Matahari sudah jatuh dari singgasananya sejak sekitar lima jam lalu. Sebagian besar orang sudah mulai bersiap untuk menyamankan diri mereka di atas kasur empuk nan sejuk milik mereka. Melepas penat sejenak untuk kembali menjalani hari esok dengan baik. Seharusnya begitu, namun sepertinya tidak berlaku untuk Nema.
Lelaki usia sembilan belas itu kini memunguti barang-barangnya yang tercecer dengan tidak indahnya di jalanan. Bibir tipisnya tak berhenti merutuki pemilik mantan kamar sewanya yang dengan tega melemparkan barang barangnya di jalanan. Dia diusir dari tempat tinggalnya, lagi. Memang ini bukanlah kali pertamanya diusir dari tempat tinggalnya, malah, dirinya sudah pakar soal diusir seperti ini. Mengingat peristiwa pengusiran yang pertama kali dialaminya adalah ketika dirinya usia tiga belas, diusir dari panti asuhannya yang menampungnya sejak bayi. Pemilik panti asuhan itu adalah seorang wanita tua yang baik, sedikit galak menurut Nema -yang sebenarnya sepadan mengingat tingkah nakalnya di panti dahulu. Namun, siapa sangka wanita sebaik itu punya hutang yang tak terkira banyaknya terhadap seorang rentenir. Terimakasih pada Ibu panti dan juga Tante rentenir, berkat beliau berdua Nema mendapat pengalaman yang sedemikian menakjubkan ini.
Dirinya baru saja pulang dari kerja sambilannya di minimarket seberang perpustakaan kota ketika Nenek Wan -pemilik rumah hunian, beserta cucunya menyeret barang barangnya keluar dari mantan huniannya. Belum sempat Nema bertanya 'apa kabar', cucu bongsor Nenek Wan sudah keburu melempar barang barangnya ke jalanan. Jika saja tidak ingat posisi, mungkin Nema sudah menantang cucu bongsor kesayangan Nenek Wan untuk bergulat. Walau kurus kering begini Nema juga bisa bela diri kok, jangan remehkan. Lari itu juga termasuk wujud bela dirikan?
"Padahalkan hanya telat bayar tujuh minggu saja, kenapa nenek tua itu pelit sekali sih!" gerutu Nema, melipat kemeja plaidnya untuk kemudian dijejalkannya ke ransel lusuh miliknya.
"Dan lagi, apa apaan bocah besar itu tadi, seenaknya lempar lempar barang? Mentang mentang barangku sudah buluk begini. Apa mereka tidak tahu kalau melempar barang itu tidak sopan? Bukankah seharusnya mereka belajar hal seperti itu di sekolah? Masa mereka tidak tahu sih? Aku saja yang tidak sekolah tahu tuh!"
Dan masih banyak gerutuan lain. Namun semua itu terhenti ketika dirinya mengambil scrapbook yang terlempar hingga seberang jalan. Scrapbook itu miliknya, namun bukan miliknya. Ibu panti bilang buku itu ada bersamanya saat ibu panti menemukan Nema di samping empang belakang panti. Kisah klasik, sekaligus ngenes.
Melihat kenang kenangan terakhir dari orang yang menaruh dirinya sembarangan itu, membuat Nema mendesah sedih "seharusnya jika berniat membuangku, jangan tinggalkan barang seperti ini, ini tidak membantu atau menyembuhkan luka"
Nema menghela nafas panjang, menepuk buku seolah menghilangkan debu, "setidaknya tinggalkan kartu, emas atau buku tabungan, atau apapun yang bisa diuangkan. Kalau begini kan tidak bisa dijual.."
Dan berakhirlah Nema yang kini berjalan luntang lantung tak tahu arah, memanggul ransel yang hanya berisi beberapa potong pakaian dan beberapa peninggalan yang dibawanya dari panti. Praktis, sudah pasti. Karena nyatanya hanya itu yang dia punya. Mengecek di ponsel bekas miliknya untuk mengecek waktu yang ternyata sudah semakin memasuki tengah malam, Nema mensugesti pada dirinya sendiri agar segera mencari tempat untuk tidur setidaknya semalam ini. Badannya sudah cukup lelah, perutnya sudah memberontak karena hanya diberi makan tadi pagi sisa makan malam kemarin. Rencana malam ini dia ingin mengisi perut dengan sebutir obat maag, namun apa daya, stoknya habis dan uangnya yang tersisa juga diminta oleh Nenek Wan uang penutup pembayaran sewa.
Berada di tengah keramaian kota tidak membuat Nema merasa lebih baik. Badan yang terlampau lelah serta perut yang mulai sedikit banyak berpengaruh pada langkah kakinya. Tidak sekali dua kali bahunya menabrak pejalan kaki lain. Tidak sekali dua kali pula Nema melirihkan kata maaf, yang hanya dibalas dengan cacian juga cibiran.

KAMU SEDANG MEMBACA
•Setenggat Sebelum Terakhir•
Historia CortaTerkadang kerasnya hidup yang kita dijalani membuat kita sendiri sulit tersadar jika ada akhir yang menanti kita, tanpa ada waktu yang pasti