka dengan kasar. Seorang lelaki muda, berbalut baju rumah sakit dengan mata melotot tiba-tiba berteriak padaku. Ia berdiri dihadapanku melemparkan sebuah lembaran kertas. Aku melirik sekilas pada perempuan itu yang sekarang ikut ternganga menyaksikan kejadian barusan.
“Katakan ini tidak benar?! Dokter…apa aku akan mati nantinya? Kenapa kau tidak pernah memberitahuku sebelumnya? Kenapa semua orang menyembunyikan keadaanku yang sebenarnya?!!”
“Tenang…kau membuat pasien lain terkejut” ujarku, seraya melihat ke belakang. Lalu perempuan itu pun pergi, memahami maksudku.
Pasien kali ini aku sangat mengenalnya. Namanya, Rangga. Ia mengindap tumor otak tapi pihak keluarga melarangnya untuk memberi tahu. Alasannya agar anaknya itu bisa tetap semangat untuk hidup. Tapi pada akhirnya ia tahu apalagi semakin hari tumor itu besar dan berakibat pada daya pikirnya.
“Kau memang mengindap penyakit itu. Tapi, kami tidak bermaksud untuk menyembunyikan perihal itu. Keluargamu yang terus melarang kami agar tidak memberitahukan pernyakitmu yang sebenarnya” jelasku. Lelaki itu sesaat terdiam lalu beringsut lemas ke lantai.
“Tidak mungkin…ini pasti mimpi buruk! Tidak…tidak!” ucapnya, lalu tiba-tiba ia menampar wajahnya berulangkali sampai akhirnya air mata yang tertahan luruh juga.
Aku hanya bisa menatap iba dan menguatkannya.
Siang itu, setelah memeriksa dua pasien tadi aku langsung pulang karena hari ini aku berjaga malam. Saat aku melewati taman rumah sakit aku melihat dua pasienku yang tadi sama-sama mempunyai penyakit berbahaya. Mereka terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing. Matanya menatap kosong ke arah yang berbeda. Aku melewatinya dan kembali meneruskan langkahku. Tapi, aku berbalik saat gadis itu tiba-tiba menyapaku. Kemudian, lelaki disampingnya menatapku sejenak lalu kembali berpaling, ia masih kesal padaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Angel's Broken Wing
ContoMalaikat yang patah sayapnya Seperti itu sosok yang kusebut Dalam kerapuhan kau datang Membuat serpihan-serpihan kisah Terpuruk atau menyembuhkan