Semesta sepertinya ingin melihat mataku kembali jernih. Namun, apa daya aku yang tak punya dalih untuk beralih. Sudah kucoba hingga batin pun menjerit perih. Dalam hening kesenyapan, aku sendiri di ruang sepi. Berharap seseorang datang menghampiri, temaniku kala ini. Mengajakku berbenah diri, hingga aku tahu siapa sejatinya aku dan mengenal lebih dekat siapa Tuhanku.
-Khaira Zahra-
Tulisan itu tertindih tubuh Khaira, sebab kantuk yang sudah tidak bisa dikendalikannya. Coretan abstrak dengan tinta berwarna biru pada kertas putih tulang tak berdosa itu juga karena ulah tangannya yang ketika mengayun sedang tidak memiliki kekuatan seimbang. Kini Khaira meletakkan buku diary mininya di dalam laci nakas bersama tumpukan buku harian yang sudah dipenuhi tulisan tangannya.
Jam menunjukkan pukul 06.00 Waktu Indonesia bagian Barat. Spontan Khaira menepuk jidatnya. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu, karena memang sudah kebiasaannya bangun tidak tepat waktu. Bersujud pada Sang Pencipta saja terkadang sampai lupa waktu, bagaimana tidak Khaira sering merasa rapuh seperti saat ini. Inilah Khaira, terkadang sadar akan kesalahannya namun berat baginya untuk berbenah diri.
Hanya beberapa menit Khaira melaksanakan ibadah sholat subuh kemudian bergegas untuk mandi karena jam masuk sekolah tinggal beberapa menit lagi. Seragam yang Khaira kenakan saat ini sudah hampir tiga tahun menemaninya menjalani hari-hari di barisan para penyandang seragam putih abu-abu.
Pagi ini Khaira tidak menjumpai ayahnya. Bahkan hampir setiap pagi. Karena beliau selalu bangun lebih awal dari Khaira dan sudah meninggalkan rumah sejak setelah subuh, sebelum matahari tergelincir.
Ada dua piring nasi goreng dan dua telur mata sapi. Sudah pasti Herman memasaknya untuk Khaira dan Raka. Herman, saat ini sosok laki-laki yang dipanggil Ayah oleh anak-anaknya itu telah menjadi Bapak sekaligus Ibu untuk Khaira dan Raka.
"Mas Raka, Khaira berangkat duluan ya, udah mau terlambat nih!" kata Khaira kepada Raka sembari mengunyah kunyahan terakhirnya.
"Nggak bareng aja dek?" sahut Raka yang masih bersiap di kamarnya.
"Engga Mas, Khaira naik sepeda. Khaira pamit, ya. Assalamu'alaikum" timpal Khaira yang langsung bergegas mengambil sepeda setelah meneguk segelas air putih.
"Oke dek. Wa'alaikumussalam, hati-hati ya," kata Raka yang hanya samar terdengar di telinga Khaira.
Hampir terlambat. Pak satpam sudah terlihat mulai mendorong gerbang sekolah. Untung masih diperbolehkan masuk sebelum gerbang tertutup rapat. Khaira segera memarkirkan sepedanya di tempat parkir sekolah lalu menuju kelas.
Dia berlari kecil. Sesampainya di kelas Khaira langsung menuju bangku pojok barisan kedua dari depan, duduk di samping Wulan yang rupanya sudah datang sedari tadi.
"Aku kira kamu nggak berangkat, Ra," kata wulan yang masih asyik memainkan rubiknya.
"Nggak punya alasan buat nggak berangkat" timpal Khaira yang berusaha mengontrol napasnya.
"Untung tadi kamu masih bisa masuk sebelum gerbang ditutup rapat sama Pak Budi." kata Wulan yang kali ini berpaling dari rubiknya kemudian menatap Khaira.
"Huh, Iya tadi aku bangun jam 06.00. Mana aku kalau persiapan nggak bisa buru-buru," jawab Khaira yang terlihat kelelahan.
Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang guru yang memasuki kelas. Terlihat anggun dengan gamis dan kerudung yang menjulur menutupi dada. Selalu tertempel arloji di pergelangan tangannya, memakai kaca mata, dan menggunakan sepatu pantofel yang memberikan kesan formalnya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh" kalimat sapaan pertama Ibu Nadia, guru matematika wajib kelas dua belas. Lembut, disiplin, dan murah senyum. Adem sekali.
![](https://img.wattpad.com/cover/248960297-288-k121313.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Khaira
RomanceKala itu pernah ku dengar sabda tentang cinta yang bunyinya begini, "cinta kepada Allah adalah puncaknya cinta, lembahnya adalah cinta kepada sesama (hamba-Nya)". Sampai pada akhirnya aku dapat menyimpulkan kalau kita itu tidak akan bisa menemukan c...